Nggak Kapok Jadi Wartawan?
Catatan Sayuti Achmad*)
MASIH mau jadi wartawan? Jika Anda menganggap profesi ini adalah jalan hidup, bersiaplah menghadapi beragam teror bahkan dibunuh.
Cara teror bermacam-macam. Misalnya rumah dibakar, ditabrak saat jalan kaki atau berkandaraan, diancam, dan lain-lain.
Kalau dibunuh, ya bisa saja secara instan, misalnya ditembak, dibacok atau digilas. Bukan tidak mungkin juga dibunuh perlahan-lahan dengan cara yang sangat menyakitkan.
Semua teror bahkan pembunuhan ini bisa saja terjadi ketika ada kelompok yang merasa terusik dengan pemberitaan wartawan.
Kelompok itu bisa oknum penguasa, oknum pengusaha, jaringan mafia dengan berbagai kejahatan, bahkan orang-orang yang berusaha melanggengkan kekuasaan. Yang melakukan bisa langsung atau ‘anjing-anjing’ pengawal tuannya.
Menariknya, pelakunya bukan objek pemberitaan, tapi selalu melibatkan pihak ketiga untuk menghilangkan jejak.
Aktor utamanya baru terungkap jika pelakunya tertangkap. Tapi biasanya, aktor utama sulit terungkap karena semua kekuatan dikerahkan agar pengusutan tidak sampai menjangkau dirinya. Ingat, kekuatan uang dan kekuasaan bisa melumpuhkan hukum sekalipun.
Apa yang penulis gambarkan di atas adalah duka laten yang melingkari kehidupan wartawan. Tak pernah ada jaminan yang pasti tentang keselamatan jiwanya.
Di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 8 disebutkan; “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.”
Artinya, ada jaminan keselamatan saat wartawan melaksanakan tugas, termasuk perlindungan keamanan dari pihak manapun.
Namun faktanya, kriminalisasi selalu menghantui wartawan saat melaksanakan tugas. Mulai dari kekerasan verbal yang merenggut nyawa hingga kekerasan nonverbal datang silih berganti. Semuanya bermuara pada pemberitaan yang dianggap kontradiksi bagi pelaku kejahatan, walaupun sudah memenuhi kaedah jurnalistik.
Inilah wartawan, tak akan pernah mampu memprediksi langkahnya dari hari ke hari. Setiap saat, ancaman selalu datang menghadang.
Makanya, saya selaku Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang merupakan organisasi tertua di Indonesia selalu mengingatkan kepada anggota, rekan-rekan sejawat dalam setiap dialog dan ceramah untuk tetap berhati-hati dan mengutamakan keselamatan diri. Artinya, tidak cukup dengan hanya membanggakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai tameng.
Setiap Anda melangkahkan kaki dari rumah, Anda tak akan pernah tahu peristiwa apa yang bakal Anda hadapi.
Langkah kananmu mengabarkan informasi kepada masyarakat, namun langkah kirimu bisa menuju rumah sakit hingga kematian.
Ini akibat berbagai produk jurnalistik yang yang menganggu atau mengancam keamanan pihak lain dalam hal kekuasaan, bisnis, dan megaproyek yang terkadang mengabaikan kepentingan publik.
Jangan pernah menganggap bahwa argumen Anda akan diterima—meski produk jurnalistik yang Anda tayangkan sudah sesuai Undang-Undang Pers, KEJ, dan tanggung jawab profesi. Mereka tak peduli itu. Yang mereka peduli adalah mereka terganggu, dan Anda harus membayar mahal, termasuk dengan nyawa.
Sekali lagi saya ingatkan, jika memang profesi wartawan telah menjadi jalan hidup Anda, maka mantapkan diri Anda bahwa apa yang Anda lakukan adalah pekerjaan mulia. Serahkan semua pada Allah, karena Dialah yang menentukan jalan hidup kita.
Meski demikian, tetaplah waspada, utamakan keselamatan diri, dan jika hal terburuk yang terjadi kita harus siap menghadapi. Ini risiko kita sebagai penghubung informasi.
***
Memang, maut tak bisa dielak. Semua orang harus siap menghadapinya, namun bagaimana jika kematian seakan sudah direncanakan?
Faktanya, tak sedikit wartawan yang harus meregang nyawa dibunuh secara keji oleh para pelaku biadab. Terbaru, kasus tewasnya Marasalem Harahap, Pemred lassernewstoday.com.
Sang Pemred ditemukan meregang nyawa di dekat rumahnya di Karang Anyer, Simalungun, Sabtu dini hari, 19 Juni 2021 dengan luka tembak.
Walau banyak spekulasi tentang attitude korban selama menjalankan profesinya, baiknya kita abaikan dulu. Kucing tetangga yang sering mencuri ikan di rumah kita sekalipun jika kita aniaya atau dibunuh bisa menimbulkan kegaduhan besar bahkan berujung ke penjara jika pemiliknya mempersoalkan.
Begitu juga seorang pembunuh jika dibunuh malah kitanya juga dianggap pelaku pembunuhan. Ini adalah hakekat negara hukum.
Semua warga negara sama hak dan kedudukannya di mata hukum, tanpa pengecualian. Tapi jika kita negara barbar, perilaku saling bunuh adalah lumrah. Siapa yang kuat dia yang berkuasa, siapa yang lemah hanya akan jadi objek kekuasaan. Begitukah?
Tanyakan pada rumput yang bergoyang, begitu syair lagu Ebiet G. Ade.
Selain Marsal Siregar, banyak wartawan lainnya yang tewas dibunuh sebagai dampak dari pemberitaan.
Serunya, dari sejumlah kasus hanya sebagian kecil saja yang terungkap, sebagian besar lainnya masih meninggalkan misteri.
Dan, lagi-lagi pelakunya bukan objek pemberitaan, tapi pembunuh bayaran atau orang suruhan agar peristiwa kriminal berat bisa hilang jejak. Luar biasa memang cara membungkam wartawan.
Di Nias Selatan, Sumatera Utara, kasus Eliyuddin Telaumbanua, wartawan Berita Sore Medan tahun 2005 yang tak terkabar hidup atau mati masih menggantung.
Anehnya, walau tak terkabar keberadaannya, polisi saat itu menetapkan tujuh orang tersangka pelaku pembunuhan.
Di Probolinggo, Jawa Timur, Herliyanto, wartawan Tabloid Delta Pos Sidoarjo ditemukan tewas tahun 2006.
Polisi menangkap tiga pelaku, tapi pengadilan membebaskannya dengan dalih dua pelaku tak cukup bukti dan satu lagi dianggap gila. Kasus ini bagai tak berujung.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, Naimullah, wartawan Sinar Pagi ditemukan tewas tahun 1997, belum juga terungkap.
Di Merauke, Papua, Ardiansyah Wibisono, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV ditemukan tewas tahun 2010, dianggap tewas biasa akibat tenggelam, padahal badannya penuh luka.
Di Maluku Tenggara Barat, Alfrets Mirulewan, Pemred Tabloid Pelangi ditemukan tewas tahun 2010. Kasus bergulir, pelaku disidangkan tapi semua tersangka serentak cabut BAP, kasus akhirnya ngambang.
Pembunuhan Udin Bernas lebih seru, bak jalan tak berujung. Fuad M. Syarifuddin wartawan Harian Bernas Yogyakarta tewas dibunuh tahun 1996, namun sampai kini masih misteri hingga melahirkan banyak spekulasi mengungkap fakta sebenarnya.
Kasus pembunuhan wartawan Radar Bali, AA Narendra Prabangsa tahun 2009 di Pelabuhan Padang Bai, Bali tak kalah menarik. Pelakunya sudah divonis seumur hidup, namun diringankan menjadi 20 tahun karena grasinya dikabulkan Presiden Jokowi.
Tahun 2010, Ridwan Salamun, kontributor Sun TV di Tual, Maluku Tenggara meregang nyawa dibantai saat meliput pertikaian warga. Uniknya tiga pelaku dibebaskan pengadilan karena dianggap tidak terbukti.
Di Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, rumah wartawan Serambi Indonesia, Asnawi Luwi dibakar. Pelakunya tak kunjung terungkap meski kasus itu sudah lebih dua tahun.
Asnawi bersama anak istrinya harus keluar dari Aceh Tenggara karena khawatir pelaku yang masih bebas bergentayangan bisa saja melakukan tindak kejahatan susulan, misalnya membunuh. Miris memang. []
*) Penulis adalah Ketua PWI Aceh Utara-Lhokseumawe