Negara dan Sikap Otoriter

waktu baca 2 menit
Syah Reza

Oleh: Syah Reza

MELIHAT realitas politik saat ini, kondisi negara tampaknya sedang tidak baik-baik saja. Kebijakan yang dikeluarkan oleh negara seringkali sepihak dan memunculkan respon negatif dari masyarakat.

Pembubaran Ormas Islam (terutama FPI) tanpa melalui proses legislasi yang ideal adalah salah satu contoh dari kondisi tidak sehatnya sistem politik.

Negara memang memiliki power untuk melakukan berbagai hal. Tujuannya untuk mewujudkan kemasalahatan umum, dan menjaga keadilan merata.

Namun, ketika pemerintahan sebagai produsen hukum memakai hukum secara bebas untuk menghakimi masyarakat yang sedang memperjuangkan keadilan jelas bententangan dengan ruh demokrasi.

banner 72x960

Sudah masyhur bahwa kekuasaan itu identitik dengan otoriter. Tetapi memanfaatkan otoritas kekuasaan itu dengan ‘menutup mulut’ masyarakat yang berbeda pandangan dengan pemerintah bukan lah wajah dari politik yang baik. Apalagi sampai menganggap kritikan itu sebagai ancaman bagi negara.

Padahal, sistem demokrasi sangat mengakomodir kebebasan berpendapat setiap warga negara dan negara mestinya melindungi hak tersebut. Ditambah lagi Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas agama dalam pemerintahan, tentu tidak etis ketika negara mengambil sikap sepihak tanpa membangun komunikasi dan musyawarah dengan masyarakat ketika muncul perbedaan fundamental.

Kasus pembubaran salah satu ormas Islam (yang dicap radikal oleh negara) adalah bukti bahwa negara kehilangan peran dalam mewujudkan kesatuan. Tampak negara tidak siap berbeda, tidak mampu mengakomodir aspirasi masyarakat, serta tidak berhasil mewujudkan ruh demokrasi.

Sangat wajar apabila kegaduhan sering terjadi di negeri ini, karena otoritarianisme dipakai oleh penguasa.

Memang tak salah Aristoteles mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem paling rapuh diantara sistem lainnya jika diaplikasikan oleh sebuah negara. Karena kedaulatan rakyat berada diatas semua hal.

Artinya ada ruang kewenangan yang membuka celah kebebasan tertinggi manusia di atas tuhan sehingga manusia bersikap sesuka hati dalam menjalankan negara. Itu juga alasan Abul A’la Al-Maududi tidak sepakat dengan sistem demokrasi karena konsekuensi teologis sangat besar.

Tentu sistem pemerintahan tidak final dalam Islam, ada ruang ijtihad dan dialektika di sana. Bahkan format sistem negara sampai hari ini belum menemukan bentuk ideal, teokrasi, monarki, demokrasi, atau lainnya.

Apapun itu, seperti kata Al-Farabi bahwa Islam memiliki satu prinsip dalam politik yaitu terwujudnya keadilan dan kebahagiaan bagi manusia dunia dan akhirat. Jika prinsip itu tidak dijalankan oleh sebuah negara, maka yang muncul kemudian adalah kerusakan. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *