Kriteria Calon Gubernur Versi ICMI Aceh: Jangan Pilih Koruptor!

waktu baca 6 menit
Ketua MPW ICMI Aceh, Dr Taqwaddin. [Foto: Istimewa]

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Ketua Majelis Pengurus Wilayah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Aceh, Dr Taqwaddin mengungkapkan lima kriteria Calon Gubernur Aceh versi ajaran Islam dan empat kriteria versi adat dan budaya Aceh.

Taqwaddin mengatakan, kriteria pertama calon Gubernur Aceh ialah jujur. Pemimpin yang jujur akan selalu melaksanakan apa saja yang telah diucapkannya atau yang dijanjikan.

“Kejujuran penting sekali dalam menjalankan roda pemerintahan. Tanpa kejujuran pemimpin, pemerintahan akan berantakan dan rakyat akan makin jauh dari kesejahteraan,” kata Dr Taqwaddin, Banda Aceh, Rabu (24/4/2024).

Menurut Taqwaddin, untuk mendapatkan calon gubernur yang jujur diperlukan penelusuran rekam jejak dalam kapasitasnya sebagai apapun yang pernah diemban oleh sosok yang dimaksud.

“Jangan memilih pemimpin seperti membeli ayam dalam karung tertutup, tidak jelas ayam itu sehat atau ayam sawan, burek ataupun hitam,” tutur Taqwaddin.

banner 72x960

Kriteria kedua, menurut Taqwaddin, orangnya harus amanah dan dapat dipercaya. Jangan sekali-kali memilih pemimpin yang tidak dapat dipercaya, tidak amanah dan curang. Apalagi pernah terlibat dalam kasus pidana korupsi.

Menurut Taqwaddin, amanah dan dapat dipercaya penting untuk dipertimbangkan karena Gubernur Aceh akan menentukan arah perjalanan pembangunan daerah. Seorang gubernur akan menguasai dan mengelola anggaran yang cukup besar untuk kemaslahatan rakyat.

“Jika pemimpin tidak amanah, akibatnya akan menimbulkan kemiskinan rakyat, kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah, UMKM tidak berkembang, dan banyak kemorosotan lainnya karena dana besar yang seharusnya diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat justru diselewengkan untuk kepentingan kroni-kroninya,” ungkapnya.

Namun, tambah Taqwaddin, jika gubernur terpilih adalah sosok yang amanah dan dapat dipercaya, maka keserakahan pejabat di bawahnya dapat dicegah dan dihentikan.

Kriteria ketiga, jelas Taqwaddin, gubernur yang ideal untuk Aceh merupakan orang yang cerdas dan berkualitas. Menurut Taqwaddin, cerdas di sini tidak diartikan harus bergelar profesor atau doktor, tetapi jangan juga yang tamatan SMA atau yang tidak jelas jejak pendidikannya, minimal sarjana saja sudah cukup.

“Mengingat masyarakat dan penduduk Aceh yang plural, terdiri dari banyak suku, maka diperlukan gubernur yang cerdas dan berwawasan luas. Kita perlu gubernur yang tangguh dan berani, yang dapat mengayomi, bukan hanya suku Aceh tetapi juga memahami dan mengayomi pula suku Gayo, Alas, Jamee, Taming, Kluet dan sebagainya,” ucap Taqwaddin.

Tak berhenti hingga di situ, menurut Taqwaddin, sosok gubernur yang cerdas berkualitas juga harus harmoni dengan pemimpin dan elit-elit nasional dan berani memperjuangkan hak-hak pembangunan untuk kepentingan daerah Aceh.

Hal ini, kata Taqwaddin, penting dilakukan dalam rangka menjemput Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) untuk mempercepat pembangunan Aceh yang tertinggal dari banyak provinsi lain di Indonesia.

Taqwaddin menambahkan, Aceh harus berupaya keras untuk keluar dari daerah termiskin, stunting, pengangguran terbanyak, pertumbuhan ekonomi rendah, pertumbuhan investasi yang tidak signifikan, serta UMKM yang kurang tumbuh berkembang.

“Banyak hal yang harus dilakukan secara cepat, tetap, taktis dan strategis oleh Gubernur Aceh. Karenanya diperlukan seorang gubernur yang cerdas berkualitas dan luar biasa,” ungkapnya.

Kriteria keempat, menurut Taqwaddin, sosok Gubernur Aceh harus orang yang bisa menyampaikan ide gagasan dan buah pikirannya secara sederhana dan sistematis.

“Dalam versi Islam, hal ini dikenal dengan tabligh. Kita merindukan sosok Ibrahim Hasan yang cerdas berkualitas dan dapat menyampaikan gagasannya secara sederhana dengan bahasa yang mudah dipahami rakyat. Tidak itu saja, Almarhum Pak Ibrahim Hasan juga memiliki jaringan yang luas dengan elit nasional. Sehingga kemajuan pembangunan begitu terasa saat beliau memimpin Aceh,” ungkap Ketua MPW ICMI Aceh itu.

Kreteria kelima, menurut Taqwaddin, sosok Gubernur Aceh harus memiliki sifat tawadhu, tidak sombong dan rendah hati, tidak arogan dan tidak mentang-mentang. Budi bahasanya lembut dan perangainya menyejukkan.

“Kita perlu gubernur yang mendengarkan aspirasi rakyat. Kita butuh gubernur yang peduli dan memberi solusi cepat terhadap kesulitan rakyat. Kita merindukan gubernur yang gaul dan komunikasinya bagus dengan semua kalangan,” tutur Taqwaddin.

Versi Adat dan Budaya

Selain lima kriteria ideal Calon Gubenur Aceh berdasarkan ajaran Islam, Ketua MPW ICMI Aceh itu juga menambahkan empat kriteria pemimpin berdasarkan adat budaya Aceh, yaitu yang tuha, tuho, teupeu, dan teupat.

Tuha dimaksudkan dewasa secara usia dan cara berpikirnya. Hal ini penting karena kematangan usia atau kedewasaan diperlukan untuk mampu melahirkan kebijakan publik yang arif bijaksana dan bermanfaat bagi khalayak ramai, bukan kebijakan yang hanya menguntungkan kroninya saja.

Selain tuha, dalam budaya Aceh diperlukan pula pemimpin yang tuho. Maksudnya yang tahu apa dan dimana akar permasalahan yang terjadi dalam masyarakatnya.

Sehingga, jika Aceh dipimpim oleh orang luar maka dia hana di tuho saho, dia tidak tahu esensi problematika yang sedang terjadi dalam masyarakat Aceh.

Akibatnya terapi dan solusi yang kebijakan yang ditempuh menjadi tidak nyambung dan bahkan kontra produktif dalam menyelesaikan permasalahan.

Hal lain yang diperlukan untuk menjadi pemimpin di Aceh adalah teupeu. Ini maksudnya pemimpin harus mengetahui segala hal yang terjadi dalam masyarakat dan pemerintahannya.

Menurut Taqwaddin, akan terasa aneh misalnya pupuk sudah langka, petani sudah kewalahan karena sedang musim tanam, tapi gubernur tidak tahu masalah ini. Begitu juga, misalnya, gubernur tidak tahu bahwa harga-harga kebutuhan dapur sudah meroket. Harga bawang dan cabe sudah meninggi sehingga ibu-ibu menjadi kewalahan.

“Tetapi gubernur malah gubernur tidak tahu. Tidak boleh seperti ini. Makanya salah satu kriteria untuk menjadi pemimpin di Aceh harus teupeu dan peduli. Gubernur Aceh harus memiliki banyak mata untuk melihat dan banyak telinga untuk mendengarkan keluhan rakyat,” ungkap Taqwaddin.

Kriteria lainnya adalah teupat. Ini sama artinya dengan jujur, amanah, dan dapat dipercaya. Orang yang teupat akan selalu berkata benar, tidak bohong dan tidak akan ingkar janji.

“Kita akui tidak mudah mencari orang teupat saat ini. Namun demikian, kita harus berupaya keras menemukan dan memilihnya,” tutur Taqwaddin.

Taqwaddin menambahkan, apabila kesembilan kriteria yang telah dijabarkan tadi terpenuhi, baru di tambah dengan kriteria kesepuluh, yaitu kriteria politik praktis.

Kriteria politik praktis, menurut Taqwaddin, meliputi antara lain adanya dukungan partai politik yang memenuhi syarat parlemen threshold atau syarat lainnya.

Calon gubernur yang diusung memiliki popularitas yaitu dikenal luas oleh konstituen serta adanya potensi elektabilitas yang memadai, yaitu akan dipilih oleh warga masyarakat yang berhak memilih.

“Perlu saya sampaikan bahwa tingginya popularitas tidak serta merta menujukkan tingginya elektabilitas. Pernah ada seorang rektor yang populer dari universitas terbesar di daerah kita, namun saat maju sebagai calon gubernur elektabilitasnya rendah sekali,” jelasnya.

Untuk bisa mencapai elektabilitas yang tinggi, kata Taqwaddin, diperlukan mesin politik yang running well atau berjalan lancar yang disertai dengan dukungan personalia dan anggaran yang memadai.

Kata Taqwaddin, harus diakui bahwa cost politik akhir-akhir ini memang sangat tinggi, sehingga diperlukan kolaborasi  berbagai partai untuk menalanginya.

“Mengakhiri catatan ini, perlu pula saya sampaikan bahwa  sebagai organisasi besar yang menghimpun ratusan cendekiawan, saya yakin figur-figur yang memenuhi kriteria di atas ada di dalam tubuh ICMI. Silakan saja partai-partai politik melirik dan meminangnya,” tutup Taqwaddin. (Akhyar)

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *