MQK Aceh dan Konektivitas Nasional
Oleh: Mukhsin Rizal, S.Hum., M.Ag *)
PENDIDIKAN dayah merupakan pendidikan formal pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dan satu-satunya model pendidikan saat itu. Seiring perkembangan zaman dan pergeseran sejarah yang terjadi di Nusantara, posisi lembaga ini juga mengikuti zaman.
Saat kehadiran kolonialisasi Belanda posisi dayah/pesantren tidak lah sebaik masa kerajaan sebelumnya. Beberapa pimpinan dayah dengan gagah dan berani turun ke medan perang melawan penjajahan Belanda. Kegiatan tersebut terus berlanjut sampai dengan tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Perlawanan tersebut dilakukan dikarenakan pada saat pendudukan Belanda, mereka melakukan upaya-upaya untuk menghambat pendidikan agama Islam, serta menyebarkan pendidikan Barat di Aceh, sehingga menyebabkan dayah terbengkalai.
Selain itu, kerap kali mereka membakar dayah dan membunuh pengajarnya serta membumihanguskan seluruh perpustakaaan. Jika ada dayah yang masih bertahan, itu pun dibangun di daerah terisolir dan jauh dari pantauan Belanda.
Setelah tahun 1904 M, barulah dayah yang telah terbengkalai tersebut dibangun dan dibenahi kembali untuk dapat digunakan sebagai lembaga pendidikan dan setelah itu dayah mengalami perkembangan, walaupun perkembangan yang terjadi pada waktu itu tidak begitu berarti.
Pada saat itu, para ulama dayah disibukkan dengan perlawanan melawan Jepang, serta kebijakan Jepang yang menerapkan kerja paksa serta mengabaikan sisi-sisi lain dalam kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan di dalamnya.
Pada masa kemerdekaan, mulai tahun 1945 M, perkembangan dayah sudah menampakkan hasil yang cukup baik, ini dapat dilihat dari perkembangan Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan, Dayah MUDI MESRA Samalanga, Dayah BUDI Lamno, dan dayah-dayah yang lain. Setelah kemerdekaan Indonesia, lembaga pendidikan dayah/pesantren tidak serta merta kembali mendapat perhatian pemerintah secara serius.
Dayah sebagai lembaga pendidikan non formal perlahan mulai memasukkan kurikulum sekolah umum, kolaborasi kurikulum pendidikan dayah dalam rangka mendapatkan pengakuan ijazah dayah/pesantren sebagai lembaga pendidikan terus berkembang di Kementerian Agama RI sendiri mendesai program untuk pengakuan ijazah tersebut melalui program Wajar Dikdas, program Mua’dalah dan Pendidikan Diniyah Formal.
Secara khusus, di Aceh melalui Qanun nomor 9 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah memerintahkan kepada instansi teknis untuk menyempurnakan kurikulum dayah, model evaluasi dan penetapan standar pelayanan pendidikan dayah. Artinya, bahwa dayah di Aceh telah diakui sebagai lembaga pendidikan dan berhak mengeluarkan ijazah pada setiap tingkat pendidikan.
Selain lembaga pendidikan yang terus berkembang, kepedulian Pemerintah Aceh terhadap thalabah (santri) juga kian menguat. Selain memberikan hak yang sama sebagaimana hak-hak siswa di sekolah umum, santri juga diberikan ruang untuk menunjukan kemampuan diri dalam membaca, memahami kitab kuning melalui Musabaqah Qiraatul Kutub (MQK) yang dilaksananakan dua tahun sekali.
MQK Pertama
Kegiatan MQK dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendidikan Dayah Aceh pertama sekali pada tanggal 29 November tahun 2019. Kegiatan ini diselenggarakan untuk menjaga tradisi membaca kitab kuning di kalangan santri dayah yang juga merupakan upaya melestarikan khazanah keilmuan di dayah, terutama khazanah membaca kutub at-turats atau kitab gundul yang juga sering disebut dengan kitab kuning sebagai tradisi pendidikan di dayah.
Kegiatan pertama MQK-1 Tahun 2019 tersebut dibuka oleh Gubernur Aceh yang diwakili Sekretaris Daerah Aceh, dr Taqwallah MKes di halaman Masjid Raya Baiturahman, Banda Aceh.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Disdik Dayah Aceh saat itu sebagai upaya meningkatkan kembali perhatian dan kecintaan para santri terhadap kitab kuning.
Ajang tersebut juga sebagai memotivasi santri untuk mempelajari, mendalami, dan memahami kitab kuning dengan baik. Selain itu, MQK dapat mendorong santri untuk memiliki kemauan kuat dalam meningkatkan semangat penguasaan kandungan isi kitab kuning.
MQK juga bertujuan meningkatkan peran dayah sebagai lembaga pendidikan Islam yang mencetak kader ulama guna menjawab berbagai persoalan umat dalam bidang agama.
Hakikatnya MQK harus dapat memotivasi para santri untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, sehingga nanti akan muncul prestasi para santri Aceh yang mungkin selama ini tidak pernah tereksplorasi.
Potensi santri tersebut harus benar-benar tergali dengan baik, karena di saat dunia carut marut seperti saat ini, harapan terbesar ke depannya adalah santri yang saat ini berada di dayah-dayah di seluruh Aceh.
Saat itu MQK Aceh diikuti oleh santri dari seluruh kabupaten dan kota se-Aceh. Selain ajang kompetisi, kegiatan tersebut dapat menjalin semangat persatuan dan kesatuan yang kuat di antara para santri di Aceh.
Kegiatan MQK pertama saat itu, didesain oleh Disdik Dayah Aceh dikepalai oleh Usamah Elmadny dan ditetapkan oleh pemerintah Aceh menjadi agenda rutin dwi tahunan pemerintah Aceh.
Gagasan menyelenggarakan MQK mendapatkan sambutan luar biasa dari semua kabupaten/kota dan pada saat itu semuanya berpartisipasi tanpa satu pun yang absen, dengan jumlah partisipasi saat itu sekitar 500 orang. Jumlah cabang yang diperlombakan ada 10 cabang.
Oleh karena itu, kegiatan MQK sudah selayaknya mendapat apresiasi dari seluruh masyarakat khususnya kalangan dan insan dayah di Aceh.
Jika kita melihat data dayah yang dipublikasikan oleh Disdik Dayah tahun 2018, tercatat jumlah dayah mencapai 1.136 unit. Jumlah tersebut tersebar hingga ke pelosok kampung.
Banyaknya dayah tersebut membuat lulusan kian banyak, bahkan banyak di antara mereka yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi ternama, baik di dalam maupun luar negeri.
Dukungan terhadap kegiatan kedayahan mendapat perhatian serius pemerintah Aceh, sejak tahun 2008. Pada kurun waktu 2018-2021 beberapa kegiatan pemerintah Aceh yang fokus pada penguatan kelembagaan dan peningkatan sumber dayanya sebagian kegiatan dapat dirasakan oleh kalangan dayah dan penguatan tersebut terus dapat terlaksana, apalagi pada tahun 2019, pemerintah telah melahirkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Regulasi tersebut merupakan sebuah sejarah baru dan bentuk pengakuan negara terhadap pesantren atau dayah. Dan jauh sebelumnya Pemerintah Aceh pada tahun 2008 telah membentuk Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah yang kemudian di ubah menjadi Dinas Pendidikan Dayah Aceh melalui Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Aceh sebagai dasar pembentukan Disdik Dayah Aceh.
Selanjutnya, Pemerintah Aceh juga menetapkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah. Kedua Qanun itu merupakan bentuk perhatian serius pemerintah Aceh terhadap penyelenggaraan pendidikan dayah.
Disdik Dayah Aceh diberikan wewenang untuk melakukan pembinaan secara komprehensif. Mulai dari manajemen, kurikulum, tenaga kependidikan atau teungku-teungku dayah, sarana dan prasarana hingga para santri. Sehingga layaklah jika kita semua mendukung secara penuh kebijakan pemerintah Aceh terkait penyelenggaraan pendidikan dayah.
MQK kedua dan koneksitas dengan nasional
Kegiatan MQK ke-2 tahun 2021 yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendidikan Dayah Aceh telah mendapat apresiasi oleh sebagian besar kabupaten/kota, hal ini terlihat dari pelaksanaan MQK tingkat kabupaten/kota untuk menjaring santri-santri terbaiknya untuk hadir dan menunjukan kemampuan membaca dan memahami kitab kuning di level provinsi.
Di beberapa ruas jalan Banda Aceh, terlihat baleho tentang akan dilaksanakannya MQK kedua dan semoga ini menjadi ajang sangat berguna tentunya memberikan dampak yang cukup luas, khususnya di kalangan dayah.
Dukungan bupati/wali kota se-Aceh juga sangat penting agar kafilah yang hadir ke Banda Aceh mendapat dukungan penuh pemerintahan kabupaten/kota di Aceh.
Penulis menarik melihat kegiatan MQK ini karena secara bertingkat kegiatan ini sudah hadir, khusus secara nasional kegiatan MQK rutin dilaksanakan, tetapi bedanya di bawah bendera Kementerian Agama RI.
Kalau kita melihat sejarahnya, MQK Nasioanl itu hadir dari inisiasi oleh sejumlah kiai pesantren dan dimotori KH Said Aqil Munawwar yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama. Tujuannya sebagai olimpiade kaum santri dan juga upaya memasyaratkan kitab kuning kepada masyarakat umum sebagai khazanah keilmuan yang harus dijaga dan dipelihara dan dikembangkan.
Maka, sudah selayaknya santri-santri peraih nilai terbaik di MQK ke-2 Aceh ini, merekalah yang nantinya dibawa oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh untuk mengikuti MQK tingkat nasional.
Agar kegiatan MQK ke depan semakin terstruktur rapi sebagaimana kegiatan MTQ, tentunya butuh koordinasi yang baik antara lintas instansi.
Akhirnya penulis menyampaikan selamat dan sukses kepada seluruh santri yang telah diberikan kesempatan untuk menunjukkan kemampuanya di MQK ke-2 Aceh Tahun 2021.
Wallahualam bisawab. []
*Penulis Adalah Magister Ilmu Sejarah Tamaddun Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh