BEM Unimal: Penuntasan Pelanggaran HAM Hanya Janji Palsu

waktu baca 2 menit
Pengurus BEM Unimal, Arisky. (Foto: Dokpri)

Theacehpost.com | LHOKSEUMAWE – Kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia belum dituntaskan oleh negara sampai saat ini, seperti peristiwa Tanjung Priok (1984), penembakan misterius Petrus (1982-1985), pembunuhan aktivis wanita bernama Marsinah, pelanggaran HAM Aceh, pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib pada tahun 2004, hingga kasus pelanggaran HAM di Papua.

Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universita Malikussaleh (BEM Unimal), Arisky menyebutkan penuntasan pelanggaran HAM hanya menjadi cerita dan janji palsu yang dikumandangkan, sementara anak, saudara, serta kerabat korban dipaksa tegar terhadap luka yang dibuat sengaja. 

“Berulang kali kita mendengar celoteh bodoh dari tokoh-tokoh tak bermoral dan berlagak seolah serius untuk menuntaskan luka berat rakyat Indonesia, tetapi sayangnya, itu kembali menjadi cerita manis yang bahkan kita tidak tau kapan selesainya,” ujar Arisky dalam keterang tertulis kepada Theacehpost.com, Kamis, 10 Desember 2020.

Bahkan, Ia menjelaskan, saat itu pidato Presiden terpilih Joko Widodo atau Jokowi yang bertajuk Visi Indonesia menuai kritik kalangan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebab, dalam paparan tentang visi pemerintah lima tahun ke depannya itu Jokowi tak menyinggung soal penegakkan HAM di Indonesia dan penyelesaian masalah HAM berat di masa lampau. 

banner 72x960

“Dari itu semakin jelas, bahwa memang penuntasan tersebut tidak menjadi hal yang benar benar diprioritaskan,” jelasnya.

Ditambah lagi kejadian pada awal tahun 2019, Kejaksaan Agung memutuskan mengembalikan berkas perkara pelanggaran HAM lama yang diserahkan Komnas HAM. Kejaksaan menilai berkas tersebut tak memenuhi persyaratan formil dan materil.

Kasus-kasus yang dilaporkan itu tergolong menelan banyak korban jiwa. Beberapa di antaranya adalah peristiwa Talangsari 1989, peristiwa penembakan misterius (Petrus) pada 1982-1985, peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan Semanggi II, serta peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Selain itu, ada pula peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, juga peristiwa Wasior dan Wamena. Tiga berkas pelanggaran HAM berat di Aceh juga turut dikembalikan, yaitu peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999, tragedi Jambo Keupok, dan peristiwa Rumah Geudong.

“Pelanggaran HAM dinilai juga dilakukan oleh non-pemerintah. Dari ini, wajar ketika timbul ketakutan dari seluruh rakyat Indonesia jika memang para pelanggar HAM tersebut dilindungi payung kekuasaan,” kata Arisky.

Khususnya di Aceh, pelanggaran HAM juga belum tertuntaskan.

“Seperti Simpang KKA, Jembatan Ara Kundo, peristiwa Rumoh Geudong dan lain lain juga belum ada kejelasan. Maka kami juga menyertakan permintaan kepada Pemerintah Aceh untuk memperkuat KKR Aceh dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Aceh, serta melakukan penerapan konsep keadilan transisi dalam setiap kebijakan Aceh untuk menjamin ketidakberulangnya kasus pelanggaran HAM di masa depan,” tutupnya.

Penulis: Cut Putroe Ujong 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *