Akankah Indonesia Menjadi Negara Islam Seutuhnya?

waktu baca 5 menit
Tessa Aprikindesa. (Foto: Ist)

Oleh Tessa Aprikindesa *)

MAYORITAS penduduk Indoneisa adalah beragama Islam. Setiap upaya untuk mengubah sistem pemerintahannya menjadi Islam selalu mencuat ke publik.

Wacana negara Islam di Tanah Air sebenarnya tidak dilihat dari masalah sejarah awal mula berdirinya bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari definisi Islam sebagai negara, yang juga menjadi dasar pembentukan negara Islam oleh tokoh-tokoh Islam.

Mendirikan negara Islam dari kalangan tokoh-tokoh Islam cenderung dilakukan dari paradigma keislaman, yakni mengenang kejayaan negara Islam masa silam, sejak masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, tidak dapat dielakkan.

Tolak ukur mereka adalah masa silam kerajaan-kerajaan Islam yang terbukti mampu menguasai wilayah yang sangat luas yang didukung oleh kepercayaan yang kuat tentang negara dalam Islam.

banner 72x960

Jika dilihat secara teoritik, seorang filsuf dan hakim senior Mahkamah Agung Pakistan, Javid Iqbal, yang dikenal karena menerbitkan tema-tema filsafat hukum dan filsafat Islam modern dalam jurnal-jurnal internasional dan nasional, menjelaskan bahwa negara Islam adalah negara Allah, negara yang memberlakukan syariat Islam, dan kedaulatan di tangan Tuhan (Allah SWT).

Dalam pengertian ini, negara Islam memiliki tiga komponen penting, yakni masyarakat muslim, hukum Islam (syariat Islam) dan khalifah.

Tiga komponen ini menjadi prasyarat berdirinya negara Islam yang sah. Formulasi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh Hasan Al-Turabi, bahwa negara Islam memiliki landasan teologis yang kuat, yakni:

Pertama, negara Islam tunduk pada doktrin tauhid, yang meniscayakan religiussannya dan sebaliknya menolak sekularitas.

Kedua, negara Islam bukanlah negara yang dibatasi oleh wilayah teritorial (nasionalitas), karena kesetiaan utama hanya diberikan kepada Tuhan, setelah itu barulah di serahkan kepada masyarakat (umat). Karena itu, Islam tidak memperbolehkan adanya kesetiaan terbatas, etnis atau teritorial.

Ketiga, negara Islam bukanlah suatu kesatuan yang berdaulat, karena ia tunduk kepada norma-norma syariat yang lebih tinggi, yang mewakili kehendak Tuhan.

Bahkan, oleh Abu A’la AI-Maududi, negara Islam diletakkan pada prinsip utamanya pada pengakuan kedaulatan Tuhan sebagai sumber segala hukum. Bahwa, tidak seorang pun yang dapat menetapkan hukum, kecuali Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan tunggal.

Tentunya, wacana tersebut mendapat tantangan dan penolakan yang serius dari kelompok nasionalis, keinginan kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar bangsa dan formalisasi syariat Islam, juga mendapatkan resistensi yang luar biasa dari umat beragama non-muslim, terutama kelompok Kristen.

Ahmad Syafii Maarif berpendapat, “di kalangan umat Islam di Indonesia sendiri, upaya mewacanakan negara Islam dan praktik formalisasi syariat Islam menuai penolakan dari organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah”, dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Dua ormas Islam ini menempati garda terdepan dalam menolak setiap upaya formalisasi syariat Islam.

Sebagai salah satu intelektual muslim terkemuka dan berpengaruh di Indonesia, tentu saja pandangan-pandangannya tentang relasi agama (Islam) dan negara menemukan momentumnya di saat bangsa ini banyak dibelit berbagai problematika, terutama terkait masalah ideologi negara.

Buya Syafii Maarif mengkhawatirkan ideologisasi Islam justru akan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Perpecahan tersebut tak hanya akan melibatkan antara kelompok muslim dan non-muslim saja, akan tetapi juga perpecahan antar sesama umat Islam.

Baginya, formalisasi syariat Islam hanya akan memunculkan ketakutan terhadap muslim abangan.

“Saya yakin, akan banyak orang Islam marginal, atau kelompok masyarakat yang selama ini masuk dalam kelompok Islam pinggiran, yang justru akan lari dari Islam. Bukankah hal ini justru akan merugikan upaya dakwah Islam itu sendiri”.

Agama (Islam) cukup ditempatkan sebagai landasan etik dan spirit bernegara. Dalam konteks ke indonesian, Buya Syafii Maarif masih meyakini bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang tepat bagi Indonesia.

Menurutnya, Pancasila sebagai dasar negara harus senantiasa disinari wahyu (agama). Di bawah sinar wahyu atau agama, Pancasila mempunyai landasan moral yang kokoh, yakni moral transendental.

Dengan landasan moral-religius yang kokoh, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali menjadi pujian dunia sebagai negara yang berhasil menciptakan harmoni kehidupan beragama sebagaimana yang pernah terjadi di masa silam.

Di Indonesia, perjuangan sebagai umat Islam untuk memberlakukan “dasar negara” dan “hukum” Islam hasilnya adalah kompromi dalam bentuk negara Pancasila.

Negara Pancasila adalah religious nation state yang sama  sekali tidak menghalangi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya tanpa mendiskriminasikan “pelaksanaannya” di tengah-tengah masyarakat plural.

Serta, menghapuskan pandangan masyarakat beragama lainnya yang selama ini beranggapan bahwa Islam adalah agama yang berbahaya karena banyaknya Islam dengan paham radikal, yang membunuh orang-orang yang selain agama Islam bahkan ada beberapa kelompok teroris tidak segan untuk membunuh muslim karena berlainan paham.

Nilai-nilai substansi ajaran Islam yang kita perjuangkan dan sudah pasti tidak akan ditolak oleh golongan lain, karena sifatnya universal adalah menegakkan keadilan, menegakkan hukum, membangun demokrasi, membangun kepemimpinan yang amanah, melindungi hak asasi manusia, menjalin kebersamaan, membangun keamanan, dan sebagainya.

Nilai-nilai inilah yang harus dimasukkan di dalam hukum nasional. Memperjuangkan nilai-nilai substansi ajaran Islam secara eklektis dengan sumber-sumber hukum lain, seperti hukum barat, hukum adat, dan lainnya untuk dijadikan secara elektis dengan sumber-sumber hukum yang lain.

Apalagi, jika dilihat bahwa hukum Islam itu bukan hanya dipahami dari ilmu fikih yang mengatur aspek kehidupannya manusia, tetapi juga dari Alquran, hadis, ijma dan qiyas. Terutama dalam kehidupan bernegara dalam menjaga keutuhan NKRI.

*) Penulis merupakan mahasiswi Prodi Ilmu Pemerintahan (2018), FISIP, Universitas Syiah Kuala (USK)

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *