Mengejar Setoran Lantik Pejabat

Pelantikan. (Ilustrasi)

Penulis: Darmansyah

banner 72x960

“Benar juga ya kritik Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng,IPU Asean.Eng  itu. Ya, itu lho, Samsul Rizal yang Rektor Unsyiah, ah salah lagi, USK. Dan Samsul Rizal yang akan menambah idiom untuk sebutan baru di pangkal namanya dengan mantan.

Mantan yang ditabalkan, baik secara oral maupun penulisan, ketika ia harus hengkang dari posisinya sebagai rektor di akhir Februari nanti.  Hengkang baik-baik saja. Maklum udah dua periode.

Untuk kritiknya tentang Aceh miskin, pembangunan yang dibengkalaikan, dana Silpa, setumpuk darurat disertai kerjaan TAPA yang tak becus, semuanya bisa  saya maklumi. Memaklumi untuk jadi kajian.

Namun begitu, ada satu kritik yang sejak kemarin nyungsep di otak saya. Pak Samsul  ee-ee pak rektor, belum mantan ya, menyelipkan kritik lainnya dengan canda. Kritik yang relevan dengan kejadian hari-hari ini. Kritik tentang kerjaan pejabat yang macam senam salsa yang sering ganti gerak. Gonta-ganti pejabat eselon.

Yang oleh Pak Rektor disentil dengan kalimat, ”ibarat orang menyapu. Setelah bersih di depan, lalu kotor kembali ke bagian belakang dan balik lagi ke depan.”

Untung saja analog Pak Rektor menyangkut ruang yang kotor yang disapu tak pernah bersih.  Kalau analog saya mungkin lebih miring lagi. Yang kotor itu, mungkin bukan ruangnya, tapi…..

Silakan masukkan kata apa pun di ttik-titik itu. Sebab Andalah yang paling tahu.

Sebelum menulis naskah ini saya digoda oleh naluri seorang jurnalis untuk menyapa, Ber-”say hello” dengan  Pak Rektor yang USK ini. Bertegur sapa untuk canda topik tentang teknik menyapu  ruang yang kotor.

Sapaan ingin belajar teknik menyapu.

Kan dia orang teknik. So pasti tahulah cara membersihkan ruang yang kotor.

Untuk mendapat ruang  “say hello” ini saya mengulik nomor hape seorang rektor yang lain. Saya tak ingin menyebut nama sang rektor lain itu karena nggak mau menyeretnya ke belangong kritik ini.

Bagitu saya akses nomornya,  rektor yang lain itu dengan sigap menjawab, ”siap bang.” Ia memanggil abang ke saya karena selisih umur. Bukan selisih ilmu.

Dan dalam hitungan detik nomor kontak  itu sudah mampir di telapak tangan saya.

Sebenarnya saya nggak perlu harus mencari mediator untuk mendapatkan nomor kontak ke Pak Rektor USK. Rumahnya cuma sepelemparan dari  hunian saya. Cuma beda gampong, beda jalan dan beda titik-titiklah. Mungkin juga beda status.

Tiga kali saya kontak beliau. Pertama ada nada sambung tapi menguap. Untuk kedua dan ketiga hanya kedengaran bunyi tut..tut..tut yang dibarengi peringatan.

Tiga kali cukuplah. Ngapain ngotot kali.

Kan Pak Rektor udah men-”share” apa yang terjadi di pemerintahan hari-hari ini. Hari-hari ketika setoran pelantikan pejabat belum lagi lunas terbayar.

Tidak di provinsi juga tidak di tingkat kabupaten dan kota.  Semuanya seperti satu kata kejar setoran pelantikan. Padahal Anda tahu, sang pejabat yang menurunkan tekenan es-ka itu tinggal menghitung bulan untuk “soh.” Untuk “wobaksot.”

Anda mungkin tergelak kecut sambil mendehem sinis ketika membuktikan benar tidaknya apa yang saya tulis ini.

Kulik saja google Anda.  Tuliskan kata kuncinya dan media online  akan memuncratkan ragam judul  pelantikan pejabat ini. Jangan alpa untuk mencatat berapa kali di hari-hari terakhir ini  Gubernur Nova tegak sembari mendikte janji, entah itu sumpah, untuk menjadi koor oleh mereka yang berdiri di depannya.

Tentu, tidak hanya Gubernur Nova  seorang yang menyapu lantai pejabat eselon di lingkungan sekretariat pemerintahan provinsi Aceh itu. Masih ada Wali Kota Banda Aceh yang ketiban latah.

Gubernur Nova memang menyapu eselon dua dan tiga di lingkungan sekretariat daerah. Dari asisten sekretaris daerah hingga kepala biro.

Tidak cukup itu.  Kepala bidang dan subbiro juga jadi sasaran bersih-bersihnya. Entah bersih apa kita nggak tahulah ukurannya. Sebab njelimet. Menyangkut masa kerja, kepangkatan atau apalah.

Beda dengan “sapu”-an Nova. Gaya  sapuan Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman lebih “keren” lagi. Usai mencomot sepuluh kepala dinas atau badan yang setingkat  ia langsung bongkar pasang kepala bidang, kepala seksi, dan subbidang.

Jumlah pejabat yang dilantik Aminullah seabrek. Banyaknya seperti suporter sepakbola saja yang kalau dihimpun bisa mengisi seat beberapa bis.

“Sapuan” gonta ganti pejabat gaya Aminullah itu, seperti yang disampaikan oleh seorang pejabat yang tergusur kepada saya, khusus untuk sepuluh kepala dinas,  ternyata tidak tuntas.

Tidak definitif. Masih nyungsep pada kata pejabat pelaksana tugas. Istilah kerennya pe-el-te.

Gaya ini ada risikonya. Bila dua bulan belum keluar es-ka definitifnya pejabat lama yang kini mengisi bangku panjang bisa balik gagang. Artinya bisa langsung kembali ke posisi jabatan semula.

“Kami sudah satu bulan nonjob, Pak,” kata si mantan pejabat itu kepada saya.  Dari sebuah sumber lain saya mendapat info usulan Aminullah ke atasnya belum mendapat persetujuan.

Wuah… bahaya ini, Pak Amin.

Terlepas dari kata bahaya, cara yang ditempuh oleh para petinggi di Aceh ini bisa membuncah tanya orang banyak. Tanya  tentang “udang di balik ka-ka-en.”  Anda tahukan apa itu “ka-ka-en” Nggak perlu diceramahi-lah.

Jangan dulu berprasangka sampai kepada setorannya. Setoran yang baru menggilas Wali Kota Bekasi Rachmat Effendi. Yang digiring “kapeka” sebagai pesakitan dengan baju merah jambu.

Wali Kota yang terima setoran dari tender proyek infrastruktur dan  lelang jabatan.

Maklumlah tingkat tender sekarang tidak hanya berada dalam lingkar fisik infrastruktur. Tapi juga sudah merambah ke tender jabatan yang ujung-ujungnya setoran dari fee proyek kegiatan yang anggarannya sulit dihitung “break event point”-nya.

Proyek yang nggak kasatmata dan tidak perlu balik modal.

Tulisan ini tidak ingin menggiring pembaca untuk menuding bahwa penggantian pejabat di lingkungan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh sudah sengkarut dengan lelang jabatan.

Tulisan ini ingin mengingatkan kita tentang sikap tawaduk seorang pemimpin yang amanah. Pemimpin yang sedang berada di ujung jalan pengabdian untuk ikhlas menatap jalan pulangnya.

Jalan pulang yang tidak meninggalkan tanya dan keriuhan tempik sorak serta umpatan bernada caci maki.

Ah… sudahlah. Ini kan bukan kuliah subuh seorang ustaz.[]

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *