Bantuan Pendidikan untuk Thalabah

Mukhsin Rizal

Oleh Mukhsin Rizal, S.Hum., M.Si *)

banner 72x960

SETIAP tahun, murid yang lulus dari sekolah dasar tidak semua masuk ke sekolah lanjutan tingkat pertama, begitu juga dengan siswa-siswi lulusan SLTP, tidak semua melanjutkan ke SMA atau SMK.

Sebagian dari anak didik ini memilih masuk dayah atau lembaga pendidikan Islam (LPI) sebagai pendidikan lanjutannya. Pilihan dayah sebagai pendidikan lanjutan semakin hari kian meningkat. Hal ini membuktikan bahwa dayah semakin diminati oleh masyarakat.

Karakteristik dayah sebagai lembaga pendidikan masyarakat yang menitikberatkan pada penguatan akidah, akhlak dan hukum Islam membuat orang tua/wali tenang ketika anaknya sudah di dayah.

Jika sedikit menilik ke belakang, sekitar tahun 1700 sampai 1873, kita akan menemukan lembaga pendidikan saat itu adalah dayah, balee atau sejenisnya yang di dalamnya mengajarkan ilmu agama dan keahlian tertentu bagi thalabahnya.

Selanjutnya, kehadiran kolonial ke nusantara, memperkenalkan lembaga pendidikan baru yang memiliki kekhasan barat (modern) yang melarang pendidikan agama dengan dalih bahwa lembaga-lembaga pendidikan Agama (dayah/pesantren) cenderung mengajak/melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Sejak saat itu, dayah/pesantren yang bertahan, mereka fokus pada penguatan ubudiyah semata dan beberapa ilmu lain, seperti ilmu siasah,ekonomi, bela diri dilarang diajarkan di lembaga tersebut. Hal ini dilakukan untuk melemahkan kekuatan pribumi dalam melawan kekuasan kolonial.

Saat ini sudah tahun 2021 dan Republik Indonesia sudah merdeka dari penjajahan Belanda pada 17 Agustus 1945. Artinya, sudah 76 tahun merdeka.

Perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan sangat besar dilihat dari kehadiran beberapa program, khususnya pada penguatan kelembagaan pendidikan Islam.

Secara struktur organisasi di bawah Kementerian Agama RI. Dikenal nomenklatur bidang yang mengurusi pendidikan agama dan bidang pondok pesantren. Ditambah lagi dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pondok Pesantren (Ponpes).

Secara nasional pengaturan terhadap lembaga pendidikan Islam memang sudah sangat rapi, ditambah dengan sistem pengelolaannya yang terus menyesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Pun demikian, khusus di Aceh, LPI diperkuat oleh UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Ponpes, serta Qanun Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah.

Salah satu titik berat qanun (perarturan daerah) tersebut adalah pada persoalan beasiswa atau bantuan pendidikan untuk thalabah yang tertuang dalam Pasal 22 Qanun 9/2018.

Kemudian ditindaklanjuti oleh Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bantuan Biaya Pendidikan Thalabah. Pergub ini merupakan bagian dari perhatian pemerintah Aceh terhadap dunia pendidikan dayah di Tanah Rencong.

Adapun jenis bantuan biaya pendidikan yang diatur dalam Pergub tersebut diperuntukkan bagi thalabah (santri/pelajar) berprestasi, mualaf, yatim, piatu, yatim piatu, miskin, korban konflik, dan kepada santri yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

Pergub Aceh tersebut juga merupakan upaya pemerintah dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan dayah dan pendidikan agama di Aceh.

Sebagaimana amanah Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pasal 125 perihal pelaksanaan syariat Islam di Aceh salah satunya adalah dalam persoalan tarbiah.

Upaya ini sangat memberikan dampak positif bagi thalabah, khususnya yatim dan yatim piatu. Program ini harus benar-benar mendapat dukungan dari semua pihak, dan perhatian serius dari stakeholder pelaksana agar cita-cita pemerintah dalam mewujudkan ‘Aceh Carong’ dapat terlaksana dengan baik sesuai RPJMA.

Karena jika ditilik pemerintah Aceh sangat serius dalam mengembangkan dan memajukan lembaga pendidikan Islam (dayah) agar semakin memiliki kekuatan hukum untuk mengembangkan diri menjadi lembaga pendidikan tangguh di masa hadapan.

Sejak tahun 2008, pemerintah Aceh telah memberikan respon positif dan perhatian kepada dayah dengan mengucurkan berbagai kegiatan untuk penguatan lembaga ke dayahan. Terakhir, pemerintah melahirkan Badan Akreditasi Dayah Aceh (BADA).

Kehadiran BADA menjadi tolok ukur tersendiri terhadap perkembagan dunia dayah, dan memberi suplai data terbaik untuk menjawab data kebutuhan bantuan pendidikan bagi thalabah, data insfrastuktur yang dibutuhkan, kekuatan sumber daya manusia, serta perkembangan kurikulum di dayah.

Ke semua data tersebut didapat melalui instrumen akreditasi dayah yang dilakukan oleh Majelis Akreditasi Dayah Aceh (MADA) melalui asesornya. Keabsahan data dayah nantinya sangat tergantung pada proses dan akreditasi yang dilakukan.

Penulis berharap, semoga proses akreditasi berjalan lancar dan sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga data dapat segera tersajikan dalam E-Datuda sebagaimana perintah Pergub 10 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Manajemen Pendidikan Dayah.

Terakhir data tersebut nantinya dapat digunakan sebagai acuan kebijakan perencanaan yang bermuara pada anggaran pemerintah Aceh. Termasuk didalamnya dasar kebijakan bantuan biaya pendidikan kepada thalabah.

Wallahualam bissawab.

*) Penulis adalah Magister Ilmu Administrasi Pubilk, Universitas Iskandar Muda, Banda Aceh.

Baca juga: Mengenal E-Datuda, Gagasan Pemerintah Aceh untuk Dayah

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *