Kisah Nek Buyong di Ujong Peunayong

waktu baca 5 menit
Barlian AW

Catatan Barlian AW

MALAM bergerak tertatih ketika sekelompok lelaki beranjak dari pangkalan penambatan kapal penangkap ikan di tempat  agak ke muara sungai. Mereka menuju  ke lokasi sekitar  jembatan yang membentang di atas Sungai Aceh. Konon ada sesuatu di sela-sela bangunan tua di belakang ruko berarsitektur Tiongkok itu.

Nek Buyong. Itulah yang dicari empat lelaki pelaut itu. Meski Buyong atau Buyung tertakluk namanya pada sosok lelaki, tapi Buyong yang satu ini adalah seorang wanita tulen. Wanita tua bahkan tergolong renta, tapi punya pesona. Kira-kira usianya  di atas lima puluh tahun. Meski tua dia dicari dan “diburu” para lelaki kala itu, terutama mereka yang sudah lama—karena pekerjaannya—tak sempat pulang menemui istri masing-masing. Nun jauh di sana.

Untuk hal  yang satu ini Nek Buyong-lah yang bisa menyelesaikannya. Di awal dan di paruh dekade  tujuh puluhan namanya beredar di se-antero Banda Aceh. Paling tidak di kalangan para lelaki hidung belang.  Mereka adalah costumer Nek Buyong, perempuan yang selalu tampil dengan make up tebal:  bedak, gincu, dan cat kuku. Dia hadir bersama tambatan pesona  malam.

Nek Buyong memilih tempat tinggalnya konon di salah satu bangunan tua di bantaran Krueng Aceh yang sesekali berbau anyir. Ke sebuah lorong sempit yang melengkapi ciri khas Peunayong itulah menjadi titik tuju para lelaki pemburu kehangatan malam usai melaut. Tapi dimana persisnya Nek Buyong “berkantor” dan menunggu tamunya, sedikit sekali yang tahu. Umumnya orang-orang sekitar hanya tahu bahwa Nek Buyong adalah “penghuni” Peunayong.

banner 72x960

Di Peunayong yang jadi kawasan bisnis dan jasa kini terdapat barisan toko berbagai kebutuhan, pasar, kawasan kuliner serta hotel, mulai dari penginapan kecil  sampai berbintang. Sebagian masih terdapat bangunan tua berarsitektur Tiongkok.  Di Peunayong pulalah kaum Cina Banda Aceh menggelar usaha dan memilihnya sebagai tempat tinggal. Letaknya berseberangan dengan pusat kota Banda  Aceh yang sesungguhnya, Pasar Aceh.

Ada yang menyangka kata Peunayong erat kaitannya dengan keberadaan kaum Cina yang menjadi penghuninya. Ragam dan aksen bunyi katanya juga mirip-mirip bahasa Mandarin. Padahal Peunayong jauh dari kisah di masa kedatangan kaum Cina ke Aceh yang kini menjadi penduduk Peunayong.

Menurut para sejarawan, Peunayong berasal dari kata dasar Payong atau Payung. Ini bermula dari masa kejayaan Kerajaan Aceh pada abad ke-16 Masehi.

Konon, ketika orang-orang luar yang datang ke Aceh, baik mereka yang  ingin menghadap Raja, ingin berdagang atau mau menetap di Aceh, ada satu aturan. Mereka tidak boleh langsung masuk ke “dalam” tetapi harus melewati  satu kawasan di sisi  perairan sungai untuk menempati hunian sementara. Mereka yang datang ke Aceh itu tentu dari berbagai bangsa: Eropa, Cina, Hindi, Siam, atau Persia.

Di kawasan itu mereka dibenarkan untuk hidup bebas sesuai dengan tradisi masing-masing sepanjang tidak melakukan keonaran dan mengganggu kaum pribumi. Hanya di sebuah kawasan kira-kira 300 hektare ini—meski orang asing—mereka mendapat perlindungan atau dilindungi atau dipayungi. Dalam istilah Aceh kawasan yang dipayungi itu disebut Peunayong, yaitu perubahan bunyi dari Peunayong.

Dalam konteks politik negara modern sekarang ini, Peunayong disebut Wilayah Protektorat dengan ketentuan: Orang dan kawasannya diproteksi.

Dalam sistem negara-negara modern kita mengenal adanya negara jajahan dan negara protektorat. Tanah Melayu, Singapura, Australia, dan Brunei pernah menjadi protektorat British sampai tahun delapan puluhan. Kalau di sana yang diproteksi adalah negara dan rakyatnya, sedangkan di Peunayong dulu diproteksi atau dipayungi ialah orangnya yang datang ke Aceh secara legal.

Karena lamanya mereka tinggal di kawasan Peunayong itu maka tradisi dari tanah asalnya ikut terbawa serta. Misalnya minuman keras, judi, sabung ayam, bahkan prostitusi ikut berkembang, serta ikut pula kebiasaan masyarakatnya yang lebih permisif.

Peunayong adalah satu-satunya kawasan paling nyaman untuk geliat kehidupan dari dulu hingga kini. Di Peunayong-lah kita bisa bermain biliar jika berwisata ke Banda Aceh.

Karena kondisi yang permisif itu pula kemudian pendatang yang berasal dari tanah besar Cina betah tinggal di Peunayong sampai sekarang. Tapi nama Peunayong tak ada sangkut pautnya dengan bahasa dan orang Cina. Sama sekali tidak.

Bukan seperti disangkakan bahwa karena tempat tinggal orang Cina maka namanya jadi Peunayong. Yang betul ialah karena Peunayonglah orang Cina betah tinggal di sana. Meski di Peunayong banyak tinggal dengan nyaman orang-orang Cina yang membaur dengan pribumi, tapi sesungguhnya Peunayong hanyalah sebuah bab, sedang orang Cina adalah bab yang lain.

Apakah Nek Buyong itu orang Cina? Juga bukan! Tak jelas asal usulnya dan orang kadang hanya mendengar namanya tanpa pernah berjumpa dan mengenal wajahnya. Kalau tadi kita sebut Nek Buyong menjadi pujaan lelaki jalang ketika malam tiba, jangan pula disangka dia adalah seorang pekerja seks atau sejenisnya. Sama sekali bukan.

Lalu apa pula peran yang dimainkan hingga namanya masyhur?  Ya. Kalau dia dicari para lelaki karena dialah penyedia kebutuhan lelaki. Bukan pelakonnya. Konon beberapa wanita ada di sampingnya untuk mengobati kegelisahan jiwa para pelaut atau siapa saja yang tahu bahwa di Peunayong ada Nek Buyong, wanita yang tak diketahui asal muasalnya. Dia telah mengisi kisah abu-abu peradaban hingga namanya jadi legenda sampai akhir dasawarsa tujuh puluhan.

Peunayong tetap punya pesonanya  hingga kini meski Nek Buyong dan asuhannya sudah tiada. Dia pernah menapaki sebuah zaman yang sarat cerita sebagai “penerus” ritualitas masa-masa ketika kawasan itu berstatus protektorat. Masa-masa dia dipayungi!

Dan, jika sekarang malam-malam Anda berada di Peunayong, pasti merasakan sesuatu yang unik dan kadang muncul aroma  mempesona, mungkin itu bayang-bayang Nek Buyong sedang  melintasi malam-malam yang berkisah tentang dirinya. Dia  datang memberi isyarat dan aba-aba pada seonggok tanah penuh cerita.

Lalu orang-orang tertentu menyimpan ingatan tentang Nek Buyong di ujong Peunayong. Nakal dan jenaka.[]

Kisah lain: Pak Minta Tolong Ongkosnya Habis

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Sudah ditampilkan semua