BPOM Restui Vaksin Sinovac, Efikasi 65,3 Persen

waktu baca 2 menit
Ilustrasi: Vaksin Covid-19 buatan Sinovac tiba di Aceh. (Foto: Dok. Pendam IM)

Theacehpost.com | JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akhirnya merilis izin penggunaan darurat vaksin Corona.

Vaksin asal China Sinovac dengan nama CoronaVac resmi mendapatkan Emergency Use Authorization (EUA).

EUA atau otorisasi penggunaan darurat adalah izin yang dikeluarkan untuk penggunaan metode atau produk medis tertentu di mana dalam hal ini adalah vaksin Covid-19.

Izin penggunaan darurat vaksin Sinovac tersebut disampaikan langsung oleh Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito dalam konferensi pers secara virtual, Senin, 11 Januari 2021.

“Vaksin Covid-19 CoronaVac aman. Efek samping ringan dan sedang,” kata Penny.

banner 72x960

Untuk efikasi, Penny mengatakan vaksin CoronaVac Sinovac ini data imunogenitas berhasil dengan baik.

“Efikasi vaksin 65,3% di Indonesia,” katanya.

Penny menegaskan, BPOM memberikan persetujuan EUA untuk CoronaVac Sinovac.

“Hari ini Senin 11 Januari 2020 memberikan persetujuan dalam emergency use authorization kepada Sinovac,” imbuhnya.

Baca juga: Fatwa MUI: Vaksin Covid-19 Produksi Sinovac Halal dan Suci

Kenapa efikasi vaksin 65,3 persen?

Penny Lukito mengatakan efikasi vaksin itu berdasarkan klinis fase III di Kota Bandung, Jawa Barat

Tingkat itu lebih rendah dibandingkan pengumuman yang disampaikan otoritas Turki dan Brasil terhadap vaksin yang sama, yaitu masing-masing 91,25% dan 78%.

Lalu, mengapa efikasi di Indonesia lebih rendah dibandingkan kedua negara itu? Anggota Tim Komnas Penilai Obat yang berasal dari Universitas Gadjah Mada dr. Jarir At Thabari mengungkapkan ada banyak faktor yang memengaruhi hal itu.

“Pertama, epidemologi dari Covid-19 itu sendiri di Indonesia dan perilaku masyarakatnya terutama dan seberapa besar tadi proses transmisi dari satu orang ke orang lain,” ujarnya dalam keterangan pers yang sama.

“Kemudian juga karakteristik dari subjek atau populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Jadi ini pengaruhnya sangat besar,” lanjutnya.

Jarir mengungkapkan, uji klinis di Turki diikuti 20% tenaga kesehatan dan 80% merupakan mereka dengan risiko tinggi.

“Sehingga ini bisa dengan angka penularan yang tinggi terutama pada risiko tinggi ini bisa mengakibatkan angka efikasinya menjadi lebih tinggi juga,” katanya.

Sementara di Brasil, menurut Jarir, uji klinis diikuti 100% tenaga kesehatan. Sedangkan di Kota Bandung, populasi umumlah yang mengikuti uji klinis tersebut.

“Nah ini kan artinya ini justru membawa informasi yang cukup baik bagi Indonesia. Populasi umum itu perlindungannya segitu. Kita tidak punya banyak subjek atau mungkin tidak ada yang untuk high risk seperti tenaga kesehatan. Sehingga ini tidak bisa kita lihat,” kata Jarir.

“Tetapi untuk nakes bisa mengambil data misalnya mengaca dari tadi studi yang ada di Brasil dan ada di Turki. Jadi perlindungan untuk populasi umum ini sangat tinggi,” lanjutnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *