Kawasan Tanpa Rokok

waktu baca 6 menit
Mukhsin Rizal SHum MAg MSi. (Foto: Dokpri)

Oleh Mukhsin Rizal SHum MAg MSi *)

PENULIS memulai tulisan ini dengan menyampaikan apresiasi kepada Pemerintahan Aceh, Pemerintah Kota Banda Aceh dan pemerintah kabupaten/kota lainnya yang telah mengeluarkan dan melahirkan qanun (peraturan daerah) terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Pengaturan terkait KTR dilakukan dalam upaya meningkatakan derajat kesehatan masyarakat, karena telah terbukti bahwa dengan merokok maka derajat kesehatan akan menurun. Nahasnya lagi, dampaknya tidak hanya kepada perokok aktif, tetapi kesehatan perokok pasif pun ikut terdampak.

Debat panjang bahwa rokok adalah halal, makruh atau haram tidak penulis bahas dalam tulisan ini. Karena tulisan ini fokus kepada dampak merokok itu sendiri dan KTR.

Selain itu tulisan ini hanya ingin menggambarkan kondisi Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Qanun Aceh Nomor 4 tahun 2020 tentang KTR, yang merupakan tindak lanjut dari peraturan bersama Menteri Kesehatan RI Nomor 188/ Menkes/PB/1/2011 dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 7 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

banner 72x960

Aturan tersebut semuanya dalam rangka menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat (baca Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Terhadap Kesehatan).

Secara umum, merokok sudah hampir menjadi budaya di dalam masyarakat Aceh. Bahkan di daerah tertentu, untuk mengundang pada acara perkawinan, rokok digunakan sebagai media untuk membuka pembicaraan.

Bahkan dalam tutur masyarakat, sering juga istilah “uang rokok”. Hal ini bermakna bahwa rokok sudah menjadi kebutuhan luar biasa di tengah masyarakat Aceh, khususnya.

Hana pah meunyoe lheuh bu hana keunong rukok” (tidak enak kalau selesai makan tidak merokok). Itulah beberapa tutur lisan masyarakat kita terkait rokok.

Jika kita menilik dari bahan baku dan proses pembuatannya, maka sudah pasti rokok telah menghidupkan ratusan ribu keluarga pekerja di sektor petani tembakau dan produksi rokok dan para penjualnya.

Polemik memang, tetapi yang harus diingat bahwa merokok sembarang tempat telah merusak derajat kesehatan orang lain dan telah merenggut hak orang lain, serta melabel orang lain sebagai perokok pasif.

Maka menurut penulis, peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah lah sesuai dan memberi ruang bebas bagi para perokok di tempat merokok dan memberi ruang bebas bagi yang tidak merokok, serta tentunya memberikan rasa nyaman di antara masyarakat.

Penulis berkeyakinan banyak para perokok yang tidak sepakat dengan aturan ini, apalagi sampai memuat sanksi denda dan pidana kepada perorangan, kepala lembaga dan pimpinan badan usaha yang melanggar.

Namun jika kita cermati lebih mendalam dan mengukur hak kita sebagai perokok dan hak orang lain menikmati udara tanpa asap rokok, maka sudah sejatinya kita mematuhi aturan ini

Adapun lokasi merokok yang dilarang, diatur dengan qanun meliputi, perkantoran pemerintahan, perkantoran swasta, tempat ibadah, tempat kerja yang tertutup, sarana olah raga yang sifatnya tertutup, halte, angkutan umum, dan tempat umum yang tertutup lainnya.

Sedangkan di tempat sarana pelayanan kesehatan, sarana pendidikan formal dan informal, arena permainan anak, tempat pengisian bahan bakar (SPBU), ditetapkan sebagai kawasan bebas asap rokok hingga batas pagar terluar.

Kalau kita melihat Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok, penetapan KTR berasaskan pada manfaat, perlindungan, partisipasi masyarakat, dan penghormatan terhadap hak manusia untuk hidup sehat.

Setiap orang dilarang merokok, mempromosikan, menjual dan mengiklankan rokok di KTR dan jika melanggar maka dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga hari dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.

Sedangkan bagi penjual rokok di tempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR dipidana kurungan paling lama lima hari dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.

Hal serupa juga berlaku bagi badan usaha yang mempromosikan dan mengiklankan rokok di area yang dinyatakan sebagai KTR, yaitu dengan ancaman pidana kurungan paling lama 14 hari dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.

Dan bagi badan usaha yang memperjualbelikan rokok di tempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR dapat pidana kurungan paling lama 10 hari dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.

Tentunya, sanksi pidana diberikan setelah dilakukan teguran lisan dan peringatan serta pembinaan.

Tanda kawasan tanpa rokok akan dilabel dan kewajiban memberi lebel tersebut menjadi tanggung jawab pimpinan lembaga dan pimpinan badan usaha.

Setelah label tertempel, maka semua orang dilarang melepaskan, menutupi, menyembunyikan, membuang dan/atau merusak tanda larangan merokok.

Penulis percaya bahwa sebagian besar masyarakat akan ikut serta menyukseskan program besar tersebut demi meningkatkan derajat kesehatan.

Qanun 4 sendiri membuka ruang partisipasi masyarakat menjadi satu keharusan, di mana peran aktif masyarakat berupa penyebarluasan informasi KTR, pelibatan diri dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan KTR.

Kemudian, penyampaian informasi dampak merokok bagi masyarakat, saling mengingatkan untuk tidak merokok di KTR, penyampaian informasi kepada penanggungjawab KTR tentang adanya penyalahgunaan KTR dan penyampaian informasi kepada Pemerintah Kota tentang adanya penyalahgunaan KTR.

Sedangkan dari sisi pengawasan dan pembinaan, dilakukan oleh pemerintah kepada pimpinan dan/atau penanggungjawab KTR dalam bentuk kegiatan bimbingan dan/atau penyuluhan, kemudahan fasilitas pendukung untuk KTR, dan menyiapkan petunjuk teknis.

Lain halnya bagi pimpinan SKPD atau penanggungjawab KTR wajib melakukan pembinaan pada instansinya atau KTR yang berada di bawah tanggungjawabnya, yang dilakukan dalam bentuk meminta tidak merokok bagi karyawannya selama berdinas dan melakukan bimbingan/penyuluhan.

Terhadap pimpinan SKPD Kota Banda Aceh yang tidak melaksanakan kewajiban dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, peringatan tertulis, penundaan kenaikan pangkat, non aktif dari jabatan, dan sanksi administrasi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, terhadap badan usaha yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan tanggungjawabnya dapat dikenakan peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan dan pencabutan izin.

Semua sanksi tersebut termuat dalam Qanun Kota Banda Aceh Nomor 5 tahun 2016 dan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Untuk melakukan penindakan kewenangannya diberikan kepada penyidik PNS tertentu di lingkungan pemerintah Aceh dan Pemko Banda Aceh yang masing-masing diatur dalam qanun tersendiri.

Adapun kewenangan yang diberikan meliputi, menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya tindak pidana atas pelanggaran qanun ini, melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian, menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri.

Lalu, melakukan penyitaan benda atau surat, mengambil sidik jari dan memotret, memanggil, mendatangkan ahli, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kawasan tanpa rokok akan membuat ruang publik terasa nyaman. Oleh sebab itu sangat dibutuhkan kesadaran kita semua untuk tidak merokok di area KTR.

Kalaupun ingin merokok, maka tentu pada tempatnya. Ini penting guna mewujudkan kondisi Kota Banda Aceh khususnya dan Aceh pada umumnya  bebas asap rokok di area kawasan tanpa rokok.

Akhirnya tulisan ini semata hanya untuk mengingatkan penulis sendiri dan kepada Allah jua kita mohon ampun. Wallahualam bissawab.

*) Penulis adalah Kepala Subbagian Program dan Pelaporan Satpol PP-WH Aceh

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *