Ekonom USK Jelaskan Kausalitas Hilirisasi Industri Nikel di Indonesia

waktu baca 5 menit
Ekonom USK, Dr Rustam Effendi. [Foto: Ist]

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Intuisi bisnis menyatakan bahwa akan lebih menguntungkan jika sumber kekayaan alam yang dimiliki sendiri diolah menjadi produk turunan bernilai tinggi ketimbang menjualnya secara mentah.

Intuisi sederhana itulah yang dipercaya oleh Pemerintah Indonesia saat ini dengan kebijakannya melarang penuh ekspor raw material (bahan mentah) nikel ke luar negeri sejak tahun 2020 hingga dengan sekarang.

Adapun alasan Presiden Jokowi melarang ekspor bahan mentah nikel karena Indonesia ingin mengolah sendiri hasil nikel di dalam negeri, karena komoditas nikel saat ini sedang menjadi primadona dunia akibat kepopuleran baterai litium dan kendaraan listrik di kancah internasional.

Lalu adakah kausalitas antara kekayaan alam dengan kebijakan Jokowi dengan program hilirisasi nikel di dalam negeri dengan cita-cita utopis menuju level Indonesia sebagai negara industri maju?

Ekonom dari Universitas Syiah Kuala (USK) Dr Rustam Effendi menyatakan bahwa kebijakan Presiden Jokowi dinilai sudah sangat tepat karena negara Indonesia selama ini selalu kalah bersaing dengan negara-negara asing pada added value (nilai tambah) bahan baku.

banner 72x960

“Selama ini kita selalu menjual bahan mentah ke luar negeri. Tentunya keuntungan yang kita dapatkan dari menjual bahan mentah itu sedikit sekali. Akan berbeda jika bahan mentah itu kita olah terlebih dahulu menjadi produk turunan kemudian baru kita jual ke pasar dunia. Pasti akan terjadi added value,” ujar Rustam, Banda Aceh, Minggu 17 Maret 2024.

Apalagi, kata Rustam, keadaan pasar dunia yang mau membeli bahan mentah nikel jumlahnya sangat sedikit sekali atau terbatas, sehingga Indonesia tidak bisa menentukan pangsa pasar sendiri jika yang dijual hanya produk bahan mentah saja.

“Dalam ilmu ekonomi itu ada istilah namanya oligopsoni (keadaan suatu pasar yang hanya memiliki sedikit pembeli). Negara-negara yang mau membeli nikel mentah sangat terbatas di pasar dunia, karena kemampuan mengolah nikel mentah itu hanya dimiliki negara-negara tertentu. Keadaan pasar ini jika dipaksakan hanya akan membuat rugi Indonesia, maka akan lebih baik materialnya diolah sendiri,” tuturnya.

Di samping oligopsoni, menurut Rustam, alasan lain yang membuatnya sepakat dengan keputusan Presiden Jokowi karena bahan mentah nikel yang terjual ke luar negeri selama ini banyak ditemukan hanya menumpuk atau tidak dimanfaatkan oleh pihak asing.

“Ada info bahwa nikel mentah kita yang dibeli itu sudah menggunung menumpuk di China. Bahan-bahan mentah yang belum sempat mereka olah justru mereka simpan di sana. Jadi isi bumi kita diambil dan dibawa ke sana hanya untuk ditumpuk menggunung. Padahal nikel ini bisa kita olah sendiri,” ungkapnya.

Smelter Bukan Total Hilirisasi Nikel

Ambisi pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia pemain penting dalam ekosistem kendaraan listrik masif menggencarkan hilirisasi industri nikel. Bentuk hilirisasi industri nikel yang banyak dibentuk pemerintah Indonesia saat ini adalah industri smelter nikel.

Smelter nikel merupakan fasilitas industri untuk mengolah bijih nikel menjadi produk bernilai tambah melalui proses pemisahan, peleburan dan pemurnian.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total jumlah smelter nikel di seluruh Indonesia sudah mencapai 116 unit. Jumlah ini bahkan diproyeksikan akan bertambah lagi dengan adanya rencana pembangunan smelter baru sebanyak 28 unit.

Ekonom USK Dr Rustam Effendi mengatakan, konsep Presiden Jokowi yang mengembangkan hilirisasi nikel pada dasarnya sudah benar. Hanya saja menurut Rustam, penekanan hilirisasi pada smelter nikel masih jauh dari totalisasi program hilirisasi itu sendiri.

“Banyak pandangan mengatakan bahwa smelter nikel itu belum totalnya hilir. Smelter nikel hanyalah bagian kecil dari hilirisasi itu sendiri. Dari hasil smelter sebenarnya masih bisa diolah menjadi lebih detail lagi. Kalau itu dilakukan, pasti keuntungan akan lebih berlipat lagi,” kata Rustam.

Kendati hilirisasi nikel hanya sebatas smelter, menurut Rustam kebijakan tersebut sudah lebih baik ketimbang menjual bahan mentah nikel ke pasar dunia. Menurutnya, Indonesia masih memiliki banyak waktu untuk melakukan riset kembali pengolahan nikel dalam upaya untuk mengembangkan inovasi program hilirisasi nikel di Indonesia menjadi lebih jauh.

“Bisa saya katakan bahwa kosep Jokowi sudah betul, karena sepanjang tahun ini kita selalu menjual bahan mentah. Termasuk minyak mentah pun kita jual. Dengan adanya hilirisasi, selain mendapat nilai tambah, kita bisa memperkuat fondasi dari struktur ekonomi kita. Selama ini kita lemahnya selalu di sini,” jelasnya.

Urgensinya dengan Lapangan Pekerjaan

Dr Rustam Effendi menyebut program hilirisasi sumber daya alam dibutuhkan wujudnya karena Indonesia juga sedang berjibaku dengan angka pengangguran yang ada.

Rustam menegaskan bahwa dengan program hilirisasi industri akan membuka banyak manfaat positif yang bisa dirasakan oleh masyarakat, diantaranya ialah terbukanya lapangan pekerjaan baru.

“Menghabiskan satu ton nikel itu makan waktu yang lumayan lama. Ada kehidupan yang tercipta di sana. Meskipun di hulu kita habis, tapi di hilir ada kehidupan. Di sana ada anak-anak kita yang bisa bekerja. Indonesia punya lulusan terbaik dari kampus, punya ilmuwan dan para ahli yang bisa bekerja. Dan itu pastinya bisa memperkecil jumlah orang yang menganggur,” terang Rustam.

“Bahan mentah kalau kita jual memang menguntungkan, tapi kebijakan itu tidak bisa menampung anak-anak kita yang sedang menganggur ini. Mau lari kemana mereka setelah lulus dari kampus kalau tidak ada pabrik-pabrik atau perusahaan? Ya, tidak tahu mau kemana kan,” tambahnya.

Di samping urgensinya terhadap lapangan kerja, fokus lain yang perlu menjadi catatan pemangku kebijakan menurut Dr Rustam ialah soal serapan tenaga kerja lokal. Menurutnya, program hilirisasi yang berpotensi membuka lapangan pekerjaan baru harus dikokohkan dengan regulasi penyerapan tenaga kerja lokal, bukan menganakemaskan tenaga kerja asing.

“Jika industri hilir kita kembangkan tapi hanya memasukkan tenaga kerja asing, ya, untuk apa juga. Hilirisasi harus bisa membangun potensi lokal, harus bisa memberdayakan tenaga kerja lokal. Jika ini difokuskan, saya yakin Indonesia pasti akan lebih hebat dan akan lebih kuat,” pungkasnya. (Akhyar).

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *