Merawat Tradisi Meugang

waktu baca 3 menit
Ilustrasi: penjual daging di Banda Aceh. (Foto: Theacehpost.com)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Salah satu tradisi masyarakat Aceh menjelang Ramadhan dan Idul Fitri hingga Idul Adha adalah meugang.

Istilah tersebut terkadang disebut juga dengan ‘makmeugang’ dan bukan lagi hal yang asing di kalangan masyarakat setempat.

Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh, Tgk Asnawi M Amin, mengatakan meugang merupakan tradisi memasak daging dan menikmati bersama kelurga.

Kata dia, beragam masakan diolah menggunakan bahan daging pada suasana tersebut. Tradisi ini diawali dengan pemotongan sapi, kerbau ataupun kambing.

Sebagian masyarakat juga ada yang membeli daging untuk mengolah dalam memenuhi tradisi ini.

banner 72x960

Menurutnya, sejarah meugang diawali pada masa kerajaan Aceh dengan memotong hewan dalam jumlah yang banyak dan dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat.

Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur dan terima kasih atas kemakmuran Aceh.

Saat ini, tradisi meugang terus dilakukan oleh masyarakat Aceh dan berharap kearifan lokal ini terus dijaga kelestariannya.

“Tradisi meugang sudah ada sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-16 masehi,” kata Tgk. Asnawi, Minggu, 11 April 2021.

Tekad untuk menjaga tradisi ini semakin kukuh lantaran tradisi meugang juga tertulis dalam Qanun Al-Asyi pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.

Tgk. Asnawi menyampaikan bahwa tradisi juga memberi kesempatan kepada para dermawan untuk bersedekah kepada para fakir, miskin dan duafa.

“Hal itu agar mereka mendapatkan hak yang sama dalam menyambut Ramadhan,” ucapnya.

Meugang adalah tradisi sakral di Aceh yang harus dilaksanakan sebelum Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha (hari istimewa).

Selain itu, tradisi meugang juga mempunyai nilai sosial yang tinggi.

“Sebab dengan tradisi sama-sama makan daging ini seakan masyarakat muslim Aceh menyatukan rasa kebersamaan dan kekompakan dalam menyambut bulan Ramadhan yang penuh berkah,” jelas putra kelahiran Ulee Glee, Pidie Jaya itu.

Dalam pandangannya, ada nilai-nilai tradisi positif di balik pelaksanaan meugang, yakni selain pemotongan sapi dan menyantap hasil olahan daging, juga terdapat nilai religius.

“Karena kebiasaan masyarakat melakukan tradisi meugang pada saat akan datangnya bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha,” terang dia.

Menurutnya, kebiasaan ini sebagai kearifan lokal yang bernilai religi dan bukanlah perkara bid’ah mumkarah sebagaimana dianggap sebagian orang.

“Dalam tradisi meugang ada nilai bersedekah atau saling berbagi satu sama lain kepada orang yang kurang mampu dan fakir miskin. Hal ini dilakukan agar semua dapat merasakan tradisi meugang dan juga memperoleh pahala dari Allah SWT,” urainya.

Tgk Asnawi mengatakan di balik meugang juga terdapat nilai kebersamaan dan gotong royong. Karena dalam tradisi ini, biasaya hewan yang dipotong akan dibersihkan dan dibagikan dagingnya secara bersama.

“Selain itu juga kebersamaan terjadi dalam keluarga karena biasanya sanak saudara yang merantau akan pulang untuk bersama merayakan meugang bersama keluarga di kampung halaman,” pungkasnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Sudah ditampilkan semua