“He he, Tapi Bukan Reza Kementerian Pariwisata”

Reza Fahlevi. (Foto Nuga.co)

Laporan: Darmansyah

banner 72x960

ASIK juga ngalor-ngidul kami di minggu siang itu. Ngalor-ngidul yang terkadang “out focus” tapi alirannya nggak keluar dari bangunan cerita.  Cerita yang tidak sesat menyesatkan. Atau sengaja menempuh jalan sesat. Juga  bukan cerita yang membuat kami tersesat.

Jalan ceritanya lillahi taala. Nggak ada isian ghibah. Kalau pun ada ngenyeknya  ke samping kiri dan kanan, itupun untuk meluruskan jalan pulang. Untuk  membersihkan  belukar dan menimbun  lubang bagi mendapatkan sadakah jariah.

Tanpa saya kasih tahu apa ngalor-ngidul kami yang asik itu, Anda sebenarnya sudah tahu. Tak perlu menerka seperti mengisi  teka-teki silang masa kita kanak-kanak. Dari judulnya saja tebakan Anda langsung pas.

So pasti tentang pariwisata. Tentang travelege.

Sih, oke. Nggak salah. Tapi nggak benar seratus persen. Ada juga senggolannya. Maklum jalan nggak selamanya lurus. Ada belokan. Jalan tol saja yang lurus macetnya minta ampun.

Cuma, yang mungkin, Anda belum tahu tentang Reza di judul tulisan ini. Yang solah-olah berlagak bukan orang kementerian pariwisata seperti  satu kata, bukan, dalam kop berita.

Jawaban Anda pasti mendehem, hem hem. Nyatanya orang pariwisata, kok.

Kata “kok” ini saya tambah karena ayam jago juga berkok..kokkk..menyambut datangnya pagi.

Nah, kita buka kartu ajalah.

Reza yang ngalor-ngidul dengan saya di  bakda zuhur itu bernama lengkap Reza Pahlevi. Saya nggak ingin menulis gelarnya dan latar belakang pendidikannya. Itu atas permintaannya sendiri.

Ahh.. kan kain selubungnya udah ditarik. Kok nggak dibuka habis aja. Kalau dibuka abis kan telanjang namanya.Telanjang itu kan haram.

Nggak-lah, cuma bercanda.

Nyata sudah. Yang punya nama Reza Pahlevi  memang orang kementerian pariwisata. Seorang direktur di kementerian pimpinan Sandiaga Uno.

Orang menggawangi pengembangan kepariwisataan di Sumatera plus pimpinan proyek restorasi Danau Toba yang anggarannya sulit dihitung nol rupiahnya.

Sebelumnya,Reza ini,  direktur pengembangan pariwisata bagian tengah. Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.

Posisi jabatannya secara persisnya adalah Direktur Event Daerah, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan. Sebelumnya menjabat Direktur Kelembagaan.

Sebelumnya lagi dia pejabat di provinsi sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Dan sebelumnya lagi berkiprah panjang di Kota Banda Aceh dari aparat terbawah, lurah hinggga camat, dan seterusnya.

Dari seluruh perjalanan karirnya, kepada saya ia selalu membanggakan isian baterei yang didapatnya ketika  menjadi staf di be-er-er. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh di bawah kepemimpinan Kuntoro.

“Spesial karir,” katanya selalu tentang masa-masa indahnya di be-er-er.

Usai ngalor-ngidul kami itu, saya dihubungi oleh dua orang kawan. Satunya tak ingin saya tulis namanya. Cuma ia minta sampaikan salam. “Kami pernah sama-sama jadi camat di waktu yang sama dan kecamatan berbeda.”

Sedang satunya lagi, saya sebut saja namanya. Dr. Amren.  “Ia juga titip salam kalau saya ketemu Reza.” Kami sering duduk di ruang saya membahas tupoksi pekerjaan masing-masing,” kata Amren yang mantan direktur Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh itu.

Untuk sekadar pembukaan saya dari tadi ingin mengakhiri episode ini. Sudah terlalu panjang. Bisa bikin bosan. Saya seperti diejek. Kok bertele-tele amat sebuah lead tulisan.

Pembukaannya saja ampun panjangnya. Apalagi isinya.

Maaflah. Mari kembali ke isi ngalor-ngidul itu.

Percakapan kami semula berangkat dari pertanyaan saya kepada Reza tentang rencana resor Pulau Banyak dari Murban Energi, Uni Emirat Arab, yang telah soh. Mungkin juga nggak soh-soh amat.

Murban Pulau Banyak yang beritanya hilang nggak berjejak. Berita hura-hura, yang awalnya, bak manusia mendarat di bulan saja. Sepanjang  Agustus-September-Oktober dan menguap bagaikan gelembung pecah yang isinya cuma angin  di bulan November.

Berita yang kalau Anda cari di search google akan banjir bandang oleh judul yang melimpah. Saya tak akan menyuruh Anda membacanya lagi. Download saja untuk sekadar arsip.

Mana tahu nantinya berita “cet langet” itu akan turun menyapu bumi.

Pertanyaan saya ke Reza tentang Murban Energi Pulau Banyak itu bukan untuk sebuah penulisan dari sebuah sumber yang valid. Sebab saya nggak mau menyeret Reza ke masalah yang bukan tupoksinya.

Saya hanya ingin mencari tahu kalau pun ia tahu. Ternyata Reza yang santun dan selalu bertutur dalam takarama “peumulia jamee” itu juga nggak banyak tahunya.

Malah saya yang banyak tahunya.

Seperti yang ia katakan,” menurut pak,” saya menyergahnya menyapa dengan kesantunan, pak,” apa yang sebenarnya terjadi di lingkar dalam sehingga memorandum of under standing-mou- Pulau Banyak itu batal.”

Dengan membalikkan pertanyaan ini ke saya, menjalarlah  nalar di sudut hati kecil saya.

Ya, Reza memang nggak tahu intinya. Maklum, ia jauh di Jakarta sana walaupun rumahnya di kementerian pariwisata.

“Bidangnya beda bang.” Kali ini sapaannya untuk saya sudah benar. Bang.

Lantas saya mentestimoni kepadanya lewat share whatsapp lima tulisan yang pernah saya tulis kala hura-hura berita cet langet itu. Lima tulisan saya itu berisi prediksi seorang jurnalis yang mempertaruhkan kecurigaan berdasarkan pengetahuan tentang gurita sebuah investasi

Sewaktu menulis Murban Energi Pulau Banyak itu  saya mengikuti jalan lurus jurnalistik. Mencari tahu lewat investagasi report dengan meminjam banyak tangan sebagai nara sumber.

Dalam menuliskannya saya nggak mau beropini di luar fakta dan konsisten menjaga akurasi tinggi dengan slogan bukan berita hoax. Tulisan menyelamatkan orang banyak

Seperti penyelamatan penyu belimbing yang dilindungi di habitatnya Pulau Bangkaru.

Tulisan yang saya kirim ke Reza dan dibalasnya dengan salam terima kasih.

Salam elegant. Salam khas dari seorang lelaki yang gemar dengan olahraga petualangan. Dan telah memberikan kontribusi positif  bagi pariwisata di Aceh selama  empat tahun masa baktinya mengangkat harkat Aceh.

Bakti seorang birokrat yang me-”rebranding” Aceh dari pengembangan wisata adventure, hingga dengan pengembangan kluster destinasi yang ada di sejumlah kabupaten dan kota.

Rebranding the light of Aceh dengan konsep  “Rahmatan Lil Alamin”  dan  bergaung hingga ke ajang world halal tourism awardi.

Sebenarnya  saya sungkan untuk men-”share” tulisan itu kepadanya. Sebab selama karirnya di Aceh saja Reza  telah memberikan  sentuhan melebihi apa yang pernah saya baktikan.

Sentuhan promosi dan pemasaran travel  lewat media digital dengan kolaborasi pentahelix yang hasilnya banyak acungan jempol.

Acungan jempol untuk penghargaan kategori owned media sub category tourism website dengan predikat “the best tourism website”.

Reza juga sempat dinobatkan sebagai marketeer of the year oleh CEO Markplus Hermawan Kertajaya atas prestasi dan dedidasinya dalam melakukan promosi pariwisata.

“Itu semua  bukan kerja saya. Kerja kita semua,” katanya di sebuah kesempatan lain dengan saya. Dan saya selalu menggoda dengan jawaban, ”soe nyang leader jih.”  Dan ia hanya tersenyum tanpa “meuhambo” untuk sebuah pujian.

Pembicaraan kami yang berpangkal dari Murban Energi Pulau Banyak kemudiannnya beranak pinak ke masalah problem pengembangan pariwisata di Aceh.

Problem benturan budaya yang menyenggol  Daud Jerman dari “vilanya” di bukit batu Lhok Geulumpang hingga dideportasi. Yang kemudian berlanjut kepemberangusan para gowes bule di Calang.

Ngalor -ngidul ini terus berlanjut pada masalah kelemahan Aceh dalam mengemas paket wisata dalam sebuah tour.

“Kita punya semuanya pak… eee bang,”  Tapi nggak punya kemauan mengemasnya dalam satu paket. Kita punya pantai, yang masya Allah indahnya. Punya kuah belangong. Punya mie Razali tapi …. “entahlah,” katanya melatahkan diri di “belangong” kecewa.

Walau pun ada kata entahlah sebagai tambalan kesumpekannya atas stagnannya jualan travel di Aceh, Reza sepertinya tak ingin memutus sambungan telepon dengan saya.

Kami masih membahas banyak topik kecil. Topik Sabang yang topcer untuk berkembang tapi seperti jalan di tempat. “Padahal Sabang itu minim friksi budayanya. Masyarakatnya heterogen. Lebih terbuka. Tapi nggak melompat perkembangannya.”

Sabang yang menjadi topik kami memang hangat untuk diperpanjang ceritanya. Cerita rencana hotel Surya Paloh yang belum jadi-jadi. Pasir Putih. Kilometer Nol.

“Ah, panjang bang. Kita sisakan saja dalam sapaan lain. Sapaan khusus.”

Reza sepertinya ingin memberi pressing dari kelemahan lain pengembangan travel Aceh. Satu kata ia sodorkan ke saya. “Pelayanan, Bang,” katanya dengan kalimat takzim.

Ia memberi contoh tentang prasarana kapal cepat Singkil-Pulau Banyak. Kapalnya bagus tapi sering nggak tepat waktu, Ngawur.

Bicara kami juga mengalir ke masalah lapangan terbang di Singkil yang nggak pernah selesainya.

Selain itu kami juga menyinggung tentang travel yang bisa dikemas untuk tour lewat pesisir barat-selatan Aceh dan berujung ke Toba Samosir atau nyeberang ke Pulau Banyak lewat Pulau Dua.

Entahlah Reza…

Saya melirik ke rambatan angka penanda waktu di hape saya. Hampir dua jam.  Hape saya bertut.. tut… kepanasan. Saya tak peduli. Sama dengan tidak pedulinya Reza. Kami sama-sama tak tahu bagaimana cara mengetokkan palu finish ngalor-ngidul ini.

Kata finish itu datang dari azan asar yang singgah di hape kami masing-masing.

Itupan bukan sebuah akhir. Ia menjanjikan akan jumpa lagi. Jumpa di lapangan golf Rawamangun.

“Di sana ada Ramli Ibrahim dan konco Aceh. Nanti saya jemput,” kata Reza.

Jawabannya saya balas pendek, “any time”. []

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *