Menyoal Kelindan Sosial-Ekonomi di Balik Tergerusnya Rawa Singkil

waktu baca 3 menit
Plang larangan menebang pohon yang dipajang BKSDA Aceh, yang membelakangi hamparan pembukaan lahan sawit di Rawa Singkil. (Dok. FJL)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Terancamnya ekosistem gambut di kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil membutuhkan perhatian semua pihak. Otoritas terkait bahkan didesak segera menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistemnya.

“Kondisinya kritis, khususnya Rawa Singkil sebagai habitat tersisa bagi orangutan,” ujar Direktur Konservasi Yayasan Ekosistem Lestari, M Yacob Ishadamy, saat mengisi diskusi virtual ‘Masa Depan Rawa Singkil’ yang digelar Forum Jurnalis Lingkungan Aceh, Kamis 4 November 2021.

Menurutnya, keberlangsungan Rawa Singkil kian rentan karena kondisi struktural, di mana salah satu wilayah bentangannya, Kabupaten Aceh Singkil, termasuk daerah dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi.

“Kita berharap pembangunan di sana bisa berkelanjutan, yakni ekonomi dan sosialnya harus berimbang, tanpa merambah hutan,” kata Yacob.

Saat ini hutan gambut di kawasan itu kian terancam akibat perambahan maupun ekspansi perkebunan sawit ilegal. Rusaknya gambut dikhawatirkan bakal berdampak pada masalah ekologi, ekonomi dan sosial di sekitarnya.

banner 72x960

Mendesaknya upaya perlindungan lahan gambut juga diiyakan Koordinator Riset Pusat Riset Perubahan Iklim Aceh (ACCI) Universitas Syiah Kuala, Dr. Monalisa. Kata dia, perlindungan gambut penting untuk memperlambat laju pemanasan global.

Secara ilmiah, dirinya menjelaskan pembentukan lahan gambut membutuhkan waktu yang sangat panjang, hingga ribuan tahun. Tanah gambut sudah ada sekitar 9600 hingga 9700 tahun sebelum Masehi, yang terbentuk di sekitar rawa-rawa, saat ada tumbuhan yang mati, lalu terjatuh dan terhambat proses pembusukannya.

“Kondisi ini mudah terjadi di kawasan sekitar rawa-rawa, karena perairan di sekitarnya memiliki tingkat keasaman yang tinggi,” paparnya.

Di Aceh, masalah pengelolaan lahan gambut menurutnya tak lepas dari kelindan sosial, politik, ekonomi, regulasi dan aspek tenurial. Singkatnya, “gambut dan masyarakat sekitar tidak bisa dipisahkan, dan jika lahan itu terbakar, pemulihannya bakal lebih sulit.”

Perlu Pendekatan Komprehensif

Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Provinsi Aceh, Agus Arianto mengatakan, Suaka Margasatwa Rawa Singkil membentang di tiga kabupaten, yakni Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam. Tiga daerah itu merupakan hutan rawa gambut Kawasan Ekosistem Leuser.

Untuk melindungi kawasan ini, pihaknya rutin melakukan pengamanan, seperti patroli melibatkan masyarakat serta polisi hutan. BKSDA juga berupaya melakukan pendampingan kepada masyarakat untuk ikut berperan dalam melestarikan Rawa Singkil.

Sejak tahun 2018, ujar Agus, BKSDA sudah melakukan restorasi terhadap blok-blok rehabilitasi, dengan melakukan pemulihan secara alami. Pemulihan ekosistem juga dilakukan di wilayah Aceh Selatan sejak 2018 hingga 2024 mendatang. Saat ini, lahan yang dipulihkan ekosistemnya telah mencapai sekitar 240 hektare.

Agus berkomitmen, BKSDA akan terus berupaya melestarikan Rawa Singkil dengan mempertimbangkan sisi kesejahteraan, harmonisasi di antara masyarakat serta kelestarian alam setempat.

Pertimbangan ini menunjukkan kompleksnya persoalan di Rawa Singkil, sehingga butuh upaya yang komprehensif untuk menyelesaikannya. Ketua Balai Gakkum Sumatera, Subhan berharap ke depan ada diskusi terfokus untuk menghasilkan masukan yang lebih strategis dalam menyelesaikan masalah lingkungan di Rawa Singkil.

“Sebenarnya saya berharap satu gambaran pemetaan secara menyeluruh terhadap Rawa Singkil. Solusi bukan hanya penegakan hukum saja, tapi secara komprehensif yang melibatkan banyak pihak,” pungkas Subhan.[]

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *