Surat Terbuka untuk Pengelola Restoran Nasi Goreng “D” di Peunayong: Tentang Ruang Shalat yang Memprihatinkan

Detik-detik jelang buka puasa di Restoran Nasi Goreng “D”, Jalan Panglima Polem, Peunayong, Banda Aceh, 5 Ramadhan 1443 H/7 April 2022.

Assalamualaikum Wr Wb.

banner 72x960

Izinkan saya membuat surat terbuka melalui media ini. Semoga apa yang saya alami menjadi perhatian pengelola Restoran Nasi Goreng “D” yang begitu terkenal di Kota Banda Aceh.

Pada hari kelima Ramadhan 1443 H, tepatnya Kamis, 7 April 2022, saya buka puasa bersama dengan seorang teman di Restoran Nasi Goreng “D” di Jalan T. Panglima Polem, Peunayong, Banda Aceh.

Setelah berbuka dengan segelas jus dan menyantap nasi goreng ditambah teh hangat, saya izin melaksanakan shalat magrib. Rencananya bergantian dengan teman.

Pelayan restoran mempersilakan saya naik ke lantai dua, di sanalah tempat shalat.

Saat tiba di atas saya melihat dua orang laki-laki dan seorang perempuan sedang antre karena ada seseorang sudah terlebih dahulu shalat.

Jika mereka langsung bergabung, tak ada tempat berdiri. Tempatnya sangat-sangat kecil. Untuk ukuran bertiga saja kesulitan.

Kepada jamaah yang sedang antre, saya bertanya di mana tempat wudhuk.

Orang yang saya tanya menunjuk satu ruangan kecil tak jauh dari tempat shalat. Saya berjalan pelan-pelan karena lantainya sangat licin. Saya masuk ke ruang itu.

Di dalam ada satu ember penampung air, satu kran, dan closet tempat buang hajat. Di ruang berukuran lebih kurang 1×3 meter itulah saya mengambil wudhuk.

Setelah wudhuk, saya menuju tempat shalat. Saya tak bisa segera shalat karena orang yang mengantre tadi sedang berjamaah. Makmumnya seorang laki-laki yang berdiri hampir sejajar dengan imam, dan di belakangnya makmum perempuan. Saya tak kebagian tempat lagi. Sudah penuh.

Takut kehabisan magrib, saya bergegas turun. Sambil berjalan ke meja tempat saya makan, saya sempat protes kepada pelayan restoran.

“Kecil sekali tempat shalat kalian, saya nggak bisa shalat meski hanya dengan tiga orang,” kata saya tanpa tahu kepada siapa protes itu saya tujukan.

Pelayan yang mendengar protes saya menanggapi tanpa beban, bahkan terkesan nyeleneh.

“Tempat shalatnya kecil? Ya besok kami besarkan. Besok kita kasih besar,” begitu tanggapan si pelayan.

Tanpa menggubris apakah jawabannya serius atau main-main bahkan nyeleneh, saya langsung mengajak teman kembali ke kantor untuk shalat magrib. Tentu saja setelah menyelesaikan harga makanan dan minuman berbuka. Rp 136.000,-

Surat terbuka ini saya rasa penting dibuat mengingat Aceh negeri syariat. Seharusnya seorang pengusaha restoran seperti nasi goreng ‘D” yang sudah punya branding lumayan oke, ikut bertanggungjawab mewarnai negeri ini dengan style islami. Jangan sampai pikiran orang luar tentang syariat berubah ketika melihat contoh seperti yang saya alami di Restoran Nasi Goreng “D”.

Sungguh, ini tanggung jawab kita bersama. Mohon maaf jika surat ini terasa pahit, tetapi akan lebih pahit kalau kondisi serupa terus berlanjut tanpa ada yang mengingatkan.

Wassalamualaikum Wr Wb.

 

Salam,

Muhammad Nasir Nurdin

Warga Banda Aceh

 

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *