Pakar Ekonomi: Penerapan Qanun LKS Dapat Dukungan dari Berbagai Kalangan

waktu baca 4 menit
Pakar Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry, Dr Hafas Furqani, M.Sc memberikan materi dalam kajian rutin bulanan Majelis Pengajian Tasawuf, Tauhid dan Fiqih (Tastafi) Banda Aceh, bekerjasama dengan aliansi Ormas Islam. (Foto: The Aceh Post)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Proses konversi bank konvensional ke syariah saat ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan. 

Hal tersebut disampaikan pakar ekonomi Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN Ar-Raniry, DR. Hafas Furqani, M.Sc saat mengisi kajian bulanan Majelis Pengajian Tasawuf, Tauhid dan Fiqh (Tastafi) Banda Aceh bekerjasama dengan aliansi Ormas Islam pada Jumat, 30 Oktober 2020, malam, di Kryad Muraya Hotel, Banda Aceh.

Hafas Furqani mengatakan, lahirnya Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Tahun 2018 meniscayakan lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh harus menganut prinsip syariah.

“Qanun inilah yang menjadi dasar penutupan bank konvensional. Karena dasar hukumnya kuat maka OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tidak melarang. Malah mereka justru membantu dan memudahkan,“ tegas Hafas Furqani.

Selain Hafas Furqani, pemateri lainnya pada kajian dengan tema “Setelah Bank Konvensional Kita Singkirkan, Apakah Bank Syariah Siap Menjawab Tantangan?” ini yaitu Safaruddin SH, Ketua Ikatan Advokad Indonesia (IKADIN) Aceh dan Abu Yazid Al Yusufi selaku perwakilan ulama dayah.

banner 72x960

Sedangkan moderator yakni Dr. Teuku Zulkhairi, aktivis dayah dan juga akademisi UIN Ar-Raniry. 

Pengajian ini dihadiri sejumlah pakar ekonomi Islam, ulama dayah, kalangan perbankan, aktivis, Kadis Syariat Islam Aceh, para pejabat, advokat serta seratusan jemaah dari berbagai kalangan.

Jemaah Majelis Pengajian Tasawuf, Tauhid dan Fiqh (Tastafi) Banda Aceh dan aliansi Ormas Islam. (Foto: The Aceh Post)

Menurut Hafas, Qanun LKS ini sama sekali tidak mengalami penolakan sama sekali dari pusat. Padahal, sebutnya,  ketika melakukan konversi, bank itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun bank-bank konvensional rela berkorban sebagai wujud kepatuhan atas qanun ini.

“Jika yang menjadi masalah adalah fasilitas dan pelayanan maka itu semua akan teratasi dengan sendirinya seiring berjalan waktu. Apalagi, ke depan ada rencana menggabungkan beberapa bank, maka itu akan menjadi bank besar yang luar biasa. Namun demikian berbagai masalah tentu akan banyak muncul, namun ini tentu akan dijawab oleh pihak bank yang telah mengkonversi,” tambah Dr. Hafas, yang juga Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Ar-Raniry.

Sebelumnya, saat menyampaikan materi pertama, Safaruddin menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada masalah dengan Qanun LKS. Qanun merupakan bagian dari keistimewaan Aceh. 

Hanya saja, menurut Safaruddin, saat ini di lapangan terdapat banyak keluhan-keluhan dari masyarakat terkait dengan konversi bank konvensional ke syariah. 

“Sebagai contoh, kalau bank konvensional di Aceh ditutup, jika ATM rusak, maka harus ke Medan untuk mengganti. Dan ini, kata Safaruddin membutuhkan banyak biaya,” katanya.

Selain itu, Safaruddin juga menyampaikan perlunya keadilan bagi pihak non muslim sehingga bagi mereka tetap tersedia pilihan bank konvensional.

“Pada pasal 6 ayat 2 disebutkan, bahwa warga non muslim dapat menundukkan dirinya pada qanun ini. Kata dapat ini maknanya adalah opsional. Artinya, boleh ia boleh tidak. Tapi persoalan adalah ketika tidak ada bank konvensional di Aceh. Jadi ini bertentangan dengan prinsip keadilan,” ujar Safaruddin. 

Merespon persoalan perlunya keadilan untuk non muslim, pemateri lainnya, Abu Yazid Al Yusufi yang mewakili ulama dayah, dalam pemaparan materinya mengusulkan agar dapat dibuatkan unit khusus bank konvensional bagi non muslim di Aceh.

Abu Yazid juga menggungkapkan bahwa tidak tepat analogi “daging babi dalam kuah daging kambing” untuk mengumpamakan adanya bank konvensional di Aceh di tengah upaya konversi bank-bank ke sistem syariah. 

Selain itu, Abu Yazid juga juga mengatakan bahwa meskipun belum syariah sepenuhnya, kehadiran bank Syariah yang dikonversi dari bank konvensional patut kita syukuri dan beri apresiasi karena untuk mensyariahkan bank butuh usaha besar.

Sebelumnya, saat menyampakan sambutan panitia, Sekjend Tastafi Banda Aceh, Tgk Mustafa Husen mengatakan, pengajian ini tidak ada funding dari siapapun melainkan murni kegiatan rutin Tastafi dan aliansi ormas Islam. Dan dalam hal ini pihak Kryad Muraya Hotel membantu menyediakan tempat dan camilan untuk jemaah pengajian.

Tgk Mustafa juga mengatakan, pengajian dengan tema seperti ini dibuat karena memang ada polemik sebelum, sedang dan setelah konversi bank konvensional di Aceh. Makanya dari judul saja kita tulis “setelah” bank konvensional disingkirkan di Aceh melalui qanun LKS, di antaranya masalahnya yaitu apakah bank syariah itu sendiri sudah betul-betul bersyariah.

“Oleh sebab itu kita mengundang para pakar untuk membedah masalah ini supaya dapat kita carikan jalan keluarnya agar syari’at Islam dapat diterapkan secara kaffah di Aceh,” pungas Tgk Mustafa.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *