Jalan Pintas
INFO DARI REDAKSI
Pembaca Theacehpost.com yang kami muliakan.
Kolom Haba Gampong di Theacehpost.com secara rutin akan diisi oleh Sulaiman Tripa, seorang akademisi Universitas Syiah Kuala yang aktif menulis.
Kolom ini memberikan hal yang biasa untuk dilihat secara luas dan terbuka.
Sebagai akademisi, Sulaiman Tripa juga menyarankan perbaikan-perbaikan dengan tidak melupakan cara berpikir orang kampung.
Ikuti tulisannya setiap Senin dan Kamis, insya Allah.
“Jalan Pintas” merupakan tulisan ketiganya, Senin, 05 Juli 2021.
Salam,
Nasir Nurdin
Pemred The Aceh Post
Jalan Pintas
SAYA merasakan ada perubahan drastis di jalan raya.
Egois dan mau menang sendiri, sangat dominan. Sedikit orang yang mau mengalah.
Di jalan pula, kita menyaksikan bagaimana orang memperlihatkan gagahnya. Cepat sekali merasa harus memarahi orang lain.
Jika ada orang yang menegur, karena kita melakukan kesalahan, justru kita yang akan balik memarahi orang yang memarahi kita itu.
Wajah beringas sudah sering kita lihat di sekeliling kita. Saat menggunakan jalan. Bahkan mungkin wajah kita sendiri sudah demikian.
Dominasi bahwa seolah hanya kita yang berhak menggunakan jalan dengan nyaman, begitu tampak dalam realitas sosial kita. Padahal fasilitas itu seyogianya dinikmati bersama. Tentu sebagai kekayaan bersama, maka meu jeut-jeut harus menjadi semangatnya.
Tidak ada yang patut disalahkan. Semua memiliki kontribusi hingga kita berada pada titik kritis ini. Saya hanya berusaha mengingatkan, walau bukan berarti saya memiliki mental yang lebih bagus dari orang lain.
Jalan itu milik bersama yang harus bisa kita gunakan secara bersama-sama. Menggunakan jalan dengan menzalimi orang lain, pada dasarnya kita sudah berada pada titik zalim.
Saya harus menyebutkan bahwa corak penggunaan jalan semacam ini juga terjadi dalam ruang sosial kaum terdidik.
Suatu kali, belum berapa lama berlalu, saya menyaksikan satu video sindiran. Seseorang berhenti di lampu lalu lintas dalam kampus, lalu merekam dan memperlihatkan betapa banyak orang yang tidak peduli rambu ketimbang yang memilih berhenti saat lampu merah.
Sebagai orang kampus, saya tersentuh. Sekaligus geram. Walau saya harus katakan bahwa yang menggunakan jalur itu tak semata orang kampus.
Sebagai jalan yang digunakan juga oleh orang luar kampus, maka berbagai kesalahan tidak bisa semua ditimpakan tanggung jawabnya kepada kampus. Tetapi sebagai catatan bahwa jalan di dalam kampus pun demikian sulit untuk diatur.
Jalan pintas jadi wujud perilaku yang sudah begitu terbiasa. Saya teringat Baharuddin Lopa, seorang ahli hukum yang terkenal, tegas, dan memiliki moral baik.
Katanya, jangan pernah membenarkan yang biasa, tetapi biasakanlah yang benar. Katanya, orang kadang-kadang bisa tenang melakukan kesalahan ketika dilakukan oleh banyak orang, justru mereka yang sedikit seperti merasa bersalah saat melakukan yang benar.
Ada tren lain yang berlangsung di negeri teuleubeh ini. Orang cenderung ingin enak sendiri.
Memilih jalan pintas, walau memahami betul bahwa risiko kecelakaan sangat besar. Jalan satu jalur dijadikan dua jalur, karena jika memiliki jalur yang benar, akan memutar jauh. Lalu memilih jalan pendek, walau akan mengganggu orang lain.
Siapa peduli. Bahkan saya menyaksikan, sejumlah lokasi yang dekat kantor polisi pun, ada pengendara yang berlaku semacam itu.
Jangan-jangan persis seperti diingatkan Lopa. Kita sudah terbiasa melakukan kesalahan karena banyak orang melakukannya. Membenarkan yang biasa, sehingga lupa untuk menggerakkan semangat dan mental untuk membiasakan yang benar. Posisi ini sudah akut. []
Sebelumnya: Bukan Rumus Biasa