Sengkarut Lahan Eks HGU PT Desa Jaya, Praktik Mafia Tanah?

waktu baca 5 menit
Pertemuan warga di sekitar PT Desa Jaya dengan perwakilan perusahaan. (Saiful Alam/Theacehpost.com)

Theacehpost.com | ACEH TAMIANG – Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tamiang, Asra datang memenuhi panggilan Kejaksaan Tinggi Aceh pada Rabu lalu, 23 Februari 2022. Ia satu dari sejumlah pejabat yang diperiksa terkait dugaan pelanggaran hukum dalam proses pengalihan tanah eks Hak Guna Usaha PT Desa Jaya.

Informasi yang dihimpun Theacehpost.com, selain Asra, berturut-turut Kejati juga telah memanggil Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Aceh Tamiang.

Pemanggilan ini dilatari peristiwa sebelumnya, di mana masyarakat dari sejumlah gampong di Kecamatan Bandar Pusaka ramai-ramai mempersoalkan tindakan BPN Aceh yang diduga telah menggeser patok lahan eks HGU perusahaan perkebunan PT Desa Jaya, hingga mencaplok area lahan perkebunan warga.

Senin lalu, puluhan warga Kecamatan Bandar Pusaka bertemu perwakilan PT Desa Jaya. Dari pengakuan mereka, terkuak dugaan praktik mafia tanah.

Mul, warga Desa Alur Jambu yang hadir dalam pertemuan itu membeberkan, 9 Februari lalu, sejumlah orang dari BPN Provinsi Aceh menemui Datok Penghulu Alur Jambu, Kiki di Kantor Camat Bandar Pusaka.

banner 72x960

Mereka lantas memintanya menandatangani sebuah berkas. Kepada Kiki, perwakilan BPN mengatakan berkas tersebut berhubungan dengan rencana pengukuran batas lahan antara eks HGU PT Desa Jaya dengan lahan sawit masyarakat.

“BPN meminta datok penghulu kami menandatangani dan mengecap stempel datok penghulu di surat yang sudah mereka siapkan, dengan alasan untuk pengukurun batas tanah,” kata Mul.

Saat itu, lanjut Mul, oknum BPN juga meminta Datok Kiki membubuhkan stempel di kertas yang kosong. Kecurigaan mulai muncul, dan belakangan terbukti menuai masalah di lapangan.

Mul mengatakan, BPN ternyata datang bukan untuk pengukuran lahan, namun menggeser patok perusahaan PT Desa Jaya hingga masuk ke kawasan lahan masyarakat.

“Pantas saja kertas kosong mereka minta untuk distempelkan, rupanya hendak mengelabui datok untuk menggeser patok perusahaan masuk ke area kebun masyarakat,” duga Mul.

Saat dikonfirmasi, Datok Kiki pun membenarkan kronologi itu. Kata dia, pertemuan di kantor camat awal Februari lalu itu juga dihadiri beberapa datok penghulu lainnya.

“Mereka bilang untuk pengukuran, jadi saya tandatangan dan saya stempelkan,” ujarnya.

Ketika tahu kondisi di lapangan, Datok Kiki pun kecewa. Ia merasa diperdaya. Jika saja sejak awal disampaikan bahwa penandatanganan itu untuk menggeser patok lahan, ia pasti akan memanggil warga yang perkebunannya berbatasan langsung dengan perusahaan.

“Ini saya rupanya sudah dikelabui sama mereka,” sambungnya. Karena itu, Datok Kiki bersama kuasa hukumnya mengajukan surat pembatalan tanda tangan tersebut ke BPN Aceh.

Penggeseran patok lahan ini telah berdampak pada sedikitnya delapan gampong di sekitar perusahaan. Enam gampong di antaranya masuk dalam area HGU, yakni Kampung Serba, Perupok, Batang Ara, Alur Jambu, Aras Sembilan dan Blang Kandis.

Selain keenam gampong itu, pergeseran patok lahan juga diduga telah mencaplok Kampung Gerenggam dan Tanjung Genteng di Kecamatan Kejuruan Muda.

Hingga kemarin, Theacehpost.com telah berupaya untuk mengonfirmasi BPN Provinsi Aceh mengenai tudingan warga ini, namun belum direspons.

Sengkarut lahan eks HGU PT Desa Jaya dan warga setempat, sebenarnya bukan kali pertama. Persoalan distribusi lahan di kawasan itu kerap muncul dalam dua dasawarsa terakhir.

Seperti pada tahun 2010, warga sempat melancarkan aksi menuntut pemerintah membagi lahan eks HGU perusahaan seluas kurang lebih 2.300 hektare itu untuk masyarakat. Desakan itu muncul tepat saat izin PT Desa berakhir.

Dua tahun kemudian, Pemkab Aceh Tamiang mengutarakan segera membagi lahan seluas 600 hektare eks HGU PT Desa kepada masyarakat.

Rencana itu belakangan terealisasi, masyarakat akhirnya bisa mengelola lahan itu untuk berkebun dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil panen kebun mereka, selama bertahun-tahun.

Namun masalah kembali mencuat awal tahun 2022 ini, di mana BPN datang memasang patok luas lahan PT Desa Jaya dan diduga mencaplok sekian ratus hektare tanah yang sudah dikelola masyarakat.

Dalam pertemuan dengan perwakilan PT Desa Jaya kemarin, Jumat 25 Februari 2022, warga dan perusahaan mulai menyepakati penghentian aktivitas di lahan perkebunan perusahaan yang bersinggungan dengan lahan warga.

Satu alinea dalam lembaran bertulis tangan itu menyatakan, terdapat dua keputusan penting, yakni Keputusan Gubernur Aceh Nomor 593/142/2007 yang terbit pada 30 April 2007, serta Surat Bupati Aceh Tamiang Nomor 593/2199/2007 tanggal 2 November pada tahun yang sama.

Dari penelusuran Theacehpost.com, diketahui Bupati Aceh Tamiang masa itu, H Abdul Latief pernah menyurati Direktur Utama PT Desa Jaya. Dirinya menindaklanjuti Keputusan Gubernur NAD pada 30 April 2007, tentang pembentukan tim evaluasi dan pengalihan lahan yang ditelantarkan PT Desa Jaya untuk diserahkan kepada masyarakat Mukim Alur Jambu.

“Dan (juga) surat Gubernur Provinsi NAD tanggal 14 September 2007 perihal hasil evaluasi tim,” demikian petikan surat dari Abdul Latief kala itu.

Mengacu arahan gubernur, Bupati Latief meminta perusahaan untuk tidak lagi melakukan aktivitas apa pun di atas lahan eks HGU tersebut.

“(penghentian aktivitas) guna menghindari salah tafsir di lapangan dengan warga masyarakat, mengingat lahan tersebut bukan lagi hak Saudara (PT Desa Jaya) untuk mengelolanya,” bunyi surat itu, 2 November 2007.

Surat ini lantas menjadi acuan bagi masyarakat Alur Jambu, termasuk saat bersinggungan lagi dengan perusahaan, 15 tahun kemudian.

“Sepanjang pengetahuan kami, sejak keputusan itu terbit sampai saat ini, pihak perusahaan masih terus melakukan aktivitas dan mengangkangi kedua keputusan itu,” ujar warga.

Karena itu, warga dan PT Desa Jaya pada pertemuan kemarin menyepakati dua poin. Pertama, perusahaan eks HGU PT Desa Jaya tidak melakukan segala aktivitas apa pun bentuknya dalam kawasan perkebunan itu.

“Kedua, dari hasil keputusan bersama kedua belah pihak, kami berharap pemerintah daerah segera menyikapi persoalan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat di lingkungan PT Desa Jaya,” tutupnya.

Kedua pihak pun menandatangani kesepakatan ini, disertai paraf dan stempel Camat Bandar Pusaka, Cakra Agie Winapati.[]

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *