“SOE GATA” (Kenanganku pada Sosok Prof. Dr. H. Syamsuddin Mahmud)

waktu baca 4 menit
J Kamal Farza

J. Kamal Farza*)

SAYA bertemu Pak Syam, panggilan semua orang untuk Prof. Dr. H. Syamsuddin Mahmud hanya kurang dari 10 kali, ketika menjadi aktivis mahasiswa di Aceh, sebelum beliau menjadi Gubernur Aceh, saat menjadi gunernur dan paska sebagai gubernur.

Ada yang unik dari sosok humble yang menganggap dirinya guru ini, setiap bertemu bahkan setelah ngobrol pun, beliau selalu bertanya: “Soe gata..”

Tahun 1990-an, saya pernah bertemu Pak Syam. Setelah menjawab pertanyaan soe gata (siapa Anda), beliau bertanya lagi, pat (di mana) gata kuliah.

Ketika  saya menjawab mahasiwa hukum Unsyiah, beliau berujar: “Nyan meunyoe jeut keu sarjana hukom, beu bereh, meunyoe hukom bereh, nanggroe tanyoe insya Allah bereh (Kalau bisa untuk sarjana hukum, harus benar, kalau hukum benar, negeri kita insya Allah benar),” ujarnya saat itu, sekitar awal 1993-an. Dan pertanyaan soe gata itu bukan saja untuk saya, banyak teman pun mengalami pertanyaan serupa.

banner 72x960

Pak Syam bertanya seperti itu, saya menduga, karena dia sepanjang hidupnya merasa diri menjadi guru. Guru itu dalam kelas menjadi tokoh sentral di antara puluhan bahkan ratusan muridnya. Seorang guru tentu sulit menghafal satu per satu nama murid, kecuali muridnya sangat menonjol, baik prestasi, keluarga, maupun tampang/tampilannya.

Nah, saya bukan seseorang yang menonjol, sehingga pertanyaan soe gata, terus menerus harus saya jawab sampai saya berusia paruh baya, saat bertemu terakhir sekali di tahun 2019-an.

Pak Syam menjadi guru itu diawali tahun 1960-an,  ketika pertama sekali dia ditawarkan menjadi guru  oleh seseorang bernama Dradjat Sumitro, teman sekosannya di asrama setelah beliau menyelesaikan  sarjana muda di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yang menawarkan Pak Syam untuk menggantikannya, mengajar sebagai guru di SMA LPPU Jakarta. Karena saat itu Dradjat dapat pekerjaan lain yang sesuai kesarjanaannya.

“Menjadi guru itu asyik,” kata Pak Syam dalam bukunya ‘Biografi Perjalanan Seorang Guru di Aceh’ terbitan Syiah Kuasa University Press 2004. “Hikmah yang saya petik adalah, turut mewarnai kedewasaan pikiran, tindakan, dan sikap diri,” lanjut Pak Syam dalam buku itu.

Pak Syam yang lahir di Gampong Lada, Pidie 24 April 1935 itu, selain ngajar di SMA LPPU, mulai 1962, Pak Syam mengajar di SMA Pembangunan Jakarta Barat, lalu SMA Pepsi di Jalan Merdeka Timur, dan SMA Gajah Mada di Jalan Hos Cokroaminoto Menteng. “Di sekolah-sekolah swasta itu saya mengajar sejak sore sampai malam hari,” ujarnya.

Memulai karir menjadi guru, dan kemudian Pak Syam pulang ke Aceh dan menjadi guru pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Kutaraja (sekarang FE Unsyiah). Dari sini, karir Pak Syam yang dimulai dengan menjadi asisten ahli ekonomi ini melesat seperti roket. Pak Syam adalah orang Aceh pertama yang berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Ekonomi dan Moneter dari Ghent University, Belgia, 1974.

Ketika di Belgia, Pak Syam menjabat sebagai President Indonesian Student Association (ISA) di Ghent Belgia ini lempang dalam karir.

Pak Syam juga pernah menduduki sederet jabatan lainnya. Menjadi  Dekan Fakultas Ekonomi Unsyiah, Pembantu Rektor I Unsyiah, Direktur Lembaga Pelatihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial , Team Policy Research Kementerian Tenaga Kerja RI, Ketua Bappeda Aceh, anggota penasihat Presiden BJ Habibie dan Gubernur Aceh menggantikan seniornya Prof Ibrahim Hasan (periode 1993-2000).

Beliau pekerja keras dan ahli moneter yang mumpuni. Sehingga seabrek penghargaan dan tanda kehormatan tersemat di dadanya, antara lain Tanda Jasa Kehormatan Satya Lencana Tingkat I, Medali Tanda Jasa Kelas I, Penghargaan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu, Tanda Kehormatan Bintang Swa Bhuana Paksa Nararya, Tanda Jasa Kehormatan Lencana tiga tahun berturut-turut 1995, 1996, 1997, Tanda Jasa Kehormatan Setia Mahkota dari Yang Dipertuan Agung Raja Perlis, dan seabrek lainnya.

Sabtu, 22 Mei 2021, sekitar pukul 10.30 WIB Pak Syam tutup usia setelah beberapa hari berjuang melawan virus coroma.

Sebelum ajal menjemput, Pak Syam menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUZA), Banda Aceh.

“Beliau meninggal di Ruang RICU (respiratory intensive care unit) RSUZA,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat RSUZA,  Rahmadi kepada Kompas.com, Sabtu.

Selamat jalan Pak Syam. Seluruh muridmu merasa terpana, dan pasti terus merindukan diri sebagai orang yang tidak dikenal di matamu, merindukan pertanyaanmu: Soe gata!

Insya Allah husnul khatimah. Alfatihah.

*) Pengacara di Jakarta.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *