Produk Wajib Sertifikasi Halal

waktu baca 5 menit
Mukhsin Rizal, S.Hum., M.Ag., M.Si

Oleh: Mukhsin Rizal SHum MAg MSi *)

SALAH satu kewajiban Pemerintah Aceh adalah melindungi masyarakatnya dari mengkonsumsi makanan, minuman, obat-obatan, serta mengunakan kosmetik, produk kimia, biologi, dan produk rekayasa genetik agar terjamin kehalalannya.

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Persyawaratan Ulama Aceh (LPPOM MPU Aceh) diberikan kewenangan untuk melakukan sertifikasi produk halal menurut tuntunan syariah oleh MPU Aceh.

Tujuan sertifikasi itu sendiri perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan, ketentraman dan kepastian hukum kepada masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk halal dan higienis demi kesehatan jasmani dan rohani.

Dalam menjamin ketersediaan dan keberadaan konsumsi yang halal, perlu dilakukan penataan, pembinaan dan pengawasan kepada pelaku usaha.

banner 72x960

Untuk Efektivitas pelaksanaan tersebut diperlukan kerja sama yang baik, serta menjadikan sertifikasi produk halal sebagai salah satu syarat penting dalam pengurusan izin usaha di Aceh.

Dalam Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal, penataan produk halal dilakukan mulai dari bahan baku sampai dengan pemasaran, artinya seluruh tahapan haruslah dapat dipastikan benar-benar halal.

Kesadaran memproduksi produk halal tentunya harus meudarah asoe (berdarah daging) dalam masyarakat kita, khususnya pelaku usaha.

Kehadiran Qanun Aceh Nomor 8/2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) mengklasifikasikan bahwa penentuan kualifikasi pelaku UMKM ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Hal menarik lainnya, pada pasal 8 ayat 4 menjelaskan bahwa setiap pengurusan izin usaha harus melampirkan sertifikat halal dari MPU Aceh.

Sedangkan dalam hal pengawasan terhadap produk halal, dilakukan mulai dari asal bahan baku, proses produksi dan fasilitas produksi pada produk pengolahan hewani atau nabati, obat-obatan dan kosmetika, produk mikrobial dan penggunaannya.

Kemudian penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pascapanen dan pengolahan hasil, hasil tanaman pangan dan holtikultura, peredaran produk makanan dan minuman, baik yang berkemasan maupun tidak berkemasan, asal bahan-bahan baku dan prosesnya untuk membuat obat dan kosmetik.

Adapun pada pasal 10 dijelaskan bahwa penataan dan pengawasan produk halal dilakukan oleh LPPOM MPU Aceh, sebagai badan otonom MPU Aceh yang bersifat permanen. Penataan dan pengawasan dilakukan setiap saat, terencana dan sistematis.

Keanggotaan LPPOM MPU Aceh melibatkan tim terpadu dalam melaksanakan penataan dan pengawasan terhadap pelaku usaha.  Tim terpadu ini terdiri dari unsur SKPA.

Selain SKPA, teknis tim berikutnya terdiri dari Satpol PP-WH, Polda Aceh, Kejaksaan Tinggi Aceh, Kanwil Kemenkumham Aceh, Kanwil Kemenag Aceh, Balai BPOM, dan instansi/badan/lembaga terkait lainnya.

Selain pembinaan, tim tersevut juga dapat mengambil tindakan terhadap pelaku usaha dan terhadap produk, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pekerjaan besar ini bertujuan agar masyarakat dapat mengkonsumsi, memakai produk halal agar keberkahan dari Allah SWT datang dalam setiap hari-hari yang kita lalui.

Untuk diketahui oleh para pelaku usaha, bahwa dalam memproduksi dilarang mengunakan bahan baku yang haram, baik itu untuk bahan baku utama, tambahan dan penolong.

Adapun bahan baku yang tidak halal dan dilarang untuk digunakan meliputi bahan baku dari hewani, nabati dan kimiawi, yang semuanya diharamkan.

Bahan baku hewani yang diharamkan meliputi, bangkai, darah, babi dan anjing, hewan lainya yang diharamkan dalam Islam; dan hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat Islam.

Sedangkan dari nabati yang diharamkan meliputi, bahan baku yang bernajis, memabukkan, yang memudaratkan, dan bahan yang difatwakan haram oleh MPU Aceh.

Begitupun dengan bahan baku kimiawi, yang diharamkan berupa bahan-bahan kimia yang berbahaya atau yang difatwakan haram oleh MPU Aceh.

Jika semua unsur telah terpenuhi, pelaku usaha dapat mengajukan permohonan sertifikasi halal secara tertulis kepada LPPOM MPU Aceh dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Auditor LPPOM MPU Aceh akan memeriksa kelengkapan persyaratan sertifikasi halal dan melakukan uji laboratorium. Hasil pemeriksaan dan uji laboratorium diserahkan kepada MPU Aceh.

Jika memenuhi unsur, maka dikeluarkan sertifikat atau logo halal untuk produk yang dinyatakan lulus sertifikasi halal dan diserahkan kepada pelaku usaha.

Masa berlaku sertifikat tersebut paling lama tiga tahun, kecuali terdapat perubahan proses pengolahan dan komposisi bahan. Pelaku usaha wajib memperpanjang sertifikat halal dengan mengajukan pembaharuan sertifikat halal paling lambat tiga bulan sebelum masa berlaku berakhir.

Adapun kewajiban pelaku usaha di antaranya, adalah mengajukan permohonan sertifikasi halal, mengangkat penyelia/pengawas produk halal pada perusahaannya, memperbarui sertifikat halal, melaporkan perubahan komposisi bahan kepada LPPOM MPU Aceh, memajang sertifikat halal LPPOM MPU Aceh pada tempat usahanya yang mudah dibaca oleh konsumen dan mencantumkan logo halal pada kemasan produk dengan ukuran yang mudah terlihat.

Pada Pasal 35 Qanun 8/2016, pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan produk yang tidak halal /tidak bersertifikasi halal, mencantumkan logo halal pada kemasan produk yang belum bersertifikat halal atau mencantumkan informasi yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan.

Terhadap pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan dikenai sanksi administratif, berupa teguran lisan, tertulis, tidak diberikan atau dicabut izin produksi, tidak diberikan atau dicabut izin edar di Aceh, pencabutan sertifikat halal, tidak diberikan atau dicabut izin usaha, atau denda administratif.

Untuk terlaksananya jaminan produk halal, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan khusunya dalam mengawasi dengan melakukan pengaduan atau pelaporan ke LPPOM MPU Aceh. Pelapor bakal mendapat penghargaan.

Pelaku usaha dapat dituntut apabia melanggar ketentuan itu. Adapun tuntutan terhadap pelaku usaha beragama Islam yang tidak menjaga kehalalan produk bersertifikat halal dikenakan hukuman cambuk paling banyak 60 kali, atau pidana penjara paling lama 60 bulan atau denda paling banyak 600 gram emas murni.

Sedangkan pengusaha nonmuslim yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal, dipidana penjara paling lama 5  tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar, sesuai dengan UU Jaminan Produk Halal dan/atau dapat memilih untuk menundukkan diri secara sukarela pada ketentuan, sebagaimana pelaku usaha beraga Islam.

Kehadiran produk halal di Aceh sangat menentukan suasana kehidupan masyarakat ke depannya. Pasalnya, di dalam Islam kehalalan itu sangat diperlukan agar keberkahan senantiasa menyertai masyarakatnya.

Totalitas kebijakan terkait pelaksanaan syariat Islam telah tersusun, mulai dari kelembagaan keuangan syariah, tarbiah, sistem jaminan produk halal dan kebijakan lainnya. Semoga, kita semua bersedia mengikutinya.

Akhirnya, tulisan ini hanya sebagai pengingat penulis dan bermanfaat bagi sidang pembaca, khususnya pelaku usaha. Kepada Allah kita mohon ampun. Wallahualam bissawab. []

*) Penulis adalah alumni Magister Ilmu Administrasi Publik Unida dan Magister Sejarah Tamaddun Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *