Antara Tha’un, Wabah, dan Corona

waktu baca 11 menit
Imaam Yakhsyallah Mansur. (Foto: SudutPandang.id)

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur*)

IMAM Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa orang-orang dari suku Urainiyyun berkata, “Wilayah ini berwabah pada masa Khalifah Umar bin Khatab dan banyak yang meninggal, namun wabah ini bukan tha’un.”

Hadits di atas menginformasikan tentang tha’un dan wabah. Ibnu Hajar Al-Atsqolani dan ulama lain mengatakan bahwa tha’un memiliki makna lebih khusus dari waba’ (wabah). Waba’ digunakan untuk menyebut wabah penyakit secara umum, boleh jadi karena tha’un atau yang lain. Maka setiap tha’un adalah wabah, tetapi tidak semua wabah adalah tha’un.

Ibnu Qayyim Al-Jauzi menjelaskan perbedaan antara tha’un dan wabah sebagai berikut: “Setelah ditahkik (verifikasi), wabah dan tha’un adalah bentuk kata umum dan khusus. Semua tha’un adalah wabah, sedangkan tidak semua wabah adalah tha’un. Begitu juga penyakit-penyakit lain yang umum, karena tha’un adalah salah satu dari jenis penyakit.”

Tha’un menurut literatur klasik Islam

banner 72x960

Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah, dia bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, “Kami telah mengetahui tha’n (tusukan dengan tombak), apa penyakit tha’un itu? Beliau menjawab, “Tha’un adalah kelenjar seperti kelenjar unta, keluar di pangkal paha dan ketiak.”

Dalam riwayat Imam Ahmad, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menambahkan, “Orang yang menetap di sana (daerah wabah), seperti orang syahid. Orang yang yang lari dari (daerah wabah) seperti orang yang lari dari peperangan.”

Imam An-Nawawi dalam “Syarah Muslim” menjelaskan, “Tha’un adalah borok yang keluar dari tubuh, berada di pangkal paha, ketiak, tangan, jari, dan seluruh badan, disertai sakit parah. Borok-borok tersebut disertai demam yang sangat panas. Di sekitarnya menghitam atau menghijau atau memerah violet keruh. Hal itu disertai degupan jantung (yang keras) dan muntah-muntah.”

Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata, dari penjelasan ulama terdahulu, kami dapat menyimpulkan bahwa tha’un memiliki beberapa gejala:

Pertama, yang paling populer, pembengkakan pada badan, terutama di bagian lipatan-lipatan tubuh. Ia juga bisa terjadi di bagian tangan, jari, dan semua organ tubuh, tapi kasus itu jarang, dibandingkan dengan yang terjadi pada lipatan-lipatan tubuh.

Kedua, terjadi pada organ tubuh manapun, seperti borok dan bisul, tetapi khusus di lipatan-lipatan tubuh bukan di bagian yang lain.

Ketiga, pemadaman ruh, seperti angina. Angina sendiri bukan tha’un, tetapi ia serupa dengan tha’un. Oleh karena itu, kondisinya berbeda (dengan tha’un) dan terjadinya berbeda ketika tha’un menyebar.

Keempat, sesuatu yang menyebabkan erosi organ, seperti kusta. Para ulama klasik juga berbicara tentang tha’un paru-paru. Penderitanya batuk dan muntah darah. Ini adalah kondisi tha’un yang paling parah. Penularannya berpindah melalui udara yang telah dikotori mikroba tha’un. Imam Al-Ghazali menulis, ”Di negeri orang yang tengah dilanda wabah Thaun, tidak berbahaya seseorang menyentuh bagian luar tubuh. Namun, berbahaya ketika hidung menghirup udara negeri itu, lalu masuk ke jantung dan paru-paru. Bagian luar tubuh tidak terpengaruh kecuali setelah tubuh bagian dalam terpengaruh.

Penjelasan ini sangat teliti dan berharga, kira-kira 900 tahun sebelum penjelasan para dokter kontemporer.

Diagnosis Klinis Tha’un dalam Kedokteran Modern

Manusia diserang tha’un karena melakukan kontak atau mengonsumsi hewan-hewan penguat (mengandung virus), demikian menurut diagnosis klinis kedokteran modern.

Dalam catatan medis dunia, sebanyak 4.056 kasus tha’un terjadi pada 1970 di berbagai negara berikut: Vietnam, Myanmar, Brazil, Kenya, Peru, Sudan, Bolivia, Amerika Serikat dan Zaire. Pada periode tujuh puluhan (1970-1979) tercatat 13.786 kasus di Vietnam, 2.795 di Myanmar, 1.464 di Brazil, 393 di Kenya, 226 di Sudan, dan 105 di Amerika Serikat.

Mayoritas kasus terjadi secara sporadis, penyebarannya terbatas sehingga tidak sampai pada level wabah karena jumlah kematian sedikit. Kemunculan tha’un sebagai bentuk wabah terbatas (epidemi) terjadi di India pada 1994 karena penderitanya sekitar seribuan dan jumlah kematian mencapai ratusan serta menimbulkan ketakutan masyarakat internasional pada waktu itu. Hanya saja hal itu bisa dikendalikan dengan cepat.

Tha’un muncul sesuai kondisi klinis yang berbeda setelah masa inkubasi yang bervariasi, yaitu antara 2-8 hari. Diagnosis klinis tha’un ini bisa diringkas sebagai berikut:

  1. Sebelum munculnya penyakit: banyak penderita yang merasa lelah, payah, depresi, gelisah, sakit merata di badan dan jantung berdegup dengan cepat.
  2. Tha’un kecil: Seorang bisa berjalan bahkan melakukan aktifitas biasa. Namun penderita mengeluhkan peningkatan suhu tubuh dan pembengkakan kelenjar bubo (di pangkal paha), yang meradang, memborok dan mengeluarkan nanah bercampur darah. Panas semakin menurun setelah munculnya borok dan nanah bercampur darah yang mengandung sejumlah mikroba tha’un. Pengambilan sampel cairan di tenggorokan (Throat swab) dari para pasien dan pembawa penyakit (tanpa gejala apapun) juga bisa melepaskan mikroba tha’un.

Maksud “tusukan jin” pada hadits Tha’un

Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Musnahnya umatku adalah karena Tha’n dan Tha’un.” Lalu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kami mengerti apa yang dimaksud Tha’n (tusukan tombak), lalu apa yang dimaksud tha’un? Beliau menjawab, “Tusukan musuh-musuh kalian dari kalangan jin dan korban keduanya adalah syahid.” (H.R. Ahmad)

Sebagian ulama mengatakan hadits ini dhaif, karena ada perawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya), namun sebagian yang lain mengatakan hasan.

Pada hadits ini, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyampaikan bahwa kematian mayoritas umat Islam disebabkan dua hal: Pertama, peperangan (kontak senjata) dengan musuhnya dari kalangan manusia. Kedua, tha’un yang faktor utamanya adalah serangan dari jin kafir. Siapa yang meninggal karena dua hal tadi, maka dia syahid.

Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tusukan jin” pada hadits di atas adalah serangan musuh-musuh kaum muslimin yang tidak tampak dari kalangan jin kafir dan ini adalah informasi gaib yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Sebagian ulama lain, terutama ulama kontemporer yang memiliki latar belakang medis (kedokteran) mengatakan, walaupun juga tidak menyangkal pandangan sebelumnya, mereka menjelaskan bahwa yang dimaksud “tusukan jin” adalah mikroba dan bakteri yang menjadi sumber penyakit. Mikroba dan bakteri mempunyai sifat tertutupi (tidak tampak) sebagai arti dari kata “jin” yang secara bahasa bermakna makhluk yang tidak tampak oleh penglihatan mata manusia, kecuali dengan menggunakan alat khusus (mikroskop).

Hal ini bisa dimengerti karena mikroba dan bakteri baru diketahui keberadaannya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Menurut penelitian para dokter, faktanya ketika orang terserang tha’un di dalam tubuhnya terdapat mikroba “seperti kutu” yang merusak kulit dengan kedua rahangnya yang sangat tajam, tusukannya tidak tembus (wakhz), mengeluarkan sedikit darah yang bisa dilihat oleh seseorang. “Kutu” menghisapnya, lalu memuntahkannya dari perut yang penuh mikroba tha’un yang mengalir dari mulutnya menuju benda yang ia tusuk. Kemudian mikroba itu berpindah melintasi kantong limfatik menuju kelenjar limfatik di pangkal paha (inguinal region), ketiak atau leher sesuai tempat tusukan.

Jika tusukan itu di tangan atau lengan, maka mikroba berpindah ke kelenjar ketiak. Jika tusukan terjadi di kaki dan betis maka mikroba berpindah ke pangkal paha (perut yang paling bawah yang bertemu dengan paha). Jika tusukan terjadi pada wajah, maka mikroba berpindah ke kelenjar leher di belakang telinga.

Tidak diragukan lagi bahwa kutu yang menyebabkan tha’un adalah termasuk sesuatu yang tidak bisa terlihat oleh manusia yang tertutupi, bersembunyi di antara baju-baju, hampir tidak bisa dilihat kecuali setelah dicari dengan susah payah. Demikianlah kemungkinan yang dimaksud “tusukan jin” pada hadits tentang tha’un karena arti jin secara bahasa adalah segala sesuatu yang tidak tampak secara kasat mata, tersembunyi dan tertutupi.

Asal Usul Corona dan Hoax di Dalamnya

Coronavirus Disease of 19 (Covid-19) pertama kali terdeteksi di Kota Wuhan, Cina sejak pertengahan November 2019 hingga diumumkan sebagai wabah pada pertengahan Januari 2020. Dalam nama itu disematkan angka 19 karena terdeteksi dan penyebarannya pada tahun 2019.

Investigasi tentang asal-usul virus corona penyebab Covid-19 yang dilakukan oleh tim gabungan Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) – Cina membuahkan hasil dengan sejumlah kemungkinan.

Studi gabungan itu menyelidiki tentang asal-usul Covid-19 mengatakan bahwa penularan virus dari kelelawar ke manusia melalui hewan lain adalah skenario yang paling mungkin. Disebutkan juga virus yang sangat mirip telah ditemukan di trenggiling (jenis mamalia lain) dan cerpelai serta kucing yang menunjukkan bahwa mereka juga rentan menjadi pembawa virus tersebut.

Menurut artikel yang terbit di majalah “nature” (Inggris), 17 Maret 2020, penelitian struktur genetik Covid-19 menunjukkan tidak ada manipulasi di laboratorium. Para ilmuwan memiliki dua penjelasan tentang asal-usul virus tersebut, yakni seleksi alam pada inang hewan atau seleksi alam pada manusia setelah virus berpindah dari hewan.

Dilansir dari “IDN Times”, kandidat doktor dalam rekayasa genetik Universitas Oxford, Muhammad Hanifi menegaskan, berdasarkan kesepakatan di kalangan ilmuwan adalah tidak ada indikasi bahwa virus corona dibuat manusia. Lebih lanjut Hanifi menerangkan, dilihat secara garis besar dari materi genetik virus dengan komponen virus saat ini menunjukkan bahwa itu bukan rekayasa.

Dari uraian singkat di atas, dapat dipastikan bahwa berita yang menyatakan pandemi Covid-19 dibuat oleh elite global dan Yahudi untuk menguasai dunia adalah hoax. Akun Facebook Sofia membagikan konten ini pada 18 Juni 2021 yang berisi informasi berikut, “Pandemi Covid-19 dibuat oleh Yahudi dengan para elite global dengan tujuan untuk memudahkan mereka menguasai dunia dengan cara depopulasi (pembunuhan massal secara bertahap), merusak kegiatan umat Islam, mematikan kegiatan ekonomi seluruh dunia, namun sambil mengeruk keuntungan dari hasil penjualan vaksin dan alat-alat pembantunya.”

Informasi ini termasuk jenis hoax misleading content (konten menyesatkan). Misleading terjadi akibat sebuah konten dibentuk dengan suasana pemikiran untuk menjelekkan seseorang maupun kelompok dan dibuat untuk menggiring opini sesuai kehendak pembuat informasi.

Gejala Penyakit Coronavirus

Masing-masing orang memiliki respon yang berbeda terhadap Covid-19. Sebagian besar orang yang terpapar virus ini akan mengalami gejala ringan hingga sedang dan akan pulih tanpa perlu dirawat di rumah sakit. Gejala-gejalanya terbagi sebagai berikut:

  1. Gejala paling umum:

Demam, batuk kering dan kelelahan

  1. Gejala sedikit tidak umum:

Rasa tidak nyaman dan nyeri, nyeri tenggorok, diare, konjungtivitis (mata merah), sakit kepala, hilangnya indra perasa atau penciuman, ruam (perubahan pada kulit akibat iritasi atau peradangan) atau perubahan warna pada jari tangan atau jari kaki.

  1. Gejala serius

Kesulitan bernafas (sesak nafas), nyeri dada (rasa tertekan pada dada), hilangnya kemampuan berbicara atau bergerak.

Orang dengan gejala ringan yang dinyatakan sehat harus melakukan perawatan mandiri di rumah (isolasi mandiri). Rata-rata gejala akan muncul 5-6 hari setelah seseorang pertama terinfeksi virus ini, tetapi bisa hingga 14 hari setelah setelah terinfeksi.

Dengan demikian, gejala corona berbeda dengan tha’un, terutama pada gejala fisik, seperti pembengkakan kelenjar bubo yang meradang, berborok dan mengeluarkan nanah yang bercampur darah. Oleh karena itu corona bukanlah tha’un, walaupun luas penyebarannya dan banyaknya korban dapat sama dengan tha’un sehingga keduanya dapat disebut sebagai wabah.

Thaun Amwas (طاعون عمواس)

Tha’un Amwas merupakan penyakit pertama yang menerpa kaum muslimin secara massal. Amwas adalah nama sebuah kota di Palestina yang merupakan markaz utama pasukan muslimin di Syam pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.

Wabah Tha’un Amwas menyebabkan meninggalnya sekitar 25.000 prajurit muslim dan keluarganya. Di antara mereka adalah para sahabat yang mulia, antara lain: Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Umar bin Jabal dan istrinya serta kedua anaknya, Syurahbil bin Hasanah, Fadhal bin Abbas bin Abdul Muthalib (sepupu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam), Abdul Malik Al-Asy’ari, Yazid bin Abu Sofyan, Al-Haris bin Hisyam dan Sahal bin Amr. Wabah itu terjadi pada tahun 17 atau 18 Hijriyah.

Wabah ini juga menyebabkan banyak kematian di kalangan warga asli Syam yang beragama Kristen. Peristiwa itu juga berakibat pada naiknya harga-harga barang yang kemudian dilarang oleh Khalifah Umar. Pada saat yang sama, di Madinah terjadi kelaparan, yaitu pada tahun paceklik.

Ada riwayat populer pada peristiwa Tha’un Amwas, yang antara lain diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Khalifah Umar bin Khatab berangkat menuju Syam untuk meninjau keadaan. Ketika sampai di Sargh (13 hari perjalanan ke utara Madinah) ia mendapat kabar tentang tha’un di Syam dari para sahabat dan sebagian pasukan menemuinya di tempat itu. Lalu, ia berkonsultasi dengan mereka, apakah dia harus menarik pasukan dari daerah wabah itu atau ia tetap melanjutkan perjalanan, atau kembali ke Madinah?

Mereka berselisih pendapat tentang hal tersebut. Tidak lama kemudian, sahabat Abdurrahman bin Auf datang yang sebelumnya tidak ada di situ. Ia datang karena sedang melakukan sesuatu hal. Lalu, ia berkata,”Aku mengetahui tentang hal ini. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, jika engkau mendengar (ada tha’un) di sebuah negeri, maka kalian jangan mendatanginya. Jika ia (tha’un) menimpa sebuah negeri dan kalian ada di dalamya, maka kalian jangan melarikan diri.” Lalu Umar bin Khatab memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan selesailah perselisihan. Mereka kemudian pergi (kembali).

Hadits ini menjadi landasan tentang tindakan preventif, karantina dan isolasi dalam menghadapi wabah. Menurut Ibnu Qayyim, arahan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melarang mendatangi lokasi wabah adalah bentuk pencegahan (preventif) yang dianjurkan oleh Allah, yakni mencegah diri kita untuk tidak masuk ke lokasi dan lingkungan yang membawa penyakit.

Sementara itu, melarang keluar dari lokasi wabah mengandung dua maksud: Pertama, mendorong manusia untuk percaya kepada Allah, bertawakkal kepada-nya serta tabah dan ridha menghadapi takdirnya (karantina). Kedua, seperti yang dinyatakan oleh para pakar kedokteran, apabila seseorang ingin menjaga diri dari wabah penyakit, ia harus mengeluarkan sisa-sisa kelembaban dalam tubuh, melakukan diet, menjaga keringnya tubuh kecuali olahraga dan mandi.

Kedua hal itu harus dihindari (untuk sementara waktu) agar berbagai unsur jahat yang tersembunyi dalam tubuh tidak menggeliat dan bereaksi kembali sampai penderita yang sakit kembali sehat (normal) seperti semula.

Wallahu ‘Alam Bishawab.

 *) Penulis adalah Pembina Ponpes Jaringan Al Fatah, Indonesia.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *