MaTA Cium Ada Politisasi Anggaran di Dana Hibah OKP

waktu baca 3 menit
Acara diskusi ‘Kupas Tuntas Polemik Dana Hibah’ yang digagas oleh Aceh Government dan Authority Monitor (AGAM) di salah satu warung kopi seputaran Kota Banda Aceh, Kamis, 27 Januari 2021. (Foto: Cut Putroe Ujong).

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian menduga dana hibah Covid-19 yang diberikan kepada 100 Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan lembaga mahasiswa oleh pemerintah Aceh merupakan politisasi anggaran.

Oleh karena itu, kata Alfian, dana senilai Rp9,5 miliar tersebut harus diawasi oleh ‘inspektorat’ di luar pemerintahan, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan masyarakat.

“Harus banyak elemen untuk memaksa pemerintah untuk membuka dana kelola Covid ini. Hal ini juga sudah kita laporkan ke Dirjen Keuangan akan hal itu pada saat diskusi melalui zoom meeting tadi pagi, dan mereka menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh sangat tertutup,” ujar Alfian saat menjadi narasumber pada diskusi ‘Kupas Tuntas Polemik Dana Hibah’ yang digagas oleh Aceh Government dan Authority Monitor (AGAM) di salah satu warung kopi seputaran Kota Banda Aceh, Kamis, 27 Januari 2021. 

MaTA juga mengaku prihatin kepada sejumlah organisasi kemahasiswaan yang ikut terlibat atau menerima dana hibah tersebut. 

“Kita prihatin kepada teman-teman mahasiswa yang kritis ini, karena kami tahu bahwa mereka punya agenda yang selama ini sering mereka suarakan dan itu belum terpenuhi, yaitu mendorong salah satu tranparansi tata kelola dana Covid-19 di Aceh,” katanya.

banner 72x960

Alfian berharap proses audit dana hibah ini harus didorong bersama-sama. Menurutnya, dalam Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 tahun 2020, peruntukkan dana hibah Covid-19 bagi organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan yakni keliru karena tidak masuk ke dalam  kriteria penerima langsung.

Adapun kriteria penerima langsung yang dimaksud antara lain, dari sektor masyarakat, fasilitas kesehatan dan instansi vertikal.

“Kalau kita melihat, ini jelas tidak tepat. Jika dana hibah biasa tidak bisa digunakan Permendagri nomor ini (Nomor 9 tahun 2020), tapi ada Permendagri reguler yaitu nomor 32 tahun 2011 yang sudah diubah tahun 2019,” kata Alfian kepada theacehpost.com.

Alfian menilai, dana hibah rawan disalahgunakan. Katanya, kebiasaan kepala daerah untuk mencalonkan diri menjelang Pilkada sehingga besaran dana hibah akan terus meningkat. Oleh sebab itu, ia menduga hal tersebut merupakan bagian dari pola politisasi anggaran.

“Kita lagi menunggu audit dari pihak BPKP, karena semua dana recofusing kebetulan link-nya adalah BPKP, dan kita berharap kalau ada temuan, kita akan maju, artinya kita akan mendesak dan melaporkan jika seandainya ada temuan nanti,” katanya.

“Karena ini adalah dana bencana pandemi, jadi siapapun yang melakukan penyalahgunaan walau satu rupiah pun kita tidak bisa terima dan tidak ada toleransi terhadap itu,” kata Alfian menambahkan.

Sebagai informasi, dari lima narasumber yang diundang panitia penyelenggara hanya tiga orang yang hadir, yaitu mantan aktivis Aceh, Kautsar M Yus, Alfian dan Syakya Meirizal. Sedangkan kedua narasumber yang tak memenuhi undangan tersebut yaitu Kadispora Aceh dan Ketua KNPI Aceh, Wahyu Saputra.

Penulis: Cut Putroe Ujong

Baca juga: Soal Dana Hibah, Pemerintah Aceh: OKP Aktif Membantu Selama Pandemi

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *