Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, Antara Pembangunan dan Ketahanan Pangan

waktu baca 5 menit
Deny Chandra. (Dokpri).

Oleh : Ir. Deny Chandra, ST. MT.*

Kebutuhan lahan dalam suatu kawasan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial budaya serta ekonomi yang mengiringinya. Peningkatan kebutuhan lahan merupakan implikasi dari semakin beragamnya fungsi pada suatu kawasan, sedangkan kawasan secara wujud tidak bertambah.

Undang Undang 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya, di mana kedua fungsi tersebut sangat penting untuk kelangsungan hajat hidup dan kesejehteraan masyarakat, sebagaimana tujuan dari Penataan Ruang adalah mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan dengan keharmonisan, keterpaduan serta perlindungan akibat pemanfaatan ruang.

Fungsi budidaya salah satunya adalah lahan pertanian, dimana  setiap saat lahan pertanian atau sawah selalu berkurang disebabkan perubahan fungsi, dengan alasan perkembangan kawasan, sawah tidak produktif lagi karena air irigasi tidak ada, walaupun lahan pertanian tersebut masuk dalam LP2B.

Tuntutan dinamika perkembangan kegiatan pada sebuah kawasan dapat menimbulkan persaingan dalam pemanfaatan lahan yang mengarah pada perubahan fungsi kawasan dengan intensitas tinggi, untuk itu dibutuhkan pengendalian sehingga tidak terjadinya fungsi campuran pada sebuah kawasan dengan berbagai kegiatan (aglomerasi) yang tidak dapat berdampingan  dan berdampak negatif baik secara fisik, lingkungan maupun sosial budaya.

banner 72x960

Alih fungsi Lahan adalah sebuah perilaku ketidakpatuhan dan inkonsistensi terhadap ketentuan peruntukkan dan fungsi lahan yang merupakan hasil kesepakatan yang telah dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, termasuk alih fungsi lahan sawah yang terus tergerus menjadi kawasan perdagangan dan jasa (pertokoan), perkantoran, dan fungsi lainnya yang non pertanian terutama di sepanjang koridor jalan nasional, provinsi maupun kabupaten, hal ini tentunya menjadi berkurangnya lumbung-lumbung padi yang berdampak pada ketahanan pangan (food security), menurunnya perekonomian dan kemapanan struktur sosial masyarakat di pedesaan, terganggunya kualitas ekosistem lingkungan hidup dan mahalnya harga beras di pasaran dikarenakan ketersediaan yang berkurang.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals (SDGs) disebutkan bahwa pembangunan harus memenuhi dan memperhatikan empat pilar, antara lain; Pilar Pembangunan Sosial, Pilar Pembangunan Ekonomi, Pilar Pembangunan Lingkungan, dan Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola.

Kembali kepada alih fungsi lahan sawah, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 alih fungsi lahan sawah skala nasional antara 60.000-80.000 Ha/tahun atau 165 – 220 Ha/hari, dan menurut data BPS Provinsi Aceh, merujuk pada data luasan panen bahwa jumlah luas sawah di Provinsi Aceh tahun 2020 adalah 317.869,41 Ha, luas sawah tahun 2021 berkurang menjadi 297.058,38 Ha, dan pada tahun 2022 luas sawah Provinsi Aceh kembali berkurang yaitu 276.622,14. Alih fungsi lahan sawah berkisar 20.623 Ha/tahun atau 56,501 Ha/hari dengan produktivitas 55,42 ton/Ha, dan dengan angka alih fungsi lahan sawah provinsi Aceh berarti terdapat berkurangnya panen padi berkisar 1.142.926 Ton/tahun.

Tentunya ini bukanlah angka yang kecil dan perlu langkah-langkah dan komitmen bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) serta masyarakat guna mengantisipasi laju perubahan fungsi lahan sawah yang berdampak terhadap stabilitas ketahanan pangan (food security) nasional dan Aceh khususnya.

Beberapa instrument berupa produk hukum telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengurangi alih fungsi lahan pertanian, seperti Undang Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, serta Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah yang bertujuan untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah, mempercepat penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD), serta mengakselerasi pengintegrasian LSD ke dalam penetapan LP2B dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Rinci Tata Ruang.

Tahun 2021 Pemerintah melalui SK Menteri ATR/BPN Nomor : 1589/SK-HK/02.01/XII/2021 telah menetapkan lahan sawah dilindungi pada 8 Provinsi yaitu; Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya tahun 2023 akan ditetapkan untuk 12  provinsi, salah satunya Provinsi Aceh sedang dalam tahapan verifikasi dan klarifikasi.

Tentunya instrumen regulasi ini menjadi harapan positif bagi kita untuk menahan laju alih fungsi lahan sawah yang bermuara pada ketahanan pangan. Program cetak sawah baru juga pernah digalakkan tahun 2014 – 2019 yang menggelontorkan dana ratusan triliun dengan harapan dapat menggenjot produksi pangan. Namun program cetak sawah baru dirasakan kurang efektif dan efisien karena butuh waktu dalam penyiapan lahan, infrastruktur pendukung, kesesuaian dan kondisi lahan, serta alih fungsi kawasan lain  menjadi kawasan pertanian yang berdampak terganggunya stabilitas ekosistem dan lingkungan.

Tentunya alternatif mempertahankan lahan sawah yang telah ada (existing) adalah solusi yang jauh lebih efektif dan efisien dari segala sisi, sekali lagi dibutuhkan komitmen bersama dan sinergi lintas sektoral dengan pelibatan lapisan masyarakat. Untuk itu pemerintah harus menjadikan masyarakat pemilik lahan sawah sebagai sebuah mitra dalam konteks kerjasama yang saling menguntungkan (mutualisme), hal tersebut salah satunya dapat diwujudkan dengan memberikan insentif, seperti; ketersediaan pupuk yang murah, pemotongan pajak, infrastruktur penunjang baik berupa akses jalan dan irigasi, jaminan harga jual gabah yang stabil, dan lain sebagainya. Bukan sebaliknya masyarakat petani hanya menjadi objek yang selalu dalam posisi dirugikan dan ketidaknyamanan karena sebuah kebijakan.

Pemerintah juga harus dapat merubah pola pikir (mindset) dan menjadikan profesi petani menjadi sebuah profesi yang menjanjikan secara ekonomi, sosial dan budaya kerena profesi petani saat ini tidak diminati bagi kaum milenial. Tentunya kita berharap anak cucu kita nantinya masih bisa menikmati nasi dari hasil bumi Indonesia. Semoga![]

)* Penulis adalah ASN dan PPNS Penataan Ruang Provinsi Aceh.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *