Muzakir Manaf: Dari Pejuang Kemerdekaan Aceh ke Panggung Politik
THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Muzakir Manaf, yang lebih dikenal dengan panggilan Mualem, lahir pada 2 April 1964 di Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, namun keluarganya memiliki akar kuat di wilayah Aceh Timur. Ia tumbuh dalam lingkungan masyarakat Aceh yang sarat dengan nilai-nilai adat, Islam, serta semangat juang yang tinggi. Masa kecilnya dijalani di tengah dinamika sosial-politik Aceh yang mulai merasakan ketimpangan pembangunan dan konflik identitas dengan pemerintah pusat.
Sejak muda, Muzakir telah menunjukkan ketertarikan pada dunia militer dan perjuangan. Pilihan hidupnya kemudian membawanya ke medan perjuangan bersenjata demi cita-cita Aceh yang merdeka.
Perjalanan di Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Muzakir bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada dekade 1980-an, saat organisasi tersebut masih berkembang di bawah pimpinan Hasan Tiro, sang proklamator GAM. Ia menjadi bagian dari gelombang pejuang yang dikirim ke Libya untuk mendapatkan pelatihan militer bersama kelompok-kelompok perjuangan dari berbagai negara.
Di Libya, ia menempuh pelatihan militer formal dan memperkuat semangat militansi serta strategi perlawanan. Sepulangnya dari pelatihan, ia menjabat sebagai salah satu komandan lapangan. Kemampuannya dalam strategi militer dan loyalitas tinggi membuatnya cepat naik pangkat.
Setelah Panglima GAM saat itu, Tgk. Abdullah Syafi’i, gugur pada 2002, Muzakir Manaf dipercaya menggantikan posisinya sebagai Panglima Tentara GAM. Di masa inilah ia memegang kendali komando terhadap ribuan pasukan GAM yang tersebar di seluruh Aceh, memimpin perlawanan bersenjata terhadap TNI, dan tetap menjaga semangat perjuangan di tengah tekanan militer yang besar.
Dari Perang ke Damai: Peran dalam Perjanjian Helsinki
Tragedi tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi titik balik sejarah Aceh. Ratusan ribu jiwa melayang, dan dunia internasional mulai memberikan perhatian besar terhadap wilayah ini. Momentum tersebut menjadi jalan pembuka menuju perdamaian antara GAM dan Pemerintah Indonesia.
Muzakir Manaf menjadi salah satu tokoh utama yang terlibat dalam proses rekonsiliasi dan dialog menuju damai. Perjanjian damai akhirnya ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Isi perjanjian mencakup disarmament GAM, pembentukan partai lokal, serta otonomi khusus bagi Aceh dalam bentuk Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Sebagai mantan Panglima, Mualem memainkan peran kunci dalam meyakinkan pasukannya untuk menurunkan senjata dan mendukung transisi ke ranah politik. Ia dipandang sebagai tokoh yang bisa mengayomi eks kombatan dan memastikan bahwa perjuangan tidak berakhir, melainkan bergeser ke jalur politik.
Mendirikan Partai Aceh dan Masuk ke Dunia Politik
Untuk menyalurkan aspirasi mantan pejuang dan rakyat Aceh secara politik, Muzakir Manaf bersama tokoh-tokoh GAM mendirikan Partai Aceh pada 2007. Partai ini menjadi wadah politik utama bagi eks kombatan dan simpatisan perjuangan kemerdekaan Aceh.
Pada Pemilihan Gubernur Aceh 2012, Partai Aceh mencalonkan pasangan Zaini Abdullah – Muzakir Manaf. Mereka berhasil menang, menjadikan Zaini sebagai Gubernur dan Mualem sebagai Wakil Gubernur Aceh (2012–2017).
Selama menjabat, Mualem aktif memperjuangkan implementasi butir-butir MoU Helsinki yang masih tertunda, seperti pengelolaan sumber daya alam dan pembentukan lembaga peradilan lokal. Ia juga fokus pada isu kesejahteraan mantan kombatan dan masyarakat Aceh pasca konflik, meski tidak lepas dari kritik terhadap efektivitas pemerintahannya.
Mencalonkan Diri Sebagai Gubernur Aceh
Pada Pemilihan Gubernur Aceh 2017, Muzakir Manaf mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh, berpasangan dengan TA Khalid. Meski didukung Partai Aceh dan sejumlah partai nasional, ia kalah dari pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah. Hasil ini menjadi pukulan bagi Partai Aceh dan menunjukkan bahwa dinamika politik Aceh mulai beragam, tak lagi dimonopoli oleh eks pejuang GAM.
Namun, kekalahannya tidak membuatnya mundur dari dunia politik. Mualem tetap menjadi figur penting dalam Partai Aceh dan aktif menyuarakan isu-isu kedaulatan dan keadilan bagi Aceh. Ia juga menjadi simbol keberlanjutan perjuangan damai dan suara rakyat di tengah kondisi politik lokal yang fluktuatif.
Citra dan Pengaruh Sosial
Di mata para pendukungnya, Mualem adalah simbol keberanian, kesetiaan, dan keteguhan hati. Ia dihormati tidak hanya karena sejarahnya sebagai panglima perang, tetapi juga karena komitmennya dalam membangun Aceh yang damai dan bermartabat.
Namun, seperti tokoh publik lainnya, ia tidak lepas dari kontroversi. Beberapa pengamat mengkritik lambannya realisasi butir-butir perjanjian damai di masa pemerintahannya, serta isu ketertutupan Partai Aceh terhadap perbedaan pandangan politik.
Muzakir Manaf adalah representasi nyata dari perjalanan panjang Aceh: dari masa konflik bersenjata menuju era damai dan demokrasi. Ia adalah tokoh transisi yang berani berpindah dari senjata ke politik, dan dari medan perang ke ruang musyawarah.
Meski tantangan besar masih mengadang, terutama terkait implementasi MoU Helsinki dan pembangunan berkeadilan, nama Muzakir Manaf akan tetap tercatat dalam sejarah Aceh sebagai figur sentral dalam perubahan besar yang terjadi sejak awal abad ke-21. []
Baca berita lainnya di Google News dan saluran WhatsApp