Bermusyawarahlah, Agar Kita Bisa Membangun Peradaban Aceh

waktu baca 4 menit

Kisruh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) versus Plt. Gubernur Aceh. Kemelut Majelis Pengajian Tauhid Tasawuf (MPTT) versus sekelompok masyarakat di Pantai Barat Selatan. Sesungguhnya ini adalah bagian dari prahara perih yang menimpa Aceh hari ini. 

Begitu juga, “konflik” batas antara Unsyiah vs UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Sesuatu yang patut disesali. Begitu juga konflik apapun lainnya yang kita hadapi dewasa ini. 

Di hadapan kemelut-kemelut ini, sepertinya kita sedang dituntun oleh Yang Maha Kuasa untuk betul-betul serius kembali ke jalan Islam. Karena tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah solusi.

Kalau kita bisa keluar dari konflik ini, insya Allah setelah itu kita akan menjadi entitas yang sangat kuat. Yang jelas, ini semua antar sesama bangsa Aceh. Maka mau tidak mau kita harus berhasil keluar dari “kemelut” ini.

Di antara seruan Islam kepada pemeluknya adalah untuk lebih sering bermusyawarah atau dialog dalam rangka menyelesaikan masalah yang muncul. Jangan biarkan saluran komunikasi tersumbat. Yang punya power dan relasi, jangan tunggu lagi, segera fasilitasi kegiatan musyawarah/dialog.

banner 72x960

Para pihak terkait dapat mengambil peran mempertemukan MPTT dengan masyarakat yang kontra dengannya, khususnya dengan tokoh agama di kalangan mereka. Semua harus serius.

Firasat saya, utk kasus ini peran Dinas Pendidikan Dayah Aceh akan lebih efektif ketimbang MPU. Sebab, semua teungku-teungku dayah baik yang di MPTT maupun yang kontra dengannya pasti memiliki keterikatan dengan Dinas Dayah sebagai stakeholder pemerintah yang membantu dayah-dayah atau pengajian-pengajiannya. Demikian sedikit masukan saya. Tapi MPU juga diharapkan dapat memfasilitasi jalan musyawarah.

Pada prinsipnya, bagaimana caranya kita harus tetap menjaga damai Aceh. Kedua belah pihak harus menemukan jalan keluar. Konflik harus dihindari. Kita harus mencari jalan keluar yang dapat diterima kedua kelompok, baik MPTT maupun yang kontra.

Di antara prinsip Islam Wasathiyah sebagai bagian dari karakteristik ajaran Islam, adalah “pentingnya mengutamakan rasa aman”. Apapun caranya sesama umat Islam sangat penting menjaga agar tetap aman dan damai. Aceh harus tetap dalam aman dan damai.

Lalu, kita beralih kepada konflik antara DPRA dan Plt. Gubernur. Solusinya tetap dialog/musyawarah. Semua tindakan yang menyerang DPRA ataupun menyerang Plt. Gubernur agaknya kurang efektif untuk selesaikan masalah.

Kita ini sama-sama Aceh koq. Sama-sama muslim. Jadi desak mereka untuk musyawarah. Duduk bersama. Pada titik ini, kita paham DPRA dua kali mengundang Plt. Gubernur tetapi tidak mau hadir ke DPRA.

Jadi, jika ini masalahnya, kita semua harus mendesak Pak Plt. Gubernur untuk mau hadir ke DPRA berdialog/muasywarah dengan mereka. Sebab, musyawarah atau dialog ini adalah ajaran Islam yang sangat prinsipil dalam mencari titik temu, sekaligus menghindari potensi konflik.

Musyawarah ini adalah peraturan Allah Swt. Allah Swt mensifati sifat kaum muslimin yang senantiasa bermusyawarah: 

“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” [Asy-Syuura: 38].

Ayat di atas sepertinya Allah Swt sedang memberi sanjungan dan membanggakan hamba-hambaNya yang suka bermusyawarah.

Betapa mulianya kita masyarakat Aceh yang mau mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan masalah yang menimpa di antara kita. Dan musyawarah ini adalah bagian penting dari fondasi peradaban Islam yang seharusnya diperkuat di Aceh.

Dialog/musyawarah adalah ajaran inti Islam untuk selesaikan masalah. Menunda musyawarah/dialog hanya akan memperlambat penyelesaikan masalah. Pihak-pihak yang terlibat dalam kemelut konflik ini harus duduk bermusyawarah. Bermusyawarahlah untuk kebaikan Aceh.

Kata Tu Sop Jeunieb, “Bertarung dengan sesama itu kita tak ubahnya seperti bertarung di kandang macan. Yang menang maupun yang kalah akan sama-sama di makan macan.”

Padahal musuh kita bukan sesama Aceh, bukan sesama Islam. Musuh kita adalah kemiskinan dan kebodohan. Musuh kita adalah ketidakadilan. Musuh kita adalah kapitalisme berkedok pembangunanisme. Musuh kita adalah ketertinggalan. Musuh kita adalah egoisme. Musuh kita adalah keangkuhan dan kesombongan.

Ingat, kita sedang menghadapi wabah covid. Dan yang jelas, sudah seharusnya peristiwa apapun di dunia dapat menyadarkan kita bahwa kematian itu adalah nyata. Kita akan segera pergi meninggalkan dunia ini.

Dan Rasulullah Saw mengingatkan kita, bahwa: “Sebaik-baik kita adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”. 

Kekuasaan dan power yang kita miliki, gunakanlah untuk kemashlatan ummat. Karena dengan itu jabatan kita dapat menolong kita di yaumil hisab.

Baiklah. Ini saja sedikit masukan saya. Saya yakin semua sudah paham. Tinggal pelaksanaannya. Wallahu a’lam bishshawab.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *