Mengenal Lebih Dekat Rancangan Qanun Grand Design Syariat Islam di Aceh

waktu baca 7 menit
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Zahrol Fajri SAg MH. [Dok. istimewa]

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Pemerintah Aceh akan menggodok Rancangan Qanun Aceh (Raqan) tentang Grand Design Syariat Islam. Raqan GDSI ini merupakan salah satu dari 19 Raqan lainnya yang masuk ke dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) Prioritas 2024.

Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, Zahrol Fajri mengatakan, Raqan tentang Grand Design Syariat Islam akan berisi peta jalan pelaksanaan syariat Islam untuk menjadi pedoman dan acuan bagi pemerintah dan masyarakat.

Zahrol Fajri menjelaskan, GDSI diperlukan mengingat syariat Islam sebagai tuntutan agama yang bersifat menyeluruh dan mencakup semua aspek kehidupan.

Karenanya, kata dia, pelaksanaan syariat Islam merupakan kegiatan terpadu yang melibatkan semua pihak, baik jajaran kedinasan, badan, instansi maupun masyarakat luas.

“Pelaksanaan syariat Islam bukan kegiatan sektoral yang hanya diurus oleh dinas atau instansi tertentu saja. Koordinasi, konsultasi dan singkronisasi antar instansi untuk menyamakan persepsi dan langkah, bahkan kalau perlu untuk menentukan koordinator (top leader) untuk suatu program tertentu merupakan sesuatu yang mutlak,” kata Zahrol Fajri, Banda Aceh, Rabu (27/3/2024).

banner 72x960

Lebih spesifik, Zahrol Fajri menjelaskan bahwa kebijakan pelaksanaan syariat Islam tidak hanya bertumpu pada Dinas Syariat Islam, tetapi bidang-bidang tertentu harus dikerjakan dinas atau badan lainnya agar perjalanan syariat Islam di Aceh dapat berjalan dengan maksimal.

“Dengan demikian, Raqan GDSI diharapkan sebagai pedoman Pembangunan Aceh berbasis syariah di semua lini kehidupan masyarakat, dan akan dikerjakan semua pihak sesuai dengan tupoksi masing-masing,” ungkapnya.

Kepala Dinas Syariat Islam Aceh itu menjelaskan bahwa Raqan GDSI akan mengatur prinsip-prinsip atau nilai syariat Islam pada semua bidang pembangunan seperti hukum, pendidikan, sosial, lingkungan, tata kelola pemerintahan, olahraga, ekonomi dan sebagainya akan digali berdasarkan dalil-dalil Alquran, hadits, fiqih, mazhab dan realitas sosial.

“Dalam GDSI ini nantinya tidak menyusun kebijakan, program dan kegiatan setiap instansi pemerintah, tetapi menyusun prinsip dan nilai syariat Islam, indikator dan alat ukur kinerja serta target,” jelasnya.

Peta Jalan GDSI di Aceh

Pelaksanaan GDSI akan dikerjakan selama 20 tahun dari tahun 2025 sampai dengan 2045, disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA).

Secara subtansi, GDSI akan berisi tentang executive summary, materi, dan tabel pedoman pelaksanaan. Executive summary adalah ringkasan materi dari GDSI, sedangkan materi adalah tahapan, kebijakan, sasaran, strategi indikator, dan evaluasi.

Pembangunan Aceh berbasis syariah terhadap semua  bidang dilakukan selama 4 tahap, tahap I dari tahun 2025 sampai dengan tahun 2030, tahap II dari tahun 2030 sampai dengan tahun 2035, tahap III dari tahun 2035 sampai dengan tahun 2040, dan tahun 2040 sampai dengan 2045.

Tahap pertama, usaha perubahan paradigma di dalam masyarakat, aparatur dan masyarakat internasional tentang makna pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dapat dikatakan fase ini adalah fase penanaman kembali makna syariat Islam di Aceh kepada semua pihak agar dapat disepakati bahwa pelaksanaan syariat Islam sebenarnya adalah pelaksanaan Dín al-Islám itu sendiri.

Sejauh ini tingkat keberhasilan pelaksanaan syariat Islam cenderung diukur pada tingkat pelanggaran yang dapat diselesaikan melalui hukum cambuk. Karena itu, isu pelaksanaan syariat Islam di level internasional cenderung dipandang sebagai upaya radikalisasi atau talibanisasi di Aceh.

Tahap kedua, secara garis besar memasuki fase di mana setiap jiwa, pikiran, dan tingkah laku orang Aceh harus berlandaskan Islam. Adapun motto yang akan disosialisasikan adalah “Syari’at Islam is inside of heart and mind, while Dín al-Islám out side of body of Acehnese”. Setelah melewati fase kulturalisasi syariat Islam pada tahap sebelumnya, maka tahap berikutnya adalah syariat Islam diwujudkan di dalam budaya masyarakat Aceh.

Dinul Islam menjadi inti kehidupan rakyat Aceh di dalam semua bidang. Dín al-Islám ditransformasi menjadi proses simbol, identitas, ritual kehidupan, multikultural, dan lain sebagainya. Akhirnya, pada tahapan kedua ini, wujud Dín al-Islám nantinya akan dipindahkan wacananya sebagai pola “ilmu baru” di dalam masyarakat. Dín al-Islám  sebagai sistem religi masyarakat Aceh, sistem spiritual, sistem pemikiran, sistem pendidikan, dan sistem ketahanan masyarakat.

Tahap ketiga, dalam fase ini, Aceh diprediksi berdiri kokoh di bawah Dín al-Islám. Generasi baru Aceh yang telah disiapkan akan membangun Aceh yang berdasarkan pada syariat Islam sebagai semangat masyarakat. Tahapan ketiga ini berusaha untuk merealisasikan masyarakat Aceh sebagai model masyarakat yang telah sampai pada kondisi negeri yang ber- Dín al-Islám.

Di mana dalam fase ini, tumbuhnya ekonomi yang mapan, terutama mereka yang memiliki keahlian dan mampu memanfaatkan peluang usaha, karena hubungan antara manusia sudah terkoneksi secara global.

Kemudian, harapan hidup masyarakat Aceh lebih panjang. Hal ini perlu dipikirkan agar proses kesinambungan antar generasi berlangsung dengan baik. Selanjutnya, pola keagamaan masyarakat Aceh berlandaskan pada ideologi Dín al-Islám.

Pola kehidupan ini sebenarnya bukan ingin melawan pandangan yang mengatakan Islam sebagai ancaman global, tetapi untuk menampakkan bahwa Aceh mampu menerapkan ideologi Islam tanpa harus melakukan kekerasan.

Ideologi Dín al-Islám bukan juga ingin menghadang ideologi kebangsaan, namun ideologi ini adalah untuk menjadi benteng pertahanan di dalam sistem kebudayaan dan sistem pertahanan bangsa.

Dalam fase ini juga, falsafah dan paradigma masyarakat selalu mengedepankan Dín al-Islám. Maksudnya adalah pola pengambilan dasar pijakan mengenai konsep-konsep arah pembangunan di Aceh harus memikirkan kerangka berpikir sebagaimana telah ditumbuhkan pada tahapan pertama.

Dengan begitu, ketika sistem berpikir masyarakat sudah berlandaskan Dín al-Islám, maka masyarakat luar Aceh, baik nasional maupun internasional yang datang ke Aceh akan melihat rakyat, ruang dan tata kelola pemerintah yang sudah dijiwai oleh spirit Islam.

Tahap keempat, fase di mana Syari’at yang di bawah Dín al-Islám (DI) sudah menjadi protokol dalam masyarakat Aceh, yang akan berhadapan dengan perubahan masyarakat, yang kendalinya bukan lagi pemerintah. Konsep pendidikan yang berbasiskan Dîn al-Islam di dalam era digital state.

Dengan adanya perubahan masyarakat yang serba terkoneksi secara elektronik atau internet, maka konsep pendidikan yang Islami juga perlu dicari secara holistik. Konsep kewilayahan Aceh yang akan telah mengalami re-grouping dan rebalancing untuk bisa bertahan di bawah karakter ke-Aceh-an. Konsep pembangunan yang mengamankan “norma, etika, dan nilai” di dalam masyarakat Aceh dalam era keberkurangan fungsi manusia yang digantikan oleh mesin atau ICT.

Pemkab Tak Dibenarkan Bikin Aturan Syariah Sendiri

Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Zahrol Fajri mengatakan, persoalan hukum adalah bagian kecil dari  sejumlah bidang pembangunan yang dilakukan di Aceh. Itu pun, dalam hukum Islam harus dilakukan pemilahan, mana hukum yang perlu diatur dan tidak diatur oleh negara.

Ia menjelaskan, hukum Islam yang membutuhkan kekuasaan negara, seperti perkawinan, waris, wakaf, perdata, pidana, perekonomian, perdagangan, perbankan, hubungan antara negara, dan kesehatan dan lain-lain. Hukum Islam yang tidak membutuhkan kekuasaan negara, misalnya adalah hukum yang berhubungan dengan adat sopan santun dan ibadat murni seperti shalat dan puasa.

Sedangkan hukum Islam dapat dilaksanakan dengan atau  tanpa  kekuasaan negara, misalnya adalah hukum mengenai zakat dan haji. Di masa lalu, tanpa campur tangan kekuasaan negara, ibadah zakat dan haji masih dapat dilaksanakan oleh masyarakat muslim, sekalipun tidak begitu efektif.

Hukum Islam yang akan dijadikan regulasi atau peraturan perundang-undangan di Aceh dalam bentuk Qanun merupakan kebijakan pelaksanaan urusan pemerintahan bidang syariat Islam yang sepenuhnya diselenggarakan Pemerintahan Aceh, bukan urusan pemerintahan kabupaten/kota.

“Dengan demikian, tidak dibenarkan pemerintahan kabupaten/kota menyusun regulasi yang menyangkut pemidanaan baru tentang pelaksanaan syariat Islam yang belum diatur oleh Pemerintahan Aceh, apalagi menyusun regulasi syariat Islam yang bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan Pemerintahan Aceh dalam Qanun Aceh dan Pergub Aceh dan kebijakan lainnya,” ujar Zahrol Fajri.

Kemudian, kaitannya dengan regulasi tentang busana Islami, sebagaimana yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, merupakan kebijakan Pemerintahan Aceh yang tidak boleh disalahtafsirkan dalam menindak lanjutinya di lapangan baik penindakan maupun memperkuatnya dengan regulasi sebagai kebijakan pemerintahan kabupaten/kota.

Kata dia, persoalan busana Islami sangat fleksibel dan luwes diatur, karena hanya membatasi pakaian yang menutup aurat tidak ketat dan tembus pandang. Sehingga, dengan prinsip ini terbuka kemungkinan ulama berbeda pendapat tentang batas aurat.

“Di sini juga tidak berbicara tentang style atau model apa yang digunakan, tergantung kondisi dan situasi pemakai. Terkesan saat ini, penampilan dan penggunaan busana Islami, dengan fashion shownya terlalu bermewah-mewahan dan menunjukkan kesombongan. Seharusnya, perlu didesain bagaimana pakaian sederhana yang digunakan dalam situasi yang berbeda, termasuk pakaian ke sawah,” pungkasnya. (Akhyar)

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. HAFTAR,S.PD M.PD

    Sebaiknya juga peta jalan penerapan syariat Islam ini juga memberikan rasa keadilan bagi masyarakat Aceh dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Misalnya bagaimana pemerintah meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan modal usaha sehingga masyarakat tidak terjebak pada PINJOL. Demikian juga perlu dirumuskan system’ pendidikan Aceh yang mampu mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal Aceh yang bersumber dari kejayaan masa lalu Aceh dan nilai-nilai kekinian. Agar penerapan syariat Islam di Aceh menjadi wajah peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh dan membentengi rakyat Aceh dari pengaruh negatif berbagai aliran yang berkembang di tengah masyarakat.

    Balas
Sudah ditampilkan semua