Pertarungan Anak Pulau di Kampus Unida Lamteuba Masuki Episode Akhir

waktu baca 4 menit
Mahasiswa Unida asal Simeulue yang selama ini berkampus di Lamteuba, Aceh Besar sudah mengikuti ujian skripsi program sarjana di Kampus Induk Surien yang dipimpin langsung Rektor Unida, Prof. Dr. Syafei Ibrahim, M.Si. (Dok Unida)

SETELAH melalui perjuangan panjang sejak 2018, kini serombongan anak Pulau Simeulue yang menjalani kuliah di kampus alam Universitas Iskandar Muda (Unida) Lamteuba, Aceh Besar bisa bernapas lega. Kabar gembira itu disampaikan Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan, Dr. Bustamam Ali, M/Pd kepada Theacehpost.com, Rabu, 31 Agustus 2022. “Sejak 29 Agustus 2022 sebanyak 10 mahasiswa Unida asal Pulau Simeulue sudah dapat mengikuti ujian skripsi program sarjana di Kampus Induk Surien yang dipimpin langsung Rektor Unida, Prof. Dr. Syafei Ibrahim, M.Si,” kata Bustamam.

Wakil Rektor 3 Unida Bidang Kemahasiswaan, Bustamam Ali menginformasikan, saat sidang skripsi dibuka, mahasiswa diwajibkan membaca beberapa hafalan surah Alquran khususnya jus-amma.

Ke-10 mahasiswa asal Simeulue tersebut mendiami kampus alam lereng Gunung Seulawah Agam. Mereka kuliih sambil bekerja seperti mengurus peternakan dan pertanian di lahan seluas lebih kurang 30 hektare.

Menurut Bustamam Ali, pada saat rekutmen awal mereka berjumlah 29 orang. Namun lambat laun hanya 10 mahasiswa yang bertahan hingga hari ini.

banner 72x960
Anak Pulau menjalani rutinitas keseharian–kuliah sambil kerja–di Kampus Unida di Lamteuba, Aceh Besar. (Dok Unida)

“Insya Allah pada Oktober tahun ini mereka akan diwisuda bersama 500 lulusan lainnya, yaitu program sarjana dan pascasarjana termasuk mahasiswa dari Thailand,” kata Rektor Unida.

Kisah Kampus Lamteuba

Pada 13 Juni 2021, Theacehpost.com berkesempatan berbincang dengan beberapa mahasiswa Unida yang berkampus di Desa Meurah, Kemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar.

“Kampus kami berada dalam wilayah Desa Meurah. Di sinilah sejak 2018 lalu kami menuntut ilmu. Kisah awal yang sangat berat namun kami telah melalui semua tantangan itu,” kata Riski Agus Wardana selaku Komting Mahasiswa Fisip Unida Kampus Lamteuba.

Meski Riski Agus Wardana dkk tercatat sebagai mahasiswa angkatan pertama sejak 2018, namun pihak Unida sudah menjajaki pengembangan perguruan tinggi swasta tertua di Aceh tersebut dengan membuka kampus di Lamteuba sejak awal 2013.

Riski Agus Wardana menceritakan, pada tahun 2018 tim dari Unida Banda Aceh menyeberang ke Simeulue.

Tim Unida yang dipimpin Rektor Prof. Syafii Ibrahim menggendeng PGRI Simeulue melakukan sosialisasi program sekaligus merekrut lulusan SLTA di kepulauan tersebut untuk kuliah di Unida.

Menurut Riski, tim rekruitmen menjaring 20 lululan SLTA untuk kuliah di kampus Lamteuba. Mereka adalah mahasiswa perintis di kampus tersebut.

Pada Desember 2018, sebanyak 14 calon mahasiswa didampingi Ketua PGRI Simeulue berangkat ke Banda Aceh. “Sebelum ke Lamteuba dengan menggunakan bus, terlebih dahulu kami singgah di Kampus Unida Surien,” kenang Riski.

Riski juga menceritakan kisah awal yang menurutnya sangat menyimpang dari bayangan mereka.

“Dalam perjalanan kami sempat saling pandang dan bertanya dalam hati kenapa kami harus ke hutan,” kata Riski mengenang perjalanan awal mereka menuju Kampus Unida di Lamteuba. Riski dkk merupakan lulusan SMA dan SMK, kelahiran 1999, 2000, dan 2001.

Di Lamteuba, mereka diasramakan (boarding) dan kuliah dengan konsep kewirausahaan seperti pertanian, peternakan, dan tambak ikan. Juga ada pendidikan keagamaan.

Sistem perkuliahan, menurut Riski berjalan normal. Dosen datang rutin ke kampus sesuai jam kuliah. Kalau dosen nginap di Lamteuba, dilanjutkan kuliah malam. Jika sedang tidak ada dosen, proses pendidikan tetap berlangsung diselingi dengan Bahasa Arab, Bahasa inggris, dan keagamaan. Mereka juga belajar kitab kuning.

Tersisa 10 orang

Diakui Riski, bukan sesuatu yang mudah melewati hari-hari di Lamteuba. Buktinya, ketika semester II, empat lagi kawan-kawannya dari Simeulue mundur. Bersamaan dengan itu, mahasiswa dari Lamteuba yang tidak boarding juga memilih tak melanjutkan kuliah.

“Sejak saat itu tinggal kami 10 orang yang bertahan. Pak Bus terus memotivasi kami. Bahkan Pak Rektor selalu mengingatkan agar kami jangan mundur,” kata Riski, anak muda dari Desa Lebang, Kecamatan Tepah Barat, Kabupaten Simeulue.

Riski merincikan identitas sembilan kawannya yang lain (semuanya laki-laki), yaitu Ramon Mairanda dari Desa Lebang, Kecamatan Teupah Barat; Saiful Adami dari Desa Air Dingin, Kecamatan Simeulue Timur; Pendi Alfanoya dari Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat; Aldi Alfan dari Desa Latiung, Kecamatan Teupah Selatan; Riski Wahyudi dari Desa Latiung, Kecamatan Teupah Selatan; Muliadin dari Desa Badegong, Kecamatan Teupah Selatan; Fendriliadi dari Desa Ulul Falu, Kecamatan Teupah Selatan; Rahmad Yadin dari Desa Kota Batu, Kecamatan Simeuleu Timur, dan Ikhwan Mariadi dari Desa Awel Kecil, Kecamatan Teupah Barat.

Mereka, seperti kata Bustamam Ali adalah petarung sejati yang bukan hanya menjadi kebanggaan Unida tetapi juga kita semua. Mereka telah menjalani kehidupan yang jauh dari kelaziman pergaulan sebagai anak muda.

Lamteuba telah memberikan banyak pelajaran untuk mereka. Pelajaran tentang bagaimana menaklukkan tantangan dan merancang masa depan. Kini, mereka sudah memasuki episode akhir pertarungan panjang itu. Selamat. []

Selengkapnya baca: Kisah Pertarungan Anak Pulau di Kampus Unida Lamteuba

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *