Koalisi Masyarakat Antikorupsi Pertanyakan Lima Kasus yang Ditangani KPK di Aceh
Theacehpost.com | BANDA ACEH – Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Aceh mempertanyakan kelanjutan penanganan lima kasus dugaan tindak pidana korupsi di Aceh.
Pertanyaan itu mencuat karena sejak KPK melakukan penyelidikan terbuka pada Juni 2021 hingga 10 Oktober 2022, belum menunjukkan perkembangan.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan pihaknya akan terus mengawal sejauh mana proses yang sudah dijalankan oleh KPK. Dia berharap kasus ini tidak dijadikan mainan oleh KPK.
“Secara prinsip kami mempertanyakan dari lima kasus yang sudah dilidik oleh KPK dan sampai hari ini belum ada perkembangan dan kejelasannya,” ujar Alfian di Banda Aceh, Senin 10 Oktober 2022.
Sebelumnya, pihaknya sudah mengirim surat dengan nomor 016/B/MaTa/X/2022 perihal perkembangan penyelidikan terbuka di provinsi Aceh kepada KPK pada selasa, 4 Oktober 2022 dan diterima oleh KPK pada Kamis 6 Oktober 2022.
“Mekanismenya, sejak hari pertama surat diterima oleh KPK dan 30 hari ke depan kita menunggu. Biasanya belum sampai satu minggu sudah dibalas,” terangnya.
Dengan surat yang dilayangkan tadi, dia berharap KPK segera mengkonfirmasi ataupun mengklarifikasi terkait perkembangan kasus. Menurutnya, perkembangan kasus ini merupakan bagian dari informasi publik yang harus diketahui.
“Jika proses lidiknya sudah selesai, maka segera kasih kepastian. Kita tetap menagih soal kepastian hukum ini,” tegasnya.
Sejak Juni 2022 ada lima kasus yang dilidik KPK secara terbuka, guna untuk melihat potensi tindak pidana korupsi dari lima kasus tersebut.
“Baru kali ini KPK melakukan penyelidikan terbuka yaitu memeriksa lebih dari satu kasus di Aceh,” katanya.
Adapun kelima kasus tersebut antara lain kasus PLTU 3 dan 5 di Kabupaten Nagan Raya, kasus pengadaan Kapal Aceh Hebat (Aceh Hebat 1, 2 dan 3), proyek multi year (MYC), kasus Apendiks, dan kasus dana recofussing.
Pertama, kasus PLTU 3 dan 5 di Kabupaten Nagan Raya. Pihaknya mengidentifikasi bahwa proses perizinan dari pembangkit listrik tenaga uap tersebut dinilai bermasalah dan berpotensi terjadinya konflik kepentingan dalam partai yang sama antara kepala daerah kabupaten dengan gubernur yang menjabat saat itu.
Kedua, terkait pengadaan Kapal Penyeberangan Aceh Hebat 1, 2 dan 3 dimana kapal Aceh Hebat 1 untuk melintas Pantai Barat-Pulau Simeulue dengan nilai kontrak sebesar Rp. 73.900.000.000 (tujuh puluh tiga milyar Sembilan juta rupiah).
Kemudian Kapal Aceh Hebat 2 lintas Ulee Lheue-Balohan dengan nilai kontrak sebesar Rp. 59.787.002.000 (lima puluh sembilan milyar tujuh ratus delapan puluh tujuh juta dua ribu rupiah) dan pengadaan Kapal Aceh Hebat 3 untuk lintas Singkil-Pulau Banyak dengan nilai kontrak Rp. 38.007.200.000 (tiga puluh delapan milyar tujuh juta dua ratus ribu rupiah).
“Pengadaan Kapal Aceh Hebat 1, 2 dan 3 tersebut dinilai bermasalah karena kondisi kapal banyak kerusakan padahal kapal tersebut merupakan kapal baru,” terangnya.
Ketiga, kasus Proyek Multi Year (MYC). Paket multi year dengan 14 paket pembangunan jalan dan 1 paket berupa pembangunan bendungan. Prosesnya terjadi tanpa ada persetujuan melalui paripurna DPR Aceh, hanya melalui penandatanganan berupa MoU, antara pimpinan DPR dengan Gubernur Aceh saat itu dengan nilai Rp. 2.700.000.000.000 (dua triliun tujuh ratus miliar rupiah) sejak 2022-2022.
Keempat, yaitu kasus Apendiks, dimana dalam APBA 2021 ada mata angaran sebesar Rp. 256.000.000.000 (dua ratus lima puluh enam miliar rupiah) yang berkode AP/Apendiks.
“Kasus ini juga menjadi salah satu kasus dari penyelidikan terbuka yang dilakukan oleh KPK,” ungkapnya.
Kemudian kasus yang kelima yakni pengunaan dana Recofusing di Provinsi Aceh sebesar Rp. 2.300.000.000.000 (dua triliun tiga ratus miliar rupiah).
“Dana recofusing tersebut masuk ke lima besar alokasi anggaran penganggaran Covid-19 di Indonesia, akan tetapi sampai sekarang transparansi dan akuntabilitas dari pengunaan dana tersebut masih dipertanyakan dengan catatan DPRA pada Jumat 18 September 2020 melalui pimpinan juga telah melaporkan kasus penggunaan dana recofusing kepada KPK, tutupnya.[]