Kisruh Lahan PT Desa Jaya Berlanjut, Warga Tagih Sikap Bupati
Theacehpost.com | ACEH TAMIANG – Sengkarut lahan antara PT Desa Jaya dengan warga di sekitarnya belum juga menemui titik terang. Baru-baru ini, warga menuding perusahaan melanggar kesepakatan secara sepihak, lantaran memutuskan untuk tetap melanjutkan aktivitasnya.
Sebelumnya, diketahui pada Senin 21 Februari 2022, masyarakat dari enam kampung menggelar aksi protes terhadap PT Desa Jaya yang tetap memanen Tandan Buah Segar (TBS) di lahan mereka.
“Dalam aksi ini hampir terjadi hal yang tidak diinginkan, namun dapat dilerai oleh datok penghulu (kepala desa),” kata Armiadi, warga.
Baca juga: Sengkarut Lahan Eks HGU PT Desa Jaya, Praktik Mafia Tanah?
Selang sehari, pihak perusahaan mengajak perwakilan masyarakat dan unsur Muspika untuk rapat mencari jalan tengah atas kisruh tersebut, Rabu 23 Februari 2022.
Di selembar perjanjian, kedua pihak sepakat bahwa pihak PT Desa tidak lagi melakukan aktivitas apa pun di area lahan yang masih berada dalam sengketa.
Kesepakatan ini pun ditandatangani oleh enam datok penghulu, Camat Bandar Pusaka, perwakilan masyarakat dan konsultan perusahaan, disaksikan Danpos Polsek Bandar Pusaka serta pihak keamanan PT Desa Jaya.
Namun kabar terbaru, PT Desa Jaya disebut-sebut telah membatalkan secara sepihak kesepakatan ini. Konsultan perusahaan yang hadir pada pertemuan tempo lalu, belakangan mengaku telah diintimidasi sehingga terpaksa memaraf surat perjanjian itu.
“Alasannya, pihak perusahaan saat menandatangani perjanjian mengalami tekanan psikis yakni terintimidasi dan takut dipersekusi,” bebernya.
Ironis, tak lama setelah pembatalan itu, PT Desa Jaya bersama kuasa hukumnya melayangkan somasi terhadap seorang warga dan datok penghulu.
“Pengacara mereka memanggil warga dan datok penghulu untuk dimintai keterangan di Medan, Sumatera Utara. Jelas kan, siapa sebenarnya yang mengancam sekarang?” ujar Armiadi.
Dengan pembatalan itu juga, pihak perusahaan sejak Rabu, 2 Maret lalu kembali memanen TBS. Warga pun berang. Mereka mendatangi kebun lalu menyita hasil panen itu. Tindakan itu mereka ambil sampai ada kejelasan soal status lahan eks HGU tersebut.
Secara terpisah, Theacehpost.com telah berupaya untuk mengonfirmasi Direktur PT Desa Jaya, Tgk Devani Putra Pasla, namun tak ditanggapi. Media ini lalu menghubungi Komisaris PT Desa Jaya, T Yusni pada Rabu lalu.
Yusni menegaskan, perusahannya kembali beraktivitas karena yakin telah mengantongi izin. “Kita punya Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari gubernur,” kata dia.
Perihal izin HGU, Yusni mengaku sedang dalam proses pengurusan. Yang jelas, kata dia saat ini PT Desa Jaya mengelola lahan dengan luas 700-an hektare.
“Ini lagi proses pengurusan HGU sampai ke Jakarta, IUP sudah ada, pajak kita bayar, PBB kita bayar,” ujarnya.
Kepala BPN Aceh Tamiang, Ramli juga menanggapi singkat saat dikonfirmasi, Jumat 4 Maret 2022.
“Tim dari Kanwil BPN Aceh sudah turun bulan Februari 2022 lalu, saya tidak ingat tanggalnya, sekarang saya ada di Banda Aceh,” jawab Ramli.
“Bupati Mursil Jangan Diam Saja”
Dalam kesempatan yang sama, Theacehpost.com juga telah menghubungi Bupati Aceh Tamiang, H Mursil, namun belum ditanggapi.
Warga di sekitar perusahaan telah berulang kali menagih sikap bupati terkait responsnya terhadap Surat Gubernur Aceh Nomor 590/1850 pada 10 Februari 2022.
Surat itu mengulas soal penyelesaian masalah penguasaan tanah negara eks HGU PT Desa Jaya, yang sejak lama menuai konflik dengan masyarakat di enam kampung dalam Kecamatan Bandar Pusaka.
Dalam suratnya, Gubernur Aceh menegaskan eks HGU PT Desa Jaya seluas 1.000 hektare sudah berakhir pada tahun 1988 silam.
Mengingat masalah ini berada dalam ruang lingkup Pemkab Aceh Tamiang, kata gubernur, maka penyelesaiannya menjadi kewenangan dan tanggung jawab bupati sepenuhnya.
“Untuk itu Pemerintah Aceh mengharapkan pemerintah daerah menindaklanjuti penyelesaiannya dengan melakukan koordiasi dengan pihak terkait,” demikian bunyi surat itu.
Armiadi mengatakan, kisruh antara warga dan perusahaan seharusnya tidak perlu terjadi jika Pemkab Aceh Tamiang meresponsnya dengan serius.
“Padahal, cukup mengacu pada surat gubernur dan bupati pada 2007 silam, jelas bahwa perusahaan tidak boleh melakukan aktivitas di atas lahan tersebut, guna menghindari salah tafsir di lapangan dengan masyarakat. Mengingat lahan tersebut bukan lagi perusahaan pengelolanya,” pungkasnya. []