Dua Tahun Keliling Indonesia sambil Perkenalkan Aceh ke Nusantara

waktu baca 8 menit
Rahmat Tullah (@rahmatatjeh_) tiba di Temajuk, Sambas, Kalimantan Barat (Batas RI-MLY) saat kelililing Indonesia selama dua tahun. (Foto: Dok Pribadi @rahmatatjeh_)

Theacehpost.com | BANDA ACEH — Rahmat Tullah (23) menghirup udara segar sekembalinya dari ‘berkeliling Indonesia’ menggunakan sepeda motor Mio yang telah dimodifikasinya sedemikian rupa. Penampakan motor maticnya itu penuh dengan berbagai ornamen dari berbagai daerah. Tampak hampir seperti tidak terurus, namun nilai yang ditampilkan malah hampir mendekati dekorasi seniman kelas atas.

Di sebelah kiri paling belakang, misalnya kita mendapati berbagai stiker dari anak motor dari berbagai daerah. Kemudian, di arah depan kiri terlihat pula berbagai keperluan tidur seperti alas ala anak Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala), sarung dan sebagainya. Juga berbagai ornamen lainnya yang menambah kagum dengan penampakan motor meticnya yang aduhai.

Rahmat Finis di 0 Km sabang, Aceh Indonesia. (Foto: IG @rahmatatjeh_)

Belum lagi di bagian paling belakang motor, terdapat banyak bendera yang menancap dengan kuat dan tegar dibawa keliling Indonesia oleh Rahmat. Bendera itu, dengan sendirinya seperti ikut merasakan pengalaman Rahmat yang menggebu membawa visi misi Aceh ke berbagai daerah di Indonesia.

Rahmat tiba di Aceh tepat pada 15 Agustus 2020, saat Aceh merayakan 15 tahun perdamaian (15 Agustus 2005 – 15 Agustus 2020) dengan berbagai pengalaman adat dan budaya yang didapatinya selama melakukan perjalanan “Jelajah Indonesia” yang dimulai sejak 25 Agustus 2018.

Rahmat lahir pada 14 Juli, 1997 di Masjid Ilot, Mila, Pidie kepada Theacehpost.com, kemarin, 19 September 2020 menceritakan, motivasinya untuk keliling Indonesia menggunakan sepeda motor didasari oleh dorongan teman dan hobinya terhadap dunia motor dan perjalanan.

banner 72x960

“Banyak kawan motor yang sudah berkeliling Indonesia selama dua tahun, empat tahun, sehingga saya termotivasi dari mereka,” kata Rahmat bersemangat melalui sambungan telpon.

Rahmat yang kini berdomisili di Neusok, Darul Kamal, Aceh Besar itu menjelaskan, untuk menguatkan niatnya berkeliling Indonesia memang tidak mudah. Dengan biaya secara mandiri, tentu itu membuatnya harus bisa mengatur keuangan secara baik hingga dia pulang ke Aceh.

Bergabung dengan Komunitas Motor

Bergabung di salah satu komunitas menjadi penting untuk memperkuat jati diri dan keahlian seseorang. Komunitas tersebut akan memperjelas eksistensi personal anggota untuk mencapai tujuan tertentu.

Hal itu pula yang dilakukan Rahmat.

Rahmat mengakui bahwa tanpa komunitas motor Mioners Aceh, mungkin dia tidak akan pernah merasakan perjalanan Jelajah Indonesia lantaran komunitas ini akan membawanya bertemu dengan berbagai pribadi dan kultur di daerah yang di singgahinya.

“Saya berangkat dari Banda Aceh ke Sigli, Pidie Jaya, Bireuen, itu setiap kota seluruh Indonesia sudah ada kawan semua. Sudah ada kawan dari komunitas motor. Jadi kami komunitas motor ini, mau dia Mio, Vixion, CBR, dari motor kecil maupun besar, tetap bersatu,” kata Rahmat.

Rahmat saat berfoto di Klaten, Jawa Tengah. (Foto: IG @rahmatatjeh_)

Dia mengatakan setiap dia tiba di suatu daerah, dirinya selalu disambut dengan hangat oleh komunitas lainnya, misalnya disambut oleh anak motor Vixion, anak CBR, anak Mio, siapapun, terkadang anak Vespa.

“Komunitas saya sendiri adalah Mioners Aceh,” ujarnya.

Di Aceh, komunitas Mioners sedikit, hanya beranggotakan 20-an anak motor. Namun, ujar Rahmat, ada kekuatan tersendiri dari komunitasnya itu yang membuatnya mampu untuk mewujudkan mimpi keliling Indonesia.

Perkenalkan Budaya Aceh

Berkeliling Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi Rahmat, apalagi keinginannya untuk menjangkau seluruh pelosok Indonesia yang eksotis dan menyimpan berbagai ragam keindahan khatulistiwa sangat disayangkan untuk dilewatkan, ditambah memperkenalkan budaya Aceh kepada orang lain.

“Setiap daerah yang saya singgahi saya perkenalkan Aceh walaupun sekilas. Mulai dari memperkenalkan pahlawan Aceh, adat istiadat, hingga senjata tradisional Aceh,” kata Rahmat.

Dari pertukaran informasi budaya ini pula, Rahmat mendapatkan kawan dan pengalaman baru di daerah lain yang belum dia temukan di Aceh.

“Kita memperkenalkan Aceh ke luar dan orang luar memperkenalkan tentang mereka kepada saya. Saling bertukar cerita dalam perjalanan. Kebanyakan cerita pahlawan tentang Teuku Umar, Cut Nyak Dhien dan beberapa pahlawan perempuan Aceh, setelah itu tentang masuknya Islam di Samudera Pasai, dan terkadang tentang syariah. Kabanyakan orang luar tanya tentang syariah, GAM, tsunami, dan ganja. Itu kebanyakan,” kata Rahmat.

Dia menjelaskan, untuk memperkenalkan Aceh ke luar dan tanggapan orang luar terhadap Aceh memang sulit. Masyarakat di luar sudah kebanyakan mendengar informasi yang tidak seimbang dari media, terutama tentang hal negatif seperti hukum syariah Islam dan ganja.

Apalagi Aceh yang lama dicengkeram konflik berkepanjangan membuat daerah ini bukan menjadi tujuan utama wisatawan dari daerah lain. Padahal, kata dia, jika dibandingkan dengan Bali, atau daerah lain, keindahan alam dan berbagai destinasi wisata Aceh tidak kalah menakjubkan.

Rahmat berfoto di Sebatik, Ujung Utara Kalimantan, batas RI-MLY. (Foto: IG @rahmatatjeh_)

“Kita punya Sabang, Singkil, Danau Laut Tawar di Gayo, Aceh Tengah, Kopi, Pacuan Kuda dll,” kata dia.

“Kadang orang takut ke Aceh karena ketatnya hukum syariah. Padahal bagi kita di Aceh ya biasa aja, gak ada yang perlu ditakuti. Kita jelaskan bahwa Aceh aman, tentram, mau jam berapapun bebas, beda dengan daerah lain. Daerah lain terkadang sudah jam 1 pun kadang kita takut di jalan. Sedangkan kalau kita di Aceh aman,” jelasnya.

Rahmat juga bertukar cerita tentang Aceh yang pernah menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Saat konflik dulu, memang Aceh begitu menyeramkan karena ketatnya penjagaan di berbagai tempat oleh aparat keamanan. Jalanan di Aceh penuh dengan pos-pos yang dijaga baik oleh tentara organik dan BKO.

“Ya, tapi, kan sekarang sudah tidak ada lagi, sudah aman. Ayo ke Aceh,” ajak Rahmat.

Lebih jauh tentang konflik Aceh, lanjut dia, Rahmat juga menceritakan tentang awal mula perjanjian dengan damai Aceh – RI. Perjanjian Aceh ingin menerapkan syariah sendiri, otonomi khusus, dan menaikan bendera.

“Bisa dibilang hasil perjanjian dahulu, permintaan Aceh tidak dituruti oleh RI, makanya Hasan Tiro mendirikan Aceh Merdeka,” ujar dia.

Jelajah Indonesia ini bisa dikatakan visi misi dirinya untuk dengan memperkenalkan adat, budaya, dan bersilaturahmi. Sehingga Rahmat dapat melewati berbagai kabupaten hingga provinsi sampai lima pulau besar, seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.

“Saya menghabiskan waktu dua tahun tiga hari,” kata Rahmat.

Disambut Hangat di berbagai Daerah

Rahmat bercerita, terlalu banyak kesan baik dan menarik yang dia dapat selama melakukan perjalanan Jelajah Indonesia. Misalnya, ketika dirinya disambut secara hangat di berbagai daerah yang dikunjunginya, salah satunya adalah di Papua.

“Alhamdulillah, luar biasa sambutan, terharu kita. Penuh haru disambut oleh komunitas maupun masyarakat, dan disambut dengan adat. Luar biasa toleransi,” kata Rahmat.

Salah satu paling diingat Rahmat adalah saat dia berada di Papua dengan kondisi akses antar kabupaten yang banyak kendala. Di Papua, kata Rahmat, dia memberanikan diri untuk menembus pedalam daerah itu. Pernah pula dia berada di dalam hutan Papua selama empat hari.

“Karena untuk bisa sampai di daerah lain, saya harus menuggu Hercules, pesawat antar daerah milik TNI untuk dapat menembus antar kabupaten. Misalnya dari Jayapura ke Wamena, dari Wamena ke Merauke,” kata dia.

Palu, Sulawesi Tengah, 1 Minggu setelah tsunami 2018. (Foto: IG @rahmatatjeh_)

Di Papua Rahmat juga harus banyak belajar kesabaran. Pernah dia harus menunggu dengan sabar hingga satu bulan lamanya hanya untuk menunggu pesawat Hercules singgah di tempatnya saat itu berada, baru kemudian berpindah ke kota lain.

“Harus menunggu lama. Selain itu, budayanya yang unik. Kita merasa seperti berada di Afrika. Saya menjumpai orang-orang Papu yang masih memakai koteka,” jelasnya.

Lain di Papua, lain pula di Kalimantan. Rahmat mengaku tidak mendapatkan kendala berarti di daerah ini lantara lintasan di Kalimantan cukup bagus.

Di Kalimantan pun, dirinya disambut hangat oleh berbagai kalangan, termasuk Suku Dayak dan sempat tidur di salah satu rumah Suku Dayak di sana. Begitu pula sambutan dari anak-anak motor di daerah ini, yang menambah keinginannya untuk terus bertualang. “Setiap daerah di Indonesia selalu disambut hangat, Alhamdulillah,” kata dia.

Tidak saja di Kalimantan, saat dia sampai di Pulau Jawa setelah melintas dari Sumatera dan menyeberang Bangkahuni-Merak, dia juga disambut oleh anak motor di daerah Banten. Kendala yang dihadapi Rahmat di pulau Jawa bisa dibilang tidak ada.

“Cuma untuk Pulau Jawa, kendalanya sudah pasti macet,” kata dia.

Pernah Dirazia Polisi, Tapi Jadi Teman

Perjalanan jauh, panjang dan melelahkan adalah risiko bagi orang yang suka bertualang dengan sepeda motor. Berbagai cerita, pengalaman dan kesan itu pula nantinya yang akan mengobati semua kelelahan yang pernah dirasakan. Begitu pula yang dirasakan Rahmat.

Dia mengungkapkan, dalam perjalanannya dia mendapatkan banyak sambutan hangat di sana-sini, bahkan dari pihak kepolisian.

“Misalnya, sewaktu ada razia kenderaan bermotor oleh pihak kepolisian. Di sana, saya juga mendapatkan perlakuan yang baik dari pihak kepolisian setelah mendengar saya membawa visi misi pertukaran budaya antar daerah,” kata dia.

Di sepanjang perjalanan, Rahmat beberapa kali sempat kena Razia, mulai dari Flores, Banten, Kalimantan dan di beberapa daerah lainnya yang tidak sempat diingatnya lagi.

Rahmat memang serius melakukan perjalanan, itu terbukti dengan berbagai kelengkapan surat yang dibawanya dari Aceh.

“Dari pertama saya berangkat, saya telah menyiapkan berbagai surat, misalnya surat dari Polresta Banda Aceh, surat dari Gubernur, Sekda, dan Wali Kota,” katanya.

Rahmat berfoto di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. (Foto: IG @rahmatatjeh_)

Rahmat bisa dibilang membiayai sendiri perjalannnya dengan berjualan. Adapun yang dijual Rahmat kepada siapa saja yang dijumpainya adalah kaos etnik Aceh yang dicetaknya di Bandung. Dia juga menjual Kopi Aceh, dan Tembakau Gayo.

“Saya jual Rp25 ribu sampai Rp30 ribu. Kalau baju saya desain sendiri dan cetaknya di Bandung. Untuk motif, ada motif Aceh dan motif Indonesia,” katanya.

Mau melihat seperti apa keseharian Rahmat, cek saja di Instagramnya, @rahmatatjeh_ dan YouTube Rahmat Atjeh. Hingga kini, Rahmat telah punya 72 ribu Subscribe dan 22 ribu Followers.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *