Generasi Tidak Terkendali
INFO DARI REDAKSI
Pembaca Theacehpost.com yang kami muliakan.
Kolom Haba Gampong yang yang menjadi salah satu kanal di Theacehpost.com secara rutin akan diisi oleh Sulaiman Tripa, seorang akademisi Universitas Syiah Kuala yang aktif menulis.
Kolom ini memberikan hal yang biasa untuk dilihat secara luas dan terbuka.
Sebagai akademisi, Sulaiman Tripa juga menyarankan perbaikan-perbaikan dengan tidak melupakan cara berpikir orang kampung.
Ikuti tulisannya setiap Senin dan Kamis, insya Allah. “Generasi Tidak Terkendali” menjadi tulisan perdananya yang diturunkan hari ini, Senin, 28 Juni 2021.
Salam,
Nasir Nurdin
Pemred The Aceh Post
Generasi Tidak Terkendali
DUA hari yang lalu, saat pulang dari daerah, mengantar mahasiswa yang akan menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN), saya terpaksa singgah di satu warung kopi.
Pilihan ini tidak aneh. Sebuah warung kopi di tempat kita, yang sudah demikian ekslusif. Tersedia jaringan maya. Dengan susunan kursi yang semakin akomodatif untuk kaum muda.
Jadi ingin mendapatkan banyak hal, dengan memilih singgah di warung kopi, sesuatu yang tidak aneh. Bisa jadi di tempat lain akan berbeda. Walau saya tahu, banyak daerah yang juga sudah bermetamorfosis.
Jaringan maya digarap oleh banyak daerah. Banyak kampung. Pada akhirnya kampung-kampung semakin terbuka. Secara teritori bisa jadi sebuah kampung terletak di pelosok, namun dengan jaringan maya ini, memungkinkan kehidupan mereka tersedia dan bisa diakses oleh siapa saja.
Saya pulang dari lokasi KKN. Sesampai di tengah perjalanan, saya tidak melihat ada pesan yang masuk. Rupanya saya harus menjadi moderator satu acara penting.
Tidak bisa tidak. Tugas yang sudah diberikan, tentu tidak mudah untuk digantikan dalam waktu setengah jam. Apalagi ketika memilih seseorang, tentu ada pertimbangan yang harus kita pahami. Hal ini hanya untuk mengingatkan kita jangan mudah mengingkari janji.
Orang yang sudah menunjuk kita untuk sesuatu, bisa jadi sudah melalui proses yang berlapis, sehingga jangan mengecewakan orang yang sudah menunjuk itu. Pertimbangan inilah yang membuat saya harus segera minggir. Mencari tempat yang agak sunyi, agar bisa mengikuti acara dengan baik. Acara online. Dengan tersedia jaringan maya yang tadi, jadi syarat utama.
Bukan suatu hal yang mudah untuk mendapatkan tempat yang sunyi ini. Sunyi dalam arti bisa sedikit nyaman dari suara dan berisik. Apalagi sebuah warung kopi tidak selalu bisa terhindarkan dari suasana riuh.
Dan hal ini saya alami. Walau sudah berusaha ke tempat paling belakang, ternyata tetap ada orang yang tidak mau tahu dengan urusan orang sekeliling. Sekelompok anak muda selang beberapa meja, tiga atau empat orang, ternyata sedang bermain game online.
Di tempat inilah saya menepi, walau tetap tidak benar-benar sunyi. Saya tidak bisa meraba-raba seberapa masuk suara sekeliling saya itu dalam jaringan acara yang sedang saya moderator. Tetapi ini perjalanan yang sepertinya orang lain juga mengerti dan memahami.
Ada satu hal yang bisa jadi sebaliknya. Anak muda berselang beberapa meja dengan saya, dengan tanpa beban menyebut nama-nama binatang, entah kepada siapa. Tidak ada beban.
Entah suara-suara ini masuk ke dalam jaringan saya. Mohon maaf bila ternyata masuk. Rasanya juga terlalu berlebihan, bila kemudian saya memilih untuk menegur. Nanti ditanya, apa urusannya dengan saya.
Tapi anggaplah ini sebagai teguran untuk generasi kita, agar terkendali menggunakan kata-kata yang beradab. []