Ulama Jadi Pejabat Publik, Pakon Teuma?

waktu baca 8 menit
Usamah Elmadny

Oleh Usamah El-Madny*)

CATATAN ini terinspirasi dari sejumlah komentar liar di media sosial terkait pengangkatan KH. DR. Said Aqil Siraij, Ketua Umum PB NU sebagai Komisaris Utama PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

Misalnya, di sebuah akun facebook seorang mantan guru di Banda Aceh, diposting foto suasana hari kerja pertama Kiyai Said di PT KAI. Dalam foto itu terlihat Kiyai Said tengah berjalan di sebuah lokasi didampingi sejumlah pejabat PT KAI.

Sebagai komisaris utama tentu penampilan Kiyai Said dalam foto tersebut terlihat tidak seperti biasa. Kalau biasanya Kiyai Said tampil berkain sarung, maka pada kesempatan tersebut Kiyai Said tanpa sarung.

Beliau memakai seragam PT KAI. Dengan tetap berpeci tubuh Kiyai Said dibalut celana panjang warna biru dipadu baju putih lengan pendek plus tali pinggang. Terlihat gagah, elegan dan sama sekali tidak mengurangi aura kewibawaannya sebagai ulama dan ketua umum sebuah ormas keagamaan terbesar di Indonesia.

banner 72x960

Sesuai perspektif masing-masing netizen —- terutama para netizen yang mengusung slogan ‘maha benar apa yang dikatakan netizen’ —- komentar mereka yang bersileweran terkait foto Kiyai Said itu pun beragam. Ada yang berkomentar negatif, bahkan berlebihan.

“Ka rhet ija krong kali nyoe,” misalnya komentar salah satu netizen.

Stereotipe Negatif

Melihat perspektif sebagian masyarakat terkait partisipasi ulama dalam jabatan publik, terutama yang tergambar di media sosial, paling tidak pola pikir netizen yang demikian dapat diresume dalam dua bentuk. Yang kedua-duanya sesat dan menyesatkan serta menjurus stereotipe negatif.

Pertama, mereka berpikir, sebagai tokoh agama maka wilayah ulama hanya seputaran wilayah spritualitas saja.

Sekali-kali jika dibutuhkan saja maka ulama itu didorong sedemikian rupa agar otoritas agama dan spiritualitas yang dimilikinya dimanfaatkan untuk menjustifikasi sejumlah kebijakan pejabat publik.

Menjadi pejabat publik tidak boleh, tapi sebagai stempel justifikasi dan pemadam kebakaran akibat sebuah kebijakan pejabat publik mereka tidak keberatan. Sebuah cara berpikir dan perlakuan yang sama sekali tidak adil.

Kedua, image sejumlah pihak bahwa ulama itu tidak memiliki komponen profesional sekaligus tidak kapabel menjadi pejabat publik telah lama terbentuk dan mengkristal.

Ya, ulama tidak layak jadi pejabat publik. Semisal menjadi komisaris, bupati, wali kota, gubernur, dan berbagai jabatan publik lainnya.

Penampakan Kiyai Aqil Siraj (kanan) dengan seragam Komisaris Utama KAI pada hari pertama kerja. (Foto: Dok. KAI)

Bahkan selevel Prof. DR. Kiyai H. Makruf Amin, MA yang ulama cum akademisi juga sering di-image-kan sebagai tidak mampu sebagai wapres.

Berangkat dari dua kerangka berpikir menyesatkan itu maka mereka tanpa merasa bersalah berani membuli ulama yang mendapat kepercayaan sebagai pejabat publik atau yang sedang berproses secara konstitusional dan demokratis menjadi pejabat publik. Seperti beberapa pihak yang menyerang Kiyai Said karena jadi Komisaris PT. KAI.

Kerangka berpikir terkait partisipasi ulama di ruang publik yang demikian merupakan warisan kolonial.

Dalam catatan sejarah sebelum penjajahan, di sejumlah kesultanan Islam di Nusantara, ulama adalah salah satu elemen pejabat publik bersama para raja atau sultan dan pejabat publik lainnya.

Pada era kolonial lebih dari tiga ratus tahun para ulama dengan semangat jihadnya menjauh dari pusat pemerintahan dan terus menggelorakan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.

Karena menjauh dari pusat pemerintahan bahkan melawan pemerintahan kolonial , lalu akses ulama ke pemerintahan ketika itu digantikan oleh unsur lain yang dapat bekerjasama dengan kolonial.

Sama halnya juga ketika menjelang Indonesia merdeka. Belanda dan Jepang telah mempersiapkan kader-kader amtenar sebagai birokrat jika nanti Indonesia merdeka.

Maka benar adanya, begitu Indonesia merdeka sampai puluhan tahun kemudian para birokrat Indonesia adalah kader didikan sekolah Belanda dan Jepang sampai kemudian mereka pensiun dan digantikan dengan birokrat baru didikan Indonesia.

Birokrat didikan Indonesia tersebut juga minus santri dan ulama, karena ketika itu santri dan ulama jauh dari siap—terutama SDM—karena telah begitu lama menjauh dan menjaga jarak dengan pemerintahan.

Kesadaran baru

Sampai kemudian Indonesia terus bergerak berubah. Paska reformasi politik 1998 peluang santri atau ulama menjadi pejabat publik kembali terbuka.

Bersamaan dengan roda perubahan tersebut, di kalangan ulama dan santri muncul kesadaran kolektif melakukan konsolidasi internal untuk mejadi subjek utama pelaku berbagai inisiatif kemaslahatan masyarakat melalui institusi negara, sebagai antitesa dari sebegitu lama mereka menjadi objek kebijakan publik negara—bahkan menjadi objek penderita.

Peluang menuju ke arah itu terbuka lebar. Karena memang santri dan ulama itu memiliki modal sosial politik yang cukup untuk dikonversikan menjadi sebuah kekuatan politik yang kemudian menjelma dalam bentuk jabatan publik dengan sejumlah kewenangan.

Selama ini modal sosial politik itu justru tanpa disadari dieksploitasi pihak lain tanpa kompensasi yang adil dan memadai bahkan justru kontra produktif dan merugikan kepentingan umat.

Dengan kata lain kesadaran kolektif santri dan ulama itu membuat mereka tidak mau tangan bersih mereka digunakan secara gratis untuk berbuat kotor. Akan lebih baik tangan itu (potensi ulama dan santri) digunakan untuk kemaslahatan dunia akhirat oleh santri dan ulama sendiri.

Dalam konteks ini kita menjadi paham bila paska reformasi politik 1998 muncul rausanfikr atau pencerahan di kalangan santri dan ulama untuk memanfaatkan potensi modal sosial politik yang mereka miliki sebagai momentum fastabiqul khairat melalui kewenangan jabatan publik. Maka sejak itu, terutama di sejumlah daerah di Pulau Jawa sangat banyak ulama dan santri yang menjadi pejabat publik di berbagai level. Termasuk yang terakhir Kiyai Said sebagai Komisaris Utama PT. KAI.

Bukan hal baru

Dalam sejarah Islam, baik ketika masa hidup Rasulullah SAW, masa khulafaurrasyidin, termasuk hingga era kesultanan dan kerajaan Islam di berbagai belahan dunia, keterlibatan ulama menjadi pejabat publik bukan barang aneh.

Rasulullah sendiri bukan hanya sebagai otoritas keagamaan tertinggi, tapi pada diri beliau juga melekat fungsi pemimpin politik dan pemimpin negara, yang hari ini kita kenal dengan pejabat publik.

Kalaulah Rasulullah SAW sendiri di samping menjadi tokoh utama agama dan spritualitas serta merangkap pimpinan politik dan kepala pemetintahan, maka hal yang sama — ketika syarat profesional dan kapabelitas terpenuhi —- maka ulama sebagai warasatulanbiya juga diperkenankan menjadi pejabat publik. Dalam flatform demokrasi yang kita sepakati tidak boleh sebuah kelompok mengeleminasi kelompok lain dalam prinsip-prinsip demokrasi yang telah disepakati. Termasuk mereduksi hak ulama menjadi pejabat publik.

Pada masa Rasulullah ada ulama yang ditunjuk sebagai pejabat publik setingkat gubernur.

Misalnya, Rasulullah SAW menunjuk Badzan bin Sassan radhiallahuanhu —- seorang sahabat sekaligus ulama —- sebagai Gubernur Yaman.

Rasulullah SAW juga menunjuk Syahr bin Badzan sebagai Gubernur San’a. Al Muhajir bin Abu Umayyah juga ditunjuk Nabi SAW sebagai Gubernur Kandah dan Shadaf. Kesemua gubernur yang ditunjuk Nabi SAW ketika itu adalah sahabat yang dinilai profesional di bidang politik dan pemerintahan oleh Nabi SAW yang juga fakih (ulama).

Pertimbangan profesional dan kapabelitas sebagai pejabat publik sangat dipertimbangkan Nabi SAW —- bukan semata-mata yang ditunjuk itu seorang sahabat yang juga ulama an-sich.

Buktinya Nabi pernah menolak permohonan sahabatnya Abu Dzar Alghifari untuk menjadi pejabat publik.

Dikisahkan suatu waktu Abu Dzar al-Ghifari meminta jabatan kepadan Rasulullah Saw.

“Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pejabat?,” kata Abu Dzar kepada Nabi SAW.

Sembari menepuk bahu Abu Dzar, Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.

Demikianlah cerita Abu Dzar seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Sahihnya.

Pesan penting dari peristiwa ini adalah jabatan publik itu boleh dipegang siapa saja. Lebih-lebih ulama. Kuncinya adalah profesional dan kapabel.

Dalam hadits Nabi SAW di atas pejabat publik itu harus dipegang oleh orang yang “kuat”. Siapa saja boleh. Termasuk ulama yang profesional dan kapabel seperti para gubernur yang ditunjuk Nabi SAW di atas.

Begitu juga era khulafaurrasyidin. Para gubernur yang ditunjuk khalifah Rasulullah SAW itu juga ulama yang kapabel. Salah satunya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjadi Gubernur Syam sejak masa Khalifah Abu Bakar sampai Khalifah Usman. Muawiyah itu bukan hanya profesional dan kapabel di bidang pemerintahan, beliau juga sahabat Nabi SAW yang alim sekaligus salah seorang penulis wahyu Nabi SAW.

Kuncinya moralitas

Membaca kenyataan dan fakta sejarah, termasuk prinsip-prinsip kesetaraan yang kita sepakati dan usung dalam demokrasi kita, siapapun boleh menjadi pejabat publik. Termasuk ulama.

Kuncinya adalah profesional dan komitmen moralitas. Moralitas politik, moralitas kepemimpinan dan moralitas pemerintahan. Termasuk di dalamnya kejujuran dan kemampuan bersikap adil di atas semua golongan.

Ulama adalah satu otoritas dan episentrum moral. Sebagai moralis dan penjaga moral masyarakat, selama ini ulama mengawal moralitas dari luar jabatan publik dan relatif dalam bentuk naratif.

Karena itu selama ini banyak pejabat publik diyakini kurang memiliki moralitas politik dan moralitas kepemimpinan, sedang di saat bersamaan di luar pemerintahan dan jabatan publik, ulama diyakini sebagai sosok yang memiliki komitmen moralitas yang tinggi dan konsisten.

Maka, untuk memperbaiki negara ini menjadi lebih baik, perlu diberi peluang kepada ulama untuk berkontribusi lebih banyak lagi dalam jabatan publik. Sekaligus sebagai uji petik, apakah ketika ulama menjadi pejabat publik perubahan akan terjadi semudah membalikkan telapak tangan serta akan berakhir dengan husnul khatimah. Atau justru suulkhatimah.

Karena, sejak dunia ini ada berbicara lebih mudah dari berbuat. Seperti juga di lapangan bola, penonton lebih jago dari pemain. []

*) Penulis adalah Kolumnis dan Redaktur Theacehpost.com

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Sudah ditampilkan semua