Aceh Darurat Kekerasan Seksual

waktu baca 3 menit
Direktur Yayasan Anak Bangsa, Sriwahyuni. (Foto: Dokumen Pribadi)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Sejumlah lembaga mengutuk tindakan penyekapan dan pemerkosaan terhadap anak perempuan berusia 15 tahun di Kabupaten Nagan Raya.

Pernyataan sikap tersebut disampaikan secara bersama oleh lembaga Yayasan Anak Bangsa, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Koalisi NGO HAM, terkait rentetan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Aceh.

“Kekerasan seksual dengan beragam bentuknya adalah tindakan biadab dan tidak berprikemanusiaan. Siapa pun pelakunya layak mendapat hukuman yang menjerakan sesuai undang-undang perlindungan anak,” kata Direktur Yayasan Anak Bangsa, Sriwahyuni dalam keterangan tertulis kepada Theacehpost.com, Senin, 27 Desember 2021.

Ia menilai, hampir setiap hari khalayak Aceh dikabarkan soal pemerkosaan, pelecehan dan perundungan.

“Data terakhir BP3A Provinsi Aceh mencatat selama tahun Januari-Agustus 2021 telah terjadi 355 kasus. Kekerasan seksual mayoritas menyasar remaja dan anak usia dini. Tindakan kekerasan seksual ini menjadi momok yang sangat menakutkan dan sudah mencapai situasi darurat,” ucapnya.

banner 72x960

Pelaku mayoritas datang dari orang yang dikenal oleh korban, ayah, abang, teman, tetangga, ustaz, guru, pacar, dan lain-lain.

Lokasinya pun, kata Sriwahyuni, bisa di mana saja. Di sekolah, rumah, pesantren, bahkan di sarana ibadah lainnya.

“Situasi ini telah melampaui akal sehat kita. Kita sudah memasuki era kehidupan jahiliah, tidak ada lagi tempat aman bagi anak anak kita. Dan korban kekerasan seksual tidak melulu anak perempuan, tetapi juga menyasar anak laki-laki,” pungkasnya.

Berikut pernyataan sikap Yayasan Anak Bangsa, Walhi Aceh dan Koalisi NGO HAM Aceh:

1. Kepada pemerintah Aceh untuk segera mengambil tindakan preventif dan menyatakan wilayah kita sebagai daerah dengan status darurat kekerasan seksual.

2. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan meningkatkan kesiagaan seluruh lapisan masyarakat yang bersinergi dengan pihak keamanan. Pantau dan perhatikan bagaimana kehidupan masyarakat, kantong kantong kemiskinan, jaringan narkoba, penggunaan internet yang tidak sehat, tempat tempat berkumpul generasi muda yang mencurigakan.

3. Segala unsur pemerintahan dan masyarakat hendaknya wajib meningkatkan kesadaran apa yang di sebut dengan Kekerasan Seksual. Contoh yang paling kecil adalah tindakan pelecehan yang dilakukan terhadap perempuan di pinggir jalan, memanggil dengan ungkapan mengejek, menyerang fisik secara lisan (body shaming) mengajak berhubungan badan atau bermesraan di depan khalayak ramai, tindakan-tindakan memalukan lainnya.

Sesungguhnya tindakan perkosaan adalah tindakan kesekian yang lebih dahulu diawali oleh tindakan pelecehan yang dipandang sesuatu yang biasa, akar masalahnya adalah pada konsep, nilai, pandangan dan penghargaan yang rendah terhadap orang lain. Perempuan dan anak dipandang sebagai kelompok yang lemah yang dapat dikuasai, dikontrol, dimanipulasi dan menjadi tempat melampiaskan hasrat seksual.

4. Tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dayah-dayah dan pesantren, mohon tingkatkan perhatian, tambah wawasan dan pengetahuan apa yang di maksud dengan kekerasan seksual. Apa yang harus dilakukan agar mencegah kekerasan seksual terjadi di lembaga/institusi pendidikan.

Beri ruang bagi peserta didik untuk berbicara dan berpendapat tentang siatuasi nya sehari-hari di lembaga pendidikan. Harus ada ruang konsul yang dikelola oleh pihak pihak kompeten, psikolog, tenaga kesehatan, dan pendamping sosial lainnya.

5. Pemerintah Aceh harus segera melakukan gerakan cepat, dengan membentuk tim khusus pencegahan kekerasan seksual yang bertugas melakukan sosialisasi dan pencegahan di kampung kampung. Lembaga ini harus segera dibentuk dan difungsikan guna menunjukkan bahwa provinsi Aceh sebagai daerah bersyariat Islam jauh lebih serius dari provinsi lain dalam melakukan upaya pencegahan kekerasan seksual.

6. Revisi Qanun Jinayah Aceh harus segera dilakukan sehingga tidak menambah kesulitan dalam penegakan hukum ,dan pemulihan bagi korban. Dualisme hukum yang terajadi sangat menguras energi pendamping dalam upaya mendampingi korban baik dalam proses litigasi dan juga nonlitigasi. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *