Raga dan Rasa

waktu baca 3 menit
Sulaiman Tripa

BISNIS kuliner itu memiliki kekhasan. Selama ini, saya merasakan suasana itu di Banda Aceh dan sebagian Aceh Besar. Saya menyaksikan bagaimana tempat makan berkembang dan mengempis. Silih berganti.

Hari ini kita menyaksikan satu warung kopi dengan luas empat pintu toko, tiba-tiba bulan depan sudah sepi dan harus tutup. Demikian juga ada tempat dengan luas satu pintu toko, berkembang hingga enam pintu.

Orang nanti akan menyebut kondisi itu sebagai rezeki. Ketika dikembalikan ke hakiki, rezeki, pertemuan, dan maut, sudah tercatat di tempat sana. Lauh mahfudz.

Orang tiba-tiba mulai bisnis dengan sederhana. Berpadu dengan semangat tinggi dan serius. Lalu menjadi pusat bisnis yang berkembang pesat. Orang yang biasa, tiba-tiba kaya raya.

Selain faktor kepercayaan terhadap konsep itu, orang yang berusaha akan memandangnya pada ikhtiar. Mereka yang serius akan berusaha semaksimal mungkin. Saya menyaksikan usaha ini melalui salah satu wujudnya dalam pelayanan yang diberikan. Dalam bisnis kuliner, dicari atau ditinggalkan, sangat ditentukan oleh bagaimana pelayanan, yang berkombinasi dengan rasa.

banner 72x960

Di tempat yang rasa itu dicari, seminggu yang lalu, saya bertemu dengan seorang sahib, Islamuddin, di satu tempat makan Kota Idi.

Kami pernah berada di organisasi yang sama. Dulu, ketika sama-sama mahasiswa. Ia seorang aktivis, yang pernah menjabat Wakil Wali Kota Sabang. Salah seorang yang selalu terbuka, baik saat sedang ada jabatan, maupun ketika jabatan sudah tiada.

Pengalaman pribadi saya selama ini. Saya bertemunya di tempat makan yang rasanya terkenal, walau tempatnya sederhana. Ia pergi ke sana karena perpaduan antara rasa dan pelayanan itu. Bagaimana raga pemilik usaha, di depan pelanggannya, akan menentukan seorang pelanggan akan bertahan atau akan pindah ke lain hati.

Saya tidak ingin terlalu jauh. Kesan saya terhadap bagaimana cara orang melayani, akan membesarkan hati saya sebagai pengunjung. Jika saya tidak dipedulikan, tidak ditanyai apa-apa, saya tidak akan datang kedua kali ke tempat yang sama. Tidak soal pun di tempat itu memiliki makanan yang enak-enak.

Saya juga tidak akan kembali ke tempat makan mewah, dengan pelayanan yang buruk. Sekali lagi, soal makan itu juga soal bagaimana rasa batin kita selaku penikmatnya.

Bukankah orang-orang sibuk dan kaya, rela mengeluarkan uang banyak hanya untuk mendapatkan rasa makanan dengan tingginya kualitas pelayanan? Ada dua rasa yang harus berpadu: rasa makanan dan rasa batin mereka yang akan mendapatkan pelayanan. Ketika seseorang sudah tersentuh batin, sangat mempengaruhi ia akan mengulangi atau mengakhiri.

Apa yang saya sampaikan ini, khusus dengan bagaimana batin saya menangkap rasa. Saya bukan pelaku.

Suatu kali saya duduk dengan pengusaha kelas menengah kuliner, tidak ingin saya tanya macam-macam itu. Saat kami mengakhiri pertemuan, ia hanya menyebut betapa sulitnya menjaga kualitas dua rasa yang saya sebutkan. Kita yang bukan pelaku, boleh saja tidak percaya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *