Nikmatnya Sampai Tetes Terakhir

Barlian AW

Catatan Barlian AW

banner 72x960

SABTU lalu, sambil jalan-jalan keliling kota, kami menemukan sebuah kedai kopi baru di kawasan Lambhuek, tak jauh dari RSJ Banda Aceh.

Kami pun mampir di tempat yang kabarnya baru dibuka dengan semboyan “Pusatnya Penikmat Kopi”.

Sesungguhnya kami tak terpengaruh dengan tema kedai kopi yang dibangun pada areal yang lumayan rindang itu. Kami tak ragu akan rasa kopi dan makanan lain yang tersedia di sana.

Sebab di Banda Aceh dan kota-kota lain seperti Bireuen, Lhokseumawe, Takengon, Idi, Langsa, dan Kuala Simpang hanya ada dua macam makanan. Enak dan enak sekali.

Ini juga diakui oleh para pendatang dari luar Aceh, terutama ikhwal rasa kopi. Kopi Aceh dengan model racikan saringnya memang sudah me-nusantara dalam belasan tahun terakhir. Maka resto atau kedai kopi Aceh sudah ada di hampir semua kota di Indonesia, termasuk kota di pedalaman Kalimantan, Palangkaraya.

Selain kopi, kuliner Aceh yang sudah go publik ialah mi (biasa ditulis mie). Banyak gerai mie Aceh di kota-kota di Pulau Jawa. Penikmat mie Aceh pada mulanya adalah mereka yang pernah ke Aceh seperti para relawan tsunami Aceh 2004 dan yang pernah tinggal di Aceh di musim yang lain, misalnya ketika konflik Aceh membara.

Kemarin kami bicara soal kebudayaan secara komprehensif, mulai dari banyaknya karya seni klasik yang terkesan ditelantarkan sampai dengan kurangnya hasrat para pekerja seni sekarang dalam memelihara pakem seni yang digelutinya.

Kita ambil contoh seudati, sebuah nomor kesenian yang cukup tua dan melegenda di Aceh. Kalau kita mau menelisik secara seksama hampir semua kesenian tradisional Aceh berinduk pada seudati.

Apa yang dikenal sebagai tari saman yang telah ditabalkan sebagai tari dunia adalah comotan dari salah satu episode seudati. Dalam seudati ada saleuem, kisah, saman, likok, dan cae.

Rangkaian seudati terdiri unsur tari, nyanyi, musik, sastra, teater, dan busana. Semuanya tertakluk pada tradisi yang melekat dalam karakter Aceh. Oleh karenanya apa pun dari unsur-unsur ini harus mendapat perhatian dari pemain seudati.

Dalam sejarah seudati Aceh mutakhir ada empat grup seudati yang telah memberikan sumbangan besar pada kebudayaan Aceh, yaitu Syeh Ampon Mae (Lhokseumawe), Syeh Rasyid (Bireuen), Syeh Lah Geunta (Bireuen), dan Syeh Lah Bangguna (Meureudu). Ketiganya sudah meninggal, sehingga pudar pula kesenian seudati di Aceh.

Setelah empat kelompok seudati legendaris tersebut, memang muncul beberapa syeh lainnya terutama di Bireuen, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Tapi entah mengapa kiprah mereka tidak sehebat para pendahulunya yaitu empat maestro tadi.

Terkesan bahwa mereka tidak lagi patuh pada pakem-pakem pokok dari seudati, misalnya pada kisah dan busana. Kisah mereka adalah narasi lama yang tak punya konteks pada masa kini, sehingga tidak lagi komunikatif dengan penonton sebagai wakil masyarakat penikmat.

Kisah-kisah yang ditampilkan masih soal Aceh berperang dengan kafir Belanda. Padahal seiring waktu berbagai peristiwa telah dialami Aceh. Misal yang menonjol tragedi gempa dan tsunami .

Tak satu pun dari kelompok seudati yang memunculkan bagaimana ganasnya lidah air laut yang menewaskan sekitar 300.000 orang di Aceh. Demikian pula dengan perkembangan lain yang lebih kontekstual.

Banyak hal dan masih panjang yang harus dibahas. Tapi apa boleh buat. Hari Sabtu dan Minggu di Aceh adalah hari penuh kenduri dan pesta. Kami pun harus meninggalkan kedai kopi itu. Juga gelas kosong dan daun pisang bekas balutan pulut dan timphan.[]

Sebelumnya: Kisah Nek Buyong di Ujong Peunayong

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *