Wakil Ketua DPRA Ungkap Sejumlah Persoalan Serius di Aceh, Apa Saja?

waktu baca 3 menit
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Safaruddin. (Foto: Dok. Safar)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aaceh (DPRA), Safaruddin, mengungkap sejumlah persoalan serius yang saat ini masih terjadi di Tanah Rencong.

Persoalaan-persoalan itu, kata dia, terkait berkurangnya penerimaan dana otsus mulai tahun depan, peredaran narkoba, kekerasan seksual, kemiskinan dan ekonomi.

Kondisi tersebut disampaikan Safaruddin saat memimpin rapat paripurna pengukuhan dan pelantikan Saiful Bahri alias Pon Yaya sebagai ketua DPRA sisa masa jabatan 2019-2024 di Gedung DPRA, Jumat, 13 Mei 2022.

Di penghujung rapat paripurna tersebut, Safaruddin yang saat itu masih berstatus sebagai Plt Ketua DPRA, menyampaikan beberapa catatan penting kepada Pon Yaya.

Politikus muda Partai Gerindra ini mengungkapkan selama ini komunikasi dengan pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh telah terjalin dengan baik.

banner 72x960

“Kami harap agar komunikasi tersebut terus ditingkatkan demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Aceh yang kita cintai,” pintanya.

Safaruddin juga mengingatkan Pon Yaya bahwa ke depan DPRA secara kelembagaan dihadapkan oleh beberapa tugas yang perlu disikapi dengan serius.

Di antaranya, mengenai rencana perubahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang sampai saat ini sudah masuk dalam Prolegnas DPR RI.

“Kita harap bahwa revisi UUPA dapat mengakomodir seluruh butir-butir dari MoU Helsinki. Kepada DPR Aceh sebagai lembaga representatif rakyat Aceh mampu memberi kontribusi yang konkrit terhadap dinamika tersebut,” ungkapnya.

Menurutnya, konsekuensi dari rencana perubahan UUPA sangatlah luas, salah satunya terkait dengan dana otonomi khusus (otsus) Aceh yang sebentar lagi akan berkurang.

Hal ini, kata Safaruddin, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 183 ayat (2), yang menyebutkan bahwa dana otsus berlaku untuk jangka waktu 20 tahun.

Untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke 15 yang besarnya setara dengan 2% plafon dana alokasi umum nasional, dan untuk tahun ke 16 sampai tahun ke 20 yang besarnya setara dengan 1% plafon dana alokasi umum nasional.

“Semoga besaran dana otsus sebesar 2% dalam perubahan UUPA nantinya tetap dipertahankan, di samping pasal-pasal lain dalam UUPA yang perlu penguatan dan penyempurnaan,” ucapnya.

Perihal lain yang tak kalah penting yaitu mengenai kondisi kehidupan masyarakat, mulai dari kriminalitas, penyalahgunaan dan peredaran narkoba, serta kekerasan seksual.

“Aceh merupakan nanggroe yang menjalankan syariat Islam dan kekhususan-kekhususan lainnya. Sungguh sangat miris dan menyayat hati kita semua, di mana kasus-kasus penyalahgunaan dan peredaran narkoba serta kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak terus terjadi,” ungkapnya.

“Kondisi ini menjadi tanggung jawab kita semua, baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menyatakan perang terhadap narkoba dan kekerasan seksual,” ujarnya.

Dari sisi lain, Aceh juga dihadapkan pada persoalan kesehatan. Menurut dia, isu stunting masih menjadi kekhawatiran.

Ia mengajak semua pihak untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap permasalahan ini.

“Salah satu solusinya adalah mempertahankan keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), dan program pemerintah lainnya yang berorientasi kepada upaya peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan,” sebutnya.

Kemudian, permasalahan lain yang tidak kalah penting, menurut Safaruddin, terkait dengan kualitas pendidikan. Pasalnya, pendidikan di Aceh masih di bawah rata-rata nasional.

“Padahal pendidikan merupakan hak dasar warga negara, sebagaimana diamanahkan oleh undang-undang, demikian juga dana otsus selama ini dialokasikan untuk menanggulangi masalah tersebut cukup besar (minimal 20%). Maka hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi kita bersama demi generasi Aceh yang lebih baik ke depan,” sebut putra asal Aceh Barat Daya (Abdya) ini.

Selain hak dasar kesehatan dan pendidikan, isu kemiskinan juga menjadi cambuk bagi Aceh.

“Terlepas dari parameter yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), namun hal ini perlu menjadi bahan introspeksi dan renungan bagi pemangku kepentingan dalam menetapkan kebijakan-kebijakan ke depan,”pungkasnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *