Pemerintah Aceh Dukung Kerja Kreatif Masyarakat Aceh di Perantauan
JAKARTA – Pemerintah Aceh mendukung kreatifitas masyarakat Aceh yang berada di perantauan, karena mempromosikan produk tradisional Aceh, yakni peci yang bermotifkan kopiah meukutop.
Kepala Badan Penghubung Pemerintah Aceh (BPPA) Almuniza Kamal S.STP, M.S, menyambut baik dengan hal yang dilakukan masyarakat Aceh di perantauan.
“Pemerintah Aceh sangat mendukung. Karena kreatifitas yang dilakukan terkait dengan mempromosikan produk asal Aceh,” kata Almuniza, di Jakarta, Senin 27 Juli 2020.
Apalagi katanya, produk yang dipromosikan adalah topi tradisional khas Aceh, yang juga merupakan warisan turun temurun dari raja di raja Aceh.
“Disebutkan, atribut tersebut dahulunya oleh kesultanan Aceh dibawah masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dijadikan penutup kepala dan dipakai dalam keseharian. Hingga kini, warisan tersebut masih lestari dan berkembang sesuai zaman,” jelas Almuniza.
Almuniza melanjutkan, jika dulu topi tradisional ini digunakan oleh para sultan, namun pada zaman kekinian, topi tersebut digunakan dalam kegiatan perkawinan, sunatan, dan ritual kebudayaan yang ada di Aceh. Bahkan dalam pergaulan sehari-hari.
“Karena itu pula, tentu ini kabar baik untuk para pengrajin baik bagi perantau atau pun pengrajin yang ada di Aceh sendiri,” kata Almuniza.
Pemerhati Sejarah dan Jurnalis asal Aceh,
Murizal Hamzah mengatakan, ‘Kopiah Meukutop’ juga pernah dipopulerkan oleh Teuku Umar pada masa penjajahan Belanda.
“Ngetop dulu, ketika Tengku Umar tiba dipilih oleh warga setempat dikaji dan sekarang jadi simbol/ikon,” kata MH, panggilan akrab Murizal.
MH mengatakan, pada zaman melenial ini, Kopiah Meukeutop ini mulai naik pamor lagi di tengah masyarakat. Hal itu lantaran topi tersebut pernah dipakai oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan beberapa kali tampil di dalam televisi.
“Sehingga pamornya meroket, dan industri rumahan tumbuh, orang-orang bahkan berlomba-lomba untuk membeli topi tersebut,” jelasnya.
Pun demikian, kata dia, kerajinan topi khas Aceh itu sudah ada sejak dulu dengan berbagai model pembuatannya. Ada yang menggunakan mesin, ada pula yang menggunakan tangan (dirajut).
“Kalau menggunakan tangan itu butuh waktu hingga satu minggu, sedangkan menggunakan mesin hanya hitungan jam selesai dikerjakan,” kata Jurnalis asal Aceh, yang saat ini menetap di Jakarta.
Harganya, tambah Murizal, juga berbeda. Kalau dirajut menggunakan tangan dijual Rp300 ribu, sedangkan memakai mesin itu hanya dihargai sekitar Rp100 ribu. “Itu dikarenakan kualitas dan mutunya berbeda. Seperti batik stempel yang cepat prosesnya atau batik mesin dengan batik pakai tangan lebih lama prosesnya,” jelasnya.
Namun, tambahnya, peci yang kebanyakan dipakai oleh masyarakat saat ini merupakan diproduksi dengan mesin. Karena harganya lebih terjangkau. “Kalau peci yang dibuat oleh tangan ibu-ibu dari Teungkop, Pidie, itu pilihan atau dari Aceh besar, itu harganya minimal Rp300 ribu,” katanya.