BADA: Harapan Baru Menuju Dayah Cemerlang
Oleh Mukhsin Rizal, S.Hum. M.Ag *)
LEMBAGA Pendidikan Dayah, terutama salafiyah merupakan cikal bakal dan dasar pendidikan yang telah melekat pada Aceh dengan syariatnya.
Ketangguhan dayah dalam melewati terpaan fase demi fase kehidupan adalah sebuah bukti bahwa dayah telah melekat di sanubari adat dan budaya masyarakat Aceh.
Meski demikian, perjalanan kehidupan dayah yang diselimuti dengan ragam manis pahit, masih dianggap belum sepenuhnya beradaptasi dengan perkembangan zaman. Namun secara mandiri, dayah telah membuka diri menuju iringan waktu membawa peradaban yang semakin dinamis.
Upaya dayah yang bergerak single dianggap masih butuh dukungan pemerintah untuk mendorong kehidupan pendidikan yang awalnya dianggap tradisional supaya standar dengan perjalanan waktu.
Atas dasar itulah, Dinas Pendidikan Dayah Aceh lahir sebagai wujud dari perhatian dan tanggung jawab pemerintah untuk mendorong laju perjalanan dayah berdiri sejajar dengan lembaga pendidikan konvensional lainnya.
Salah satu wujud dari upaya kolektif itu adalah inisiasi lahirnya Badan Akreditasi Dayah Aceh (BADA).
Salah satu instrumen yang mendorong lahirnya BADA adalah Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah Aceh.
Lahirnya qanun tersebut pada 2018 menjadi nilai tersendiri dan suasana baru untuk dunia pendidikan dayah di Aceh.
Spirit kehadiran qanun tersebut yang dilalui dengan pembahasan yang begitu panjang antara tim legislatif dan eksekutif di mana sebelumnya sempat heboh dengan judul qanun copy paste.
Tahun 2018 menjadi dimensi tersendiri lahirnya pondasi yang kokoh terhadap pendidikan dayah di Aceh.
Komposisi penyelenggaraan pendidikan dayah di Aceh dengan hadirnya qanun tersebut menjadi lebih variasi dari mulai kurikulum dayah, dana operasional dayah, standar pendidikan dayah, sistem manajemen pendidikan dayah serta penyelengaraan di sektor publik dayah lainnya.
Seiring dengan lahirnya Qanun Pendidikan Dayah Aceh, pada fase 2018-2019 juga diinisiasi lahirnya Pergub BADA yang merupakan jabaran dari qanun tersebut.
Dari jabaran tersebut juga muncul instrumen rekrutmen Majelis Akreditasi Dayah Aceh (MADA) yang merupakan kelengkapan penyempurnaan tegaknya BADA.
Sebagai orang yang terlibat dalam penyusunan, kami menganggap bahwa ini harapan terbaik bagi penyelenggaraan pendidikan dayah nantinya, apa lagi ke depan menjelang 2028 di mana dana otsus tidak ada lagi, maka solusi terbaik adalah memandirikan dayah dan pengelolaan manajemen penyelenggaraannya.
Tahun 2028 menjadi salah satu kekhawatiran yang patut diwaspadai dengan berbagai persiapan. Jika dayah sudah mandiri pada saat yang diprediksi menjadi massa sulit dalam aspek finansial, maka kita tidak lagi mengkhawatirkan proses pendidikan agama bagi anak-anak kita.
Lahir BADA juga dilandasi pada pemikiran pentingnya terkoneksi antara sesama dayah, Perlu mengkonsolidasikan seluruh kekuatan para teungku dayah, abu dan alumni dayah lintas generasi dan lintas alumni agar ke depan dayah memiliki kesetaraan dalam sudut pandang serta perjalanannya.
Periode BADA
Secara administrasi, baik BADA maupun MADA yang merupakan anggota yang dipilih melalui kontrak dalam tempo waktu tertentu dalam ikatan kontrak.
Untuk memberi kesan terhadap kerja BADA, pada masa Usamah El Madny menjadi Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh, berbarengan dengan lahirnya BADA juga menggagas e-datuda-aplikasi data tunggal dayah. e-datuda juga diharapkan dapat menjadi pendukung yang menyuseskan terwujudnya kemandirian dayah.
Di samping itu, e-datuda juga menjadi jawaban atas kebutuhan data dayah secara tunggal. Aplikasi ini juga akan memudahkan publik mengakses segala kebutuhan informasi tentang dayah.
Periode lahirnya BADA juga dianggap menjadi periode yang melahirkan hal-hal baru dalam perjalanan Dinas Pendidikan Dayah Aceh. Selain BADA dan e-datuda, pada rentang 2018-2020 juga hadir kegiatan Musabaqah Qiraatil Kutup (MQK) dan Bahtsul Masail.
MQK dapat menjadi mengasah bakat dan minat para santri. Sementara Bahtsul Masail merupakan sarana bagi tengku-tengku dayah mengkaji dan membahas persoalan ummat.
Selain itu, dua event besar ini juga menjadi penting untuk menunjukkan identitas dayah pada tingkat nasional dan dunia walaupun perlu pembenahan-pembenahan dalam setiap waktu pelaksanaannya.
Dayah Masa Depan
Sudah menjadi pemahaman bersama, bahwa dayah di masa lalu telah berkontribusi banyak demi kemaslahatan ummat.
Tidak hanya melekat dengan ciri khasnya membangun kesadaran ummat lebih dekat dengan Sang Khalik serta tameng pemelihara aqidah, jauh dari pada itu, dayah juga telah memainkan peran penting dalam mewujudkan kedaulatan negara melawan penjajah.
Peran dayah sempat meredup dalam beberapa dekade lalu, namun denyutnya tidak berhenti.
Secara mandiri dayah terus berjalan mengisi kemerdekaan dengan membentuk karakter generasi. Seakan kurang perhatian eksistensi dayah pada dekade ini bagai terputus koneksi dengan pemerintah.
Konflik mungkin salah satu dalih dayah tidak berdapingan dengan pemerintah.
Hingga akhirnya konflik berakhir, dayah mulai kembali terlihat. Pada saat itu pula kita seakan sadar bahwa keberadaan dayah memang penting dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh.
Hidup sekian dekade secara mandiri, ternyata tidak membuat khas khasanah keilmuan pudar. Itu terlihat dari ulama dan para teungku yang dipersembahkan untuk ummat.
Salah satu karya penyejuk yang tidak terlupakan adalah “Resolusi Konflik” persembahan Alm. Abu Panton (Abu H. Ibrahim Bardan), di samping sederet karya lainnya terhijab informasi dengan kita.
Kemudian, setelah sedikit mendapat pendampingan dari pemerintah, dayah mulai menyesuaikan diri terhadap tuntutan kolaborasi pendidikan agama dan umum. Itu ditandai dengan lahirnya Ma’had Ali di beberapa dayah.
Kehadiran Ma’had Ali adalah sebuah inovasi yang terwujud dalam rentang waktu yang singkat. Pada saat bersamaan pemerintah juga mencurahkan perhatian khusus dengan membentuk sebuah badan yaitu Badan Pembinaan Dayah Aceh, kini menjadi Dinas Pandidikan Dayah Aceh-.
Sebagai badan yang baru terbentuk, Dinas Dayah melahirkan inovasi-inovasi yang berlandaskan visi masa akan datang dan hingga 2018 menjadi tahun penting dalam perjalanan Dinas Dayah. Sebuah keberhasilan sukses diraih antara eksekutif dan legislatif yang ditandai dengan lahirnya Qanun Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dayah Aceh.
Qanun ini selain berbicara hak dayah 30 persen dari keseluruhan anggaran pendidikan, juga terdapat legitimasi-legitimasi yang memihak kepada penyelenggaraan pendidikan dayah, termasuk akreditasi dayah oleh Badan Akreditasi Dayah Aceh (BADA).
Sejatinya, qanun ini menjadi cikal bakal untuk melahirkan banyak inovasi lain yang membuat dayah lebih cemerlang di masa yang akan datang.
Sebagaimana masa kesultanan, dayah itu menjadi rujukan bagi pendidikan, begitu juga di masa yang akan datang, kita ingin melihat peradaban masa lalu kembali terulang, dayah menjadi ikon favorit dan kebanggaan muda-mudi.
Kita memprediksi secara tepat di mana kita di masa nanti, salah satu yang menjadi keresahan adalah berakhirnya dana bagi hasil.
Jika dayah tidak terperhatikan selagi masih ada kesempatan, kita khawatir kesempatan itu akan sempit di waktu nanti. Semoga upaya kita hari ini selain mengembanamanah juga menjadi amal jariah. Wallahua’lam bissawab.
*) Penulis adalah Alumni Pascasarjana UIN Ar-Raniry.