Integritas ASN Merespons Kebijakan Vaksin

waktu baca 4 menit
Dr H Taqwaddin, SH, SE, MS.

Oleh Dr. H. Taqwaddin, S.H., S.E., M.S. *)

SAYA menerima belasan pertanyaan dari ASN terkait kebijakan vaksin. Umumnya para penanya lebih banyak memberikan pernyataan ketimbang bertanya. Kesan saya, mereka tidak setuju dengan kebijakan vaksin dari pemerintah. Apalagi jika keharusan vaksin dikaitkan dengan pelayanan administrasi lainnya yang diperlukan oleh ASN (Aparatur Sipil Negara), baik PNS maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).

Terhadap semua penanya tersebut, hanya seorang saja yang saya respons melalui WA. Itupun jawaban singkat saja.  Yang lain banyak saya diamkan.

Tetapi, tadi malam saya berpikir, saya perlu merespons pertanyaan dan pernyataan mereka. Mungkin mereka benar-benar tidak tahu, sehingga ASN tersebut terkesan batat-tungang. Makanya, saya buatkan catatan ini, dengan harapan dapat memberikan penjelasan tertulis yang mudah dimengerti dan diikutinya.

Persoalannya  adalah apakah integritas itu dan bagaimana kaitannya dengan kebijakan vaksin?

banner 72x960

Kata “integritas” disebutkan pada awal kalimat dalam Konsideran Menimbang Huruf a UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Yang bunyi lengkapnya demikian, “perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi,  dan  nepotisme,  serta  mampu menyelenggarakan  pelayanan  publik”.

Terkait alinea di atas, perlu saya jelaskan bahwa Konsideran Menimbang Huruf a dalam Ilmu Peraturan Perundang-undangan, merupakan alasan hukum yang bersifat filosofis berisikan aspek cita, utopis, dan harapan ideal mengapa dibentuknya suatu undang-undang. Sehingga, dengan dicantumkannya “integritas” pada awal frase menunjukkan bahwa eksistensi integritas merupakan aspek cita utama dan pertama bagi sikap dan perilaku ASN. Maknanya, setelah integritasnya benar, baru ditekankan pada aspek lainnya: profesional, netral dan bebas KKN, serta kompeten dalam melayani publik.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/integritas, pengertian integritas menujukkan pada mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan serta kejujuran. 

Mengacu pada beberapa literatur, saya mengemukakan komulasi indikator integritas, yaitu: 1) jujur, 2) komitmen, 3) kompeten, 4) wibawa, 5) berlaku adil, 6) peduli sesama, 7) loyalitas, 8) patuh hukum, 10) taggung jawab, dan 11) mengakui kesalahan. Semua indikator ini harus terpenuhi semua. Semuanya penting dan saling terkait.

Aspek cita dari integritas ASN diderivasikan (dijabarkan) dalam Nilai Dasar dan Kode Etik Perilaku ASN.  Ada 15 Nilai Dasar ASN yang ditentukan dalam Pasal 4 UU 5/2014, antara lain: Setia dan mempertahankan UUD 1945 serta pemerintahan yang sah. Memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yg luhur. Mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik, memiliki kemampuan melaksanakan kebijakan dan program pemerintah.

Selain 15 Nilai Dasar yang antara lain saya cantumkan di atas, Kode Etik sikap dan perilaku ASN juga diatur dalam UU ASN. Dalam Pasal 5 ayat (2) UU ASN ditentukan 10  Kode Etik dan Kode Perilaku agar pegawai ASN bersikap dan bertindak antara lain: melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi; melaksanakan  tugasnya  dengan  cermat  dan disiplin; melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat berwenang, dan lain-lain.

Nilai Dasar dan Kode Etik di atas merupakan kewajiban mutlak yang harus dipatuhi oleh seorang ASN. Konsekuensinya, jika seseorang ASN tidak melaksanakan Nilai Dasar serta Kode Etik dan Kode Perilaku  maka dapat dikenakan sanksi administrasi.

Mengenai sanksi administrasi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Jenis sanksi ini mulai yang bersifat ringan, sedang hingga hukuman disiplin berat, berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Selanjutnya terkait dengan vaksin, perlu saya tegaskan bahwa itu adalah kebijakan pemerintah. Sebagaimana telah saya tulis dalam facebook saya beberapa waktu lalu, bahwa kebijakan vaksin ini adalah amanah konstitusi guna melindungi segenap bangsa Indonesia (lihat Alinea IV UUD 1945). Sehingga karenanya, prinsipnya, Pemerintah wajib memvaksin seluruh rakyat dan rakyat berhak mendapat vaksin.

Untuk implementasi arahan konstitusi maka pemerintah menerbitkan  legislasi dan regulasi sebagai payung hukum untuk melindungi dan sekaligus dasar tanggung jawab bagi pemerintah manakala terjadi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). KIPI merupakan salah satu reaksi pasien yang tidak diinginkan yang muncul setelah pemberian vaksin.

Secara juridis formal, sudah lengkap peraturan yang diterbitkan untuk melindungi rakyat menghadapi Covid-19. Dasar hukum kebijakan tersebut ditemukan dalam UUD 1945, UU Kesehatan, UU ASN, UU Karantina Kesehatan, Perpres tentang Pengadaan dan Pelaksaan Vaksin, hingga Permenkes 99/2021 tentang Pelaksanaan Vaksin Covid-19.

Mengacu pada kelengkapan aturan di atas, maka mengherankan saya jika hingga hari ini masih ada belasan PNS yang menghubungi saya menyampaikan pernyataan yang seakan-akan kebijakan tersebut tidak benar. Rekayasa dan konspiratif.

Mengakhiri catatan ini, saya menegaskan bahwa pada prinsipnya vaksin anticovid adalah wajib dilakukan oleh pemerintah dan wajib pula diterima oleh rakyat. Apalagi PNS. Bagi setiap orang yang karena alasan medis tidak boleh divaksin, maka perlu diterbitkan surat keterangan terkait ketidakbolehan tersebut setelah dilakukan screening. Begitulah. []

*) Penulis Adalah Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *