Menguji Nalar Kemanusiaan di Tengah Arus Pengungsi

waktu baca 5 menit
Boat berisi ratusan pengungsi etnis Rohingya yang ditarik Kapal TNI AL dari perairan lepas menuju Pelabuhan Krueng Geukueh, Lhokseumawe, Kamis 30 Desember 2021. (Dok. Dispen AL)

Theacehpost.com | BIREUEN – Pemerintah RI menyatakan siap menampung pengungsi Rohingya yang sebelumnya terombang-ambing di perairan kawasan Bireuen, nyaris sepekan ini.

Dalam keterangan resminya, Rabu 29 Desember, Deputi Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenko Polhukam RI, Irjen Pol Armed Wijaya mengatakan, pendaratan pengungsi mempertimbangkan sisi kemanusiaan.

Apalagi, ratusan pengungsi tersebut tengah berada dalam kondisi darurat. Dalam cuaca tak menentu, rombongan pengungsi yang juga terdiri dari perempuan dan anak-anak itu masih dibekap risiko kesehatan dan keamanan. Situasi serba rentan ini tak memungkinkan untuk mereka dibiarkan tetap berada di lautan.

Selain itu, Armed juga mengatakan langkah penyelamatan ini sesuai dengan aturan yang dimiliki Indonesia, yakni Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016. Terlebih dalam kondisi pandemi, para pengungsi perlu menjalani pemeriksaan kesehatan dan didata lebih lanjut.

“Untuk selanjutnya, Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (PPLN) Kemenko Polhukam akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah, TNI, Polri, dan pemangku kepentingan terkait lainnya agar pengungsi mendapatkan penampungan, logistik dan akses kesehatan,” pungkasnya.

banner 72x960

Situasi terakhir, TNI Angkatan Laut pada Kamis pagi, 30 Desember 2021, melalui armada Kapal Parang 647 telah menarik kapal pengungsi dari tengah laut menuju Pelabuhan Krueng Geukueh, Lhokseumawe.

Pihaknya memastikan lokasi ini steril untuk pemeriksaan kesehatan sesuai prokes, juga lebih dekat jaraknya dengan kamp karantina, serta cukup strategis untuk rencana relokasi ke Medan, jika nanti dibutuhkan.

Aceh Perlu Lebih Matang Tangani Pengungsi

Sebelumnya, otoritas di Bireuen sempat mempertimbangkan untuk memasok logistik ke kapal pengungsi yang masih tertahan di perairan sekitar 60 mil lepas pantai daerah setempat. Dengan bantuan logistik itu, para pengungsi diminta untuk meneruskan perjalanan ke daerah yang mereka inginkan.

“Kita siap membantu logistik untuk kebutuhan mereka, dan memintanya mengarahkan kapal ke negara tujuan,” ujar Bupati Bireuen, Muzakkar A Gani, sesaat usai penyerahan bantuan logistik itu secara simbolis kepada Danlanal Lhokseumawe, Kolonel Marinir Dian Suryansyah, Selasa 28 Desember 2021.

Kepada awak media, Muzakkir mengaku telah berkaca pada pengalaman di tahun-tahun sebelumnya. Sejumlah pengungsi dulunya juga pernah ditampung otoritas setempat. Namun hanya berselang hari, mereka kabur dari kamp penampungan.

Diduga pengalaman tersebut membuat pemerintah kerap berada dalam posisi dilematis. Namun belum diketahui pasti apakah pengalaman itu juga yang mendasari pertimbangan pemerintah, sehingga belum begitu yakin untuk mendaratkan para pengungsi sejak awal.

Kelindan masalah yang timbul kemudian pasca kedatangan pengungsi di Aceh diakui sejumlah pihak. KontraS Aceh, salah satunya, mengungkit rentannya situasi pengungsi terjebak dalam praktik kejahatan seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang juga pernah terungkap beberapa bulan lalu.

Menurutnya, situasi itu justru menjadi alasan mengapa pemerintah perlu mengambil peran aktif dalam penyelamatan pengungsi, ketimbang membiarkan mereka dengan alasan keamanan wilayah dan sebagainya.

“Terlepas dari indikasi tersebut, aspek kemanusiaan memang tetap harus lebih dikedepankan, jadi tidak perlu lagi menimbang-nimbang, apakah mereka bisa didaratkan atau tidak,” kata Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra.

Hal serupa ditegaskan lagi oleh Humanitarian Coordinator Yayasan Geutanyoe, Nasruddin. Kepada Theacehpost.com, Kamis 30 Desember 2021 ia bahkan menyatakan kepedulian Aceh terhadap para pengungsi –yang terjadi berulang kali– harusnya bisa komprehensif, lebih dari sekadar menyelamatkan mereka dari tengah laut.

Kendati mengapresiasi sikap pemerintah yang belakangan setuju untuk mendaratkan para imigran, Nasruddin mempersoalkan minimnya kesiapan Aceh, terutama di sisi regulatif.

“Pemerintah Aceh sudah saatnya membentuk satuan tugas untuk menangani kedatangan pengungsi luar negeri, menetapkan tempat transit sementara untuk mereka, hingga serius menginisiasi qanun turunan dari aturan nasional Perpres 125/2016,” paparnya.

Pembentukan satgas penting agar penanganan pengungsi tak terkesan reaktif. Pemerintah Aceh, katanya lagi, harus siap pada realitas bahwa arus pengungsian etnis Rohingya akan terus terjadi sepanjang konflik di negara asalnya, Myanmar belum mereda.

Ditambah lagi, situasi dalam kamp mereka di Cox’s Bazar, Bangladesh juga jauh dari kondusif, sehingga warga etnis Rohingya terpaksa keluar mengarungi lautan demi harapan agar masa depan mereka bisa lebih baik.

Nasruddin juga menyadari tingginya ancaman para pengungsi terjebak dalam praktik penyelundupan (smuggling) dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Di situlah, pemerintah dan masyarakat sama-sama berperan mencegahnya agar tidak terjadi.

“Negara justru bisa mengungkap jaringan penyelundupan itu, karena paling berpengalaman menangani kedatangan pengungsi tersebut,” kata Nasruddin.

“Adat Laot yang Mengakar pada Nelayan Aceh”

Di sisi lain, Yayasan Geutanyo bersama sejumlah elemen sipil juga tengah menginisiasi peraturan daerah (qanun) Aceh terkait pengungsi, yang kini baru tahap penyusunan naskah akademik.

“Kita ingin Aceh punya aturan yang lebih komprehensif, selaras antara Perpres 125/2016 sebagai aturan nasional, dengan Hukom Adat Laot di Aceh,” bebernya.

Nilai-nilai dalam substansi adat laut ini, kata Nasruddin, mendasari rasa simpati para nelayan Aceh untuk menolong siapa pun yang sedang menghadapi musibah di tengah laut.

“Apakah itu manusia bahkan hewan sekali pun di tengah laut, ada nilai yang mengakar dalam masyarakat Aceh, makanya tak ada cerita untuk tidak kita tolong,” pungkasnya.

Akademisi UIN Ar-Raniry, Tgk Zulkhairi juga menekankan hal serupa. Menurutnya, agama Islam sudah tegas menyatakan bahwa sesama muslim bersaudara.

“Jadi ia tidak menzaliminya dan tidak meninggalkannya tatkala butuh bantuannya,” kata Zulkhairi.

Ia turut menyesalkan munculnya penolakan terhadap kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh dengan beragam alasan. Walaupun, belakangan narasi itu tak menggoyahkan rasa kepedulian masyarakat Aceh, justru malah memicu desakan yang makin kuat terhadap pemerintah untuk menolong pengungsi.

“Karena pemikiran anti solidaritas semacam itu memang tidak punya basis kuat dalam sejarah peradaban kita,” kata dia.

Memori kolektif soal kekerasan di masa konflik juga masih belum lekang di benak masyarakat Aceh. Ingatan itu lah, yang menurutnya jadi dorongan bagi siapa pun sehingga bakal mudah berempati dengan penderitaan yang dialami orang lain.

Zulkhairi tak memungkiri perilaku sebagian pengungsi Rohingya yang bermasalah, selama mereka tinggal di penampungan.

“Mungkin menyebalkan, memang. Namun sebagai sesama manusia, kita perlu memahami keterbatasan mereka itu akibat dari didera konflik puluhan tahun, sehingga berpengaruh pada karakter mereka. Jangan lupa, mereka adalah saudara kita, persoalan mereka adalah persoalan kita juga sebagai muslim dan sebagai manusia,” tutupnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *