Ibu-ibu Banda Aceh Persembahkan Apam Terbaik, Farid: Filosofinya Sangat Mendalam

waktu baca 4 menit
Apam yang dihasilkan melalui Festival Tet Apam di Banda Aceh, Sabtu, 5 Maret 2022. (Dok Farid Nyak Umar)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Masyarakat Aceh sangat akrab dengan yang namanya kue apam atau serabi. Bahkan dalam kalender Aceh, ada yang namanya ‘buleun apam’ atau bulan Rajab menurut kalender Hijrah. Pada bulan itu aroma apam merebak, karena masyarakat Aceh larut dalam tradisi kenduri apam.

Di Kota Banda Aceh, Sabtu, 5 Maret 2022 digelar Festival Tet Apam atau perlombaan mengolah (memanggang) serabi.

Festival dibuka oleh Ketua DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar di Kompleks Taman Sultanah Safiatuddin, tak jauh dari Kantor Gubernur Aceh.

Menurut laporan, kegiatan itu dilaksanakan Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh bersama Ikatan Mahasiswa Pelajar dan Masyarakat (IMPM) Mutiara Raya, Pidie.

Dalam sambutannya ketika membuka Featival Tet Apam yang dipusatkan di Anjungan Pidie, Taman Sultanah Safiatuddin Banda Aceh, Farid Nyak Umar menjelaskan, makanan khas yang dipanggang di kuali tanah ini hanya bisa ditemukan saat bulan Ramadan dan bulan kenduri apam atau bulan Rajab, menjelang Ramadhan.

banner 72x960

Namun kini, kata Farid, apam bisa ditemui di beberapa gerai makanan dan warung kopi.

Menurutnya, tet apam ini merupakan salah satu budaya yang diwariskan secara turun-menurun dalam masyarakat Aceh. “Tradisi yang sudah sangat mengakar dan mempunyai nilai filosofi yang sangat mendalam, baik dilihat dari perspektif agama maupun sosial budaya,” kata pria yang akrab disapa FNU ini.

FNU berharap agar tradisi tet apam bisa dilestarikan dan diwariskan untuk anak cucu.

Tet apam, lanjut FNU punya makna tersendiri. Pertama, kenduri apam merupakan bentuk syukur atas nikmat yang sudah diberikan Allah Swt dalam setahun terakhir dan sebagai persiapan menyambut Ramadhan.

Kedua, spirit agama. Hal ini jelas terlihat dari kebersamaan dalam proses tet apam, dimulai sejak dari perencanaan, proses, hingga penyajian hasil memasak bersama para keluarga dan tetangga dengan penuh keakraban.

Ketiga, spirit budaya. Bila dikaji rutinitas tahunan peunajoh (kuliner) Aceh yang dilaksanakan pada bulan Rajab dalam kalender Hijriah, nilai dan spirit budaya sangat erat dengan jati diri bangsa.

Keempat, nilai pendidikan. Tentunya bicara bagaimana memandu teknik detail cara menghasilkan kuliner (khususnya apam) yang baik serta lezat untuk dinikmati.

Kelima, nilai ekonomi. Biaya untuk bahan baku dari menu kenduri apam biasanya dikumpulkan masing-masing keluarga (meuripee), kemudahan bahan itu disatukan dan hasil masakan menjadi santapan penyajian bersama (diistilahkan khanduri) dalam suasana penuh pemaafan dan keakraban.

”Kenduri apam bagi orang Aceh sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat dan menjadikannya sebagai momentum untuk silaturahim antarsesama,” kata Farid.

Farid menambahkan ada beberapa filosofi kenduri tet apam. Pertama, mempertahankan tradisi.

Meskipun apam bisa saja dimasak dengan alat masak yang modern, tetapi apam tidak akan terasa nikmat secara cita rasa dan aromanya jika tidak ‘ditet’ secara tradisional. Bisa dikatakan tidak sah disebut apam jika tidak diolah secara tradisional.

”Makna yang terkandung di sini, melalui tet apamlah kita dapat mempertahankan tradisi dan kebiasaan indatu kita, tet apam adalah warisan indatu yang harus dijaga dan dilestarikan,” ujarnya

Filosofi yang dikandung berikutnya adalah kesabaran dan kegigihan.

Tet apam melatih dan membiasakan kita untuk biasa hidup gigih (ulet) dan sabar. Apam dibakar satu per satu, berbeda dengan panganan lainnya yang bisa dimasak sekaligus dalam jumlah banyak.

”Dari cara memasak apam ini, kita belajar akan arti kesabaran dan keuletan, sikap sabar dan gigih adalah kunci sukses dalam kehidupan ini, sering sekali orang gagal dalam hidup dan perjuangan karena tidak mampu bersabar dan tidak gigih (ulet) dalam bekerja/berjuang,” katanya.

Selanjutnya, keseimbangan.

Tet apam harus seimbang antara besarnya api, kecermatan, dan ketepatan waktu. Jika tidak seimbang dan sesuai maka apam akan gosong.

Keseimbangan dalam hidup ini adalah hal utama, bagaimana kita bisa menyeimbangkan hubungan dengan Allah dan dengan manusia, keseimbangan dalam segala urusan, sikap adil dan saling menjaga dan menghargai.

Filosopi lainnya pada tradisi tet apam adalah tidak untuk dimakan sendiri.

Setiap tet apam pada satu rumah, maka sudah barang tentu apam tersebut akan dibagikan pada sanak saudara dan jiran tetangga.

”Tet apam mengajarkan kita untuk berbagi, kesetian, hidup sosial dan peka dengan lingkungan dan sesama. Ingat prinsip tidak ada apam yang dimakan sendirian, bermakna berbagi pada sesama adalah ajaran adat istiadat dan syariat Islam,” tutur Farid.

Seremoni pembukaan Festival Tet Apam di Banda Aceh dihadiri Anggota DPR-RI Nasir Djamil, Anggota DPD-RI M. Fadhil Rahmi, Plt Kepala Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh Muhammad Ridha, Ikatan Mahasiswa Pelajar dan Masyarakat (IMPM) Mutiara Raya Zulmahdi Hasan, Ketua TP PKK Kota Banda Aceh Nurmiati.

Hadir juga Camat Mutiara, Kabupaten Pidie, Saiful Amri bersama Danramil dan tamu undangan lainnya.[]

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *