Parodi, Realisme Magis dan Black Comedy

Mahan Jamil Hudani*

Buku berjudul Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu: Dari Parodi sampai Black comedy, selanjutnya disingkat Dari Belinyu adalah buku yang bisa dikategorikan sebagai kritik sastra atau mungkin lebih asyik didengar sebagai buku apresiasi sastra.

banner 72x960

Istilah kritik sastra meski sesungguhnya bukan istilah yang asing dalam dunia akademik dan dunia sastra di Indonesia, namun faktanya bisa menjadi suatu yang membuat alergi bagi para sastrawan di Indonesia, khususnya para penyair dan prosais, dua genre yang paling banyak diminati, digeluti, dan diproduksi, dengan dilihat dari produktivitas karya yang lahir.

Tradisi kritik sastra memang masih bisa dibilang belum begitu sehat di tanah air kita. Tak banyak pula yang bisa kita sebut sebagai kritikus kecuali beberapa nama besar yang memang telah melahirkan banyak tulisan sebagai penilaian terhadap karya sastra. Ini tentu tak sebanding dengan berapa banyak karya sastra yang lahir dan diproduksi secara cukup massif di negeri kita.

Buku yang ditulis oleh Sunlie Thomas Alexander ini tentu bisa menjadi suatu referensi di tengah belum maraknya tradisi kritik atau apresiasi karya sastra di Indonesia. Selama ini banyak yang kita baca hanya sebatas esai singkat yang ditulis dengan kurang padat dan menukik serta metodologi yang kurang tepat terhadap pembacaan beberapa karya sastra baik puisi, cerpen, atau novel.

Sunlie dengan seperangkat pembacaan dan metodologi menghadirkan suatu tehnik baru dengan mengupas secara umum namun cukup representatif juga komprehensif beberapa buku karya para sastrawan Indonesia ternama–plus satu penulis luar negeri–dalam sub genre cerpen dan novel. Ini suatu hal yang memang sangat jarang dilakukan oleh beberapa penulis atau pemerhati sastra di Indonesia belakangan ini, padahal sesungguhnya karya sastra sangat penting diapresiasi dan dijadikan pembelajaran.

Buku ini memang tidak ditulis secara fokus sebagai buku utuh, namun dikumpulkan dari beberapa makalah yang awalnya disertakan dalam lomba-lomba kritik sastra yang diadakan beberapa lembaga di negeri kita. Beberapa tulisan tersebut meraih predikat juara. Namun tentu saja semua tak mengurangi bobot buku ini sebagai buku yang patut dijadikan referensi bagi para pemerhati sastra di Indonesia dalam memulai kritik sastra terapan.

Ada enam tulisan dalam buku ini yang tidak sekadar mengisahkan lima buku sastrawan Indonesia plus satu penulis luar negeri. Tulisan tersebut juga menawarkan metodologi pembacaan hingga mampu mengajak pembaca mampu memasuki dunia yang dibangun oleh karya tersebut. Enam buku tersebut adalah: 

Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu (A.S. Laksana), Kota-kota Kecil yang Dibangun dan Kujumpai (Raudal Tanjung Banua), Surga Sungsang (Triyanto Triwikromo), Lampuki (Arafat Nur), Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (Mahfud Ikhwan), dan China Men (Maxime Hong Kingston).

Parodi, Realisme Magis, dan Black Comedy

Sunlie memulai dengan memperkenalkan parodi dalam membaca Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu, buku kumpulan cerpen karya A.S. Laksana atau yang lebih dikenal Sulak. Parodi adalah sebuah keriangan yang bermain-main tapi serius seraya berikhtiar memperolok-olok apa yang telah ada, yang tampak resmi, bahkan yang telah diterima khalayak luas sebagai kebenaran, tulis Sunlie.

Parodi sesungguhnya ada di mana-mana dan bidang apa saja. Sunlie menilai karya Sulak dalam Murjangkung ini adalah parodi-parodi yang bisa membuat kita merasa geli. Namun tentu saja bukan kegelian dan kekonyolan itu yang ingin Sunlie sampaikan.

Parodi juga sesungguhnya mempertanyakan dan meragukan nilai-nilai yang telah mapan yang sesungguhnya juga banyak menyimpan hal-hal yang telah terdistorsi oleh pelaku sejarah dan nilai kebenaran itu sendiri. Sunlie menyitir beberapa teori parodi semacam Simon Denith, James Wines, G.D Kiremidjan, dan Linda Hutcheon.  

Berbekal parodi tersebut plus dengan realisme magis, Sunlie membaca cerpen-cerpen Sulak. Cerpen tersebut meski berisi parodi namun tentu digarap secara serius, bukan asal-asalan. Dalam pembacaan Sunlie, Sulak sedang bermain serius dengan teks sejarah, dalam cerita ini adalah tentang Jan Pieterzoon Coen dan Men Wi–nama Men Wi ini dalam banyak catatan sejarah adalah Men Chi, kurir Kubilai Khan, kisah dalam kitab suci tentang nabi atau lebih tepatnya penggalan kisah nabi seperti nabi nabi Ibrahim, Isa, dan jin piaraan nabi Sulaiman. Sunlie kemudian membandingkan kepiawaian Sulak dengan cerpenis dunia asal Argentina, Jorge Luis Borges.

Sunlie menggunakan istilah yang disebut intertekstualitas saat membaca buku kumpulan cerpen Raudal Tanjung Banua yang berjudul Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai. 

Keterkaitan atau keterpengaruhan Raudal dalam cerita-cerita di bukunya tersebut sangat kental dengan buku Invisible Cities karya Italo Calvino yang begitu deskriptik ketika menarasikan ceritanya. Ini tentu sah saja menurut Sunlie selama disertai hasrat mengolah teks tersebut secara kreatif dan menjadi suatu cerita baru yang tentu saja berbeda dengan teks aslinya. Sunlie menyatakan dengan tegas bahwa Invisible Cities sendiri adalah hasil intertekstualitas dari buku berjudul The Travel of Marco Polo.

Realisme Magis disandarkan Sunlie saat membaca novel Surga Sungsang, karya Triyanto Triwikromo. Membuka paragraf pertama dengan mengutip kritikus sastra Homi K. Babha tentang Realisme Magis, Sunlie juga mengambil contoh novel The Satanic Verses karya Salman Rusdhie dan Tripmaster Monkey: His Fake Book Maxine Hong Kingston, contoh karya di mana “nama-nama suci pun berluruhan ke ruang profan” sebagaimana disebutkan Homi K. Babha.

Untuk memperkuat Realisme Magis pembacaan Sunlie pada novel Surga Sunsang, Sunlie menggunakan referensi dalam buku Ordinary Enchantment; Magical Realism and Remystification of Narrative Wendy B. Faris. Surga Sunsang lalu tampil dengan campur aduk antara mitos, legenda, dan cerita religius yang sungguh menyentak seperti burung bangau yang menyerupai burung Ababil, akar bakau yang bisa hidup dan membelit manusia, malaikat, dan orang yang hidup di perut ikan. Pola cerita ini bisa ditemukan juga dalam novel One Hundred Years of Solitude Gabriel Garcia marquez, sastrawan peraih nobel 1982 yang begitu kuat dilekatkan dengan Realisme Magis.

Tragic Comedy atau tragedi-komedi, lebih khusus adalah black comedy dipakai Sunlie untuk membaca novel Lampuki karya sastrawan Aceh, Arafat Nur. Lampuki adalah novel sejarah kelam dan getir yang terjadi di Aceh selama pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer), suatu istilah yang sungguh benar-benar mencekam dan menakutkan bagi masyarakat Aceh. 

Lampuki, meski begitu dikemas dengan nada humor. Ini yang Sunlie tegaskan sebagai black comedy atau black humor, atau disebut juga dark humour, mengajak tertawa dan menertawakan yang semestinya tak lucu dan memang bukan lelucon.

Menurut Sunlie, eksploitasi penderitaan yang tampil dalam karya-karya black comedy bukan tanpa tujuan, namun lelucon-lelucon itu untuk membangun rasa simpati dan empati.

Dalam Lampuki, hal tersebut digambarkan cukup detil. Bisa jadi orang di luar Aceh sama sekali tak tahu dengan peristiwa yang terjadi di sana hingga mereka membaca Lampuki, meski dalam pembacaan Sunlie Lampuki masih lemah dalam memberikan ruang tafsir karena terlalu fokus pada satu sosok Ahmad dan yang berpusar di sekelilingnya.

Metafiksi, demikian Sunlie mengategorikan novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan.

Sunlie menggunakan definisi metafiksi Patricia Waugh. Novel ini menurut Sunlie sedang mengisahkan dirinya sendiri sebagai fiksi dengan sadar walau sang penulis novel tidak menceburkan dirinya dalam cerita seperti dalam karya-karya metafiksi lain. Novel ini bertutur seperti bualan dan gunjingan dengan narator yang cakap dalam berkisah dan bertutur.

Tak Sekadar Mengisahkan

Sunlie dan Dari Belinyu, tentu tak sekadar mengisahkan buku-buku tersebut, ia juga melakukan pembacaan dengan perangkat yang dianggap tepat sebagai suatu kritik terapan pada buku-buku tersebut. Pembacaan Sunlie ini tentu bisa menjadi suatu model bagi kita saat menilai suatu karya sastra.

Pada faktanya, banyak orang membaca, menulis, dan mengapresiasi suatu karya sastra secara tak tepat dalam penggunaan perangkat. Ini sesungguhnya ibarat kita akan pergi ke suatu tempat di sebuah kota tanpa alamat yang tepat, hingga pada akhirnya sering tak sampai pada tujuan padahal telah harus tersesat ke sana ke mari dalam waktu yang cukup lama terlebih dahulu, ironis.

Akhirnya pembacaan seperti ini memang tak memberi pemahaman yang baik pada pembaca bagaiamana suatu karya harus dibaca, bahkan hasilnya terkesan sangat konyol.

Membaca Dari Belinyu, setidaknya telah memberi satu gambaran atau peta yang cukup jelas namun masih bersifat global–karena bagaimanapun juga begitu banyak ragam pembacaan, dan masih banyak yang perlu dipelajari oleh banyak sastrawan Indonesia tentang teori dan kritik sastra–pada pembaca, tinggal bagaimana dan dari mana pembaca berada ketika ingin memilih dan melalui peta tersebut. Dari Belinyu, jika itu adalah peta yang jelas, namun mungkin masih perlu memberi tanda dan rambu yang lebih sederhana, lebih menukik, namun tetap aplikatif, dan sesungguhnya Sunlie memiliki kepiawaian untuk itu.

Ini penting agar buku semacam Dari Belinyu bisa menjadi referensi yang mudah dipahami sekaligus berbobot bagi pembaca sastra dan agar sastra Indonesia bisa lebih diapresiasi oleh banyak pembaca dan kemudian memberi suatu pemahaman yang lebih dalam menulis dan melahirkan karya sastra. Menulis sastra bagaimanapun membutuhkan tehnik dan keahlian, latihan yang keras, dan pembelajaran secara teoretik, bukan sekadar membebek pada sang patron tanpa siap kemudian dikritik, bahkan kemudian melakukan justifikasi yang apologetik yang makin menjauhkan dari tradisi ilmiah. Dari Belinyu telah memberikan peta tersebut.

Judul buku : Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu

Penulis       : Sunlie Thomas Alexander

Penerbit      : Gambang

Cet Kedua  : Juni 2020

Tebal          : vii + 206 hal

ISBN         : 978-602-6776-99-0

Mahan Jamil Hudani*

Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO). Saat ini bergiat di komunitas Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS). Juga aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI) yang didirikan sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, serta sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id.

Karyanya tersiar di sejumlah media seperti Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Pontianak Pos, Tanjungpinang Pos, Medan Pos, SKH Amanah, Bhirawa Surabaya, Haluan Padang, Rakyat Sumbar, Magelang Ekspress, Palembang Ekspress, Padang Ekspress, Radar Mojokerto, Radar Bromo, Analisa Medan, Kabar Priangan, dan Rakyat Sultra. Sejumlah lain termuat dalam beberapa antologi bersama.

Karyanya termuat juga di sejumlah media massa. Puisinya terkumpul dalam sejumlah antologi puisi bersama seperti Mengalir di Oase (DKTS, 2010), Seratus Puisi Qurani (Parmusi, 2016), Kemurnian dan Cinta (DKTS, 2016), 1550 mdpl (antologi puisi kopi bersama, 2016), Buitenzorg: Bogor dalam Puisi Penyair Nusantara (DKKKB, 2017), Situ, Kota, dan Paradoks (FLT, 2017), Seutas Tali dan Segelas Anggur (antologi puisi dan cerpen bersama, 2017), PPN X: Puisi untuk Perdamaian Dunia (2017), Jejak Cinta di Bumi Raflesia (Festival Sastra Bengkulu, 2018), Perjumpaan (FSB-BWF, 2019), Jazirah Tiga (FSIGB 2019), dan Banjarbaru Rainy Day Festival (2019).

Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), dan Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019).



Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *