Alih Fungsi Gedung KNPI Aceh Barat Berpotensi Langgar Aturan

waktu baca 2 menit
Gedung KNPI Aceh Barat. [Dok. pribadi]

Theacehpost.com | ACEH BARAT – Perkara alih fungsi pemanfaatan Gedung KNPI Aceh Barat disebut berpotensi melanggar aturan. Hal itu diutarakan akademisi Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, M Yunus Bidin, Minggu 28 November 2021.

Adapun aturan yang dimaksud yakni UU 40/2009 tentang Kepemudaan. Selama ini, ujarnya, pengelolaan gedung tersebut sepenuhnya otoritas DPD KNPI.

“Wewenangnya dalam konteks ‘hak pakai pemanfaatan’, untuk mewadahi seluruh organisasi kepemudaan (OKP) di Aceh Barat,” ujarnya.

Gedung DPD KNPI yang berlokasi di Gampong Suak Indra Puri, Kecamatan Johan Pahlawan itu dulunya digunakan perdana mulai tahun 2008, saat selesai dibangun oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh.

Di masa itu, berbagai macam kegiatan digelar di gedung ini, seperti rapat pengurus, diskusi publik, seminar, bahkan pengkaderan organisasi kepemudaan.

banner 72x960

Namun belakangan, masalah muncul setelah pengelolaannya dialihkan pada institusi lain, yakni Kejaksaan. Hal ini terlihat saat ini gedung itu tengah dalam proses pemugaran oleh institusi tersebut.

“Kebijakan itu seharusnya tidak perlu terjadi, mengingat penyediaan layanan di bidang kepemudaan merupakan sebuah kewajiban pemerintah daerah, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan,” jelas Yunus.

Ia merincikan, di Pasal 35 Ayat (1) menyebutkan bahwa, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan prasarana dan sarana kepemudaan dalam rangka melaksanakan pelayanan di sektor kepemudaan.

Kemudian pada Pasal 37 Ayat (1) disebutkan lagi, dalam hal di suatu wilayah telah terdapat prasarana kepemudaan Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib mempertahankan keberadaannya dan mengoptimalkan penggunaan sarana kepemudaan.

Mengacu aturan ini, Yunus menilai upaya alih fungsi itu merupakan bentuk ketidakberpihakan pemerintah daerah.

“Maka dapat dipastikan melanggar undang-undang kepemudaan,” ujar Wakil Ketua Muhammadiyah Aceh itu.

Ia menyarankan kepada OKP agar menyelesaikan masalah ini secara musyawarah. Jika tidak tercapai, maka dapat menempuh jalur hukum.

“Tentu dengan melaporkan peristiwa tersebut kepada Ombudsman Aceh, karena lembaga tersebut diberikan kewenangan oleh hukum terkait hal itu,” pungkasnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *