Masjid Tuha Bugeng Peudada Penuh Ukiran Sejarah

waktu baca 3 menit

Theacehpost.com | BIREUEN – Peudada adalah sebuah peradaban lama yang tercatat dalam literatur sejarah Aceh. Tome Pires (1468 M -1540 M) mencatat kawasan Peudada sebagai kerajaan dan pelabuhan penting dalam rute pelayarannya.

Pires mencatat terdapat beberapa Kerajaan di Aceh yaitu Lambri (Lamuri), Bihar (biheu), Pidier (Pidie), Aer Labu (Ie Leubeu), Pirada (Peudada), Samudera (Samudera Pasai) dan lainnya.

Hal disampaikan oleh Ketua SILA, Muammar Al Farisi dalam ekspedisi sejarah tim SILA ke sekitar kawasan Peudada.

Seperti diketahui, sebelum disatukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530 M) Aceh terdiri dari beberapa kerajaan tersendiri. Sultan Ali Mughayat Syah kemudian mempersatukan seluruh kerajaan di Aceh untuk melawan Portugis di Malaka.

Hikayat Malem Dagang juga menceritakan peran penting Peudada sebagai kawasan bersejarah, yaitu sebagai kawasan yang dikunjungi Sultan Iskandar Muda dalam penyerangan ke Malaka. Dalam kunjungan itu Sultan Iskandar Muda melihat dan mengagumi keindahan taman di kawasan Peudada.

banner 72x960

Poteu beudoh teuma hinan,
Neupioh keu nyan u Peudada
Poteu Pioh keu sinan,
Rakyat sajan meuleulaksa

Sultan Iskandar Muda langsung berangkat,
Duduk berehat di negeri Peudada
Sultan berhentilah disitu,
Maka beribu-ribu rakyat datang ke Raja

Kawasan Peudada memiliki banyak situs sejarah termasuk makam Meureuhom Muda yang wafat pada 1507 M, dan ulama Sultan Syeikh Ahmad Al-Makky yang wafat 1501 M.

Situs-situs sejarah makam era kerajaan banyak tersebar di seluruh kawasan Peudada, baik di perbukitan maupun di sisi sungai-sungai.

Selain itu juga terdapat Masjid Tuha Bugeng atau Meuseujid Tuha Bugeng yang memiliki nilai sejarah tinggi. Meuseujid ini masih terlihat menggunakan motif era Kesultanan Aceh Darussalam, dan juga menggunakan kubah era Kesultanan Aceh Darussalam.

Ketika memasuki mesjid maka di depan terdapat inkripsi bahasa Arab bertuliskan kalimat tauhid, dan ayat Al-Qur’an Surat As-Shaff ayat 13 yang berbunyi Nashru min Allah wa fathun qarib, artinya pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya).

Kemudian ada inkripsi Surat At-Taubah ayat 18, yang artinya sesungguhnya yang (pantas) memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta tidak takut (kepada siapa pun) selain Allah. Mereka itulah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Kemudian ada juga inkripsi dalam bahasa Arab Surat At-Taubah Ayat 128-129, artinya sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.

Inkripsi bahasa Arab ini menunjukkan betapa kuatnya nilai pembangunan mesjid sebagai media dakwah Islam pada zaman Kesultanan Aceh.

Menurut informasi mesjid ini di bangun pada tahun 1900 M. Namun melihat bentuk ornamen dalam mesjid yang berbentuk motif bungong dan puta taloe sambong khas periode abad 16 M sampai abad ke-18 M. Nampaknya Mesjid Tuha Bugeng ini mesjid yang dibangun jauh lebih lama lagi, bahkan jauh sebelum kedatangan Belanda ke Aceh.

Pola dan bentuk bangunan lebih mirip dengan masjid periode awal terbentuknya Kesultanan Aceh Darussalam.

“Perlu penelitian lebih mendalam dan komprehensif tentang Masjid Tuha Bugeng, dan perannnya di masa lalu melalui catatan manuskrip dan lain-lain, sebagai bagian pembelajaran sejarah Aceh,” tutupnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *