Bukan Rumus Biasa

waktu baca 3 menit
Sulaiman Tripa

INFO DARI REDAKSI

Pembaca Theacehpost.com yang kami muliakan.

Kolom Haba Gampong yang menjadi salah satu kanal di Theacehpost.com secara rutin akan diisi oleh Sulaiman Tripa, seorang akademisi Universitas Syiah Kuala yang aktif menulis.

Kolom ini memberikan hal yang biasa untuk dilihat secara luas dan terbuka.

Sebagai akademisi, Sulaiman Tripa juga menyarankan perbaikan-perbaikan dengan tidak melupakan cara berpikir orang kampung.

banner 72x960

Ikuti tulisannya setiap Senin dan Kamis, insya Allah.

“Bukan Rumus Biasa” merupakan tulisan keduanya, Kamis 01 Juli 2021.  

 Salam,

Nasir Nurdin
Pemred The Aceh Post

 

 

BERPIKIR semacam ini, tidak selalu baik. Jika mengunjungi rumah orang, hanya membawa sekian, lalu mendapat hidangan yang tidak sebanding. Katakanlah semacam buah tangan, sekilo dua buah-buahan, atau sekilo dua gula lengkap dengan sebungkus teh. Sesampai di rumah tempat bertamu, kita mendapatkan banyak hidangan sekaligus.

Lalu kita bertanya, bisa saja bertanya dalam hati, bagaimana bisa orang berbuat sesuatu yang melebihi dari apa yang dilakukan orang lain? Berpikir semacam ini yang saya maksudkan. Hal ini akan tidak baik, apalagi kemudian sampai membanding-bandingkan.

Saya lebih 15 tahun sudah tinggal dalam komunitas sekarang ini, yang di dalam sebagian besar masyarakatnya selalu ada semangat untuk melakukan perbuatan baik jauh melebihi dari yang pernah dilakukan orang lain. Perbuatan baik yang harus dilipatgandakan. Jika kita bawa sekilo gula, saat mengunjungi rumah kita ada keinginan untuk membawa lebih dari kita pernah bawa. Begitu juga dengan perbuatan baik. Ketika sekali berbuat baik, selalu ada keinginan untuk melakukan hal yang sama berulang kali. Saya yakim semangat ini juga dimiliki masyarakat di kawasan yang lain. Termasuk di kampung asal saya, juga memiliki semangat demikian.

Ada catatan penting bahwa tidak mungkin setiap kebaikan ini diukur, apalagi hanya dengan ukuran tertentu yang sangat materi. Orang melakukan sesuatu, menerima tamu, menghidangkan sesuatu untuk tamunya, membalas segala perbuatan baik, tidak bisa dilihat dalam kacamata biasa. Ketika kita mengkalkulasi semua perbuatan baik ini, justru akan menimbulkan reaksi negatif.

Keadaan semacam ini, dalam keadaan yang hampir sama juga saya alami. Kemarin, saya dengan sejumlah teman, baru saja mengunjungi satu kampung di kawasan Barat-Selatan untuk kegiatan penting. Tentu sebagai sebuah tradisi, kami juga membawa sedikit buah tangan itu. Pimpinan kampung menghidangkan kami dengan mewah –menurut penilaian kami. Di hadapan kami disediakan puluhan durian. Setelah selesai makan beberapa buah bersama-sama, kami masih pula dihidangkan ketan dan kuah duriannya. Seharian kami ditemani, padahal tuan rumah juga seharusnya akan mengerjakan hal yang lain.

Siapa yang harus lebih perhitungan? Apakah saat berkunjung ke rumah orang lain, lalu dihidangkan berbagai hal, itu sebagai perhitungan? Saya ingat bagaimana keluarga kita, menyediakan sesuatu yang belum tentu mereka memiliki kemapanan untuk menyediakan itu. Sekali lagi, menurut saya ini tidak matematis. Ada hal lain yang dipercaya masyarakat kita, yang itu tidak bisa diukur dengan rumus biasa.

Ada gema peumulia jamee (memuliakan tamu) yang selama ini berusaha diformalkan. Padahal secara langsung, memuliakan tamu itu ada dalam masyarakat kita. Kekuatan ini yang menjadikan posisi masyarakat kita begitu strategis. Ketika zaman buruk dulu, terutama saat konflik, memuliakan tamu ini sempat kehilangan wujudnya. Waktu orang-orang merasa saling curiga. Padahal kekayaan memuliakan tamu ini ada dalam masyarakat kita, bahkan sejak dahulu kala.[]

 

Sebelumnya: Generasi Tidak Terkendali

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar

Sudah ditampilkan semua