Warkop
Oleh: Sulaiman Tripa
SUDAH beberapa kali ingin menulis pengalaman ini. Warung kopi (Warkop) yang letaknya di pinggir jalan, sejumlah dagangan dibiarkan begitu saja, ketika waktu shalat tiba. Pengalaman ini, setidaknya dengan beberapa kali saya lihat, ingin saya tuliskan dalam salah satu tulisan. Tapi sering lupa.
Kemarin, ketika melintas dan menyempatkan diri minum kopi, saya baru teringat lagi. Agar tidak lupa, hal ini sudah saya buat catatan kecil untuk saya isi kolom hari ini.
Letak warung yang saya ceritakan ini, tidak jauh dari rumah saya. Pemiliknya, sering saya temui di masjid. Saat shalat lima waktu. Terutama pada waktu-waktu yang saya juga hadir ke sana. Tidak selalu saya hadir. Saya selalu melihat orang ini. Sepertinya beliau memang sangat konsisten dengan jadwal shalat jamaah.
Saya ingin menceritakan bahwa tidak ada halangan untuk melakukan sesuatu, saat kita sudah meniatkannya. Apa yang dilakukan pemilik warung ini, bagi saya menjadi contoh yang dekat dan konkret. Lagi pula, jika takut sejumlah dagangan tidak bisa ditinggalkan, maka bisa saja ditutup dan dibawa ke dalam. Dikunci. Tapi begitulah, soal niat.
Saya merasa bukan pada jauh atau dekatnya masjid. Bagi mereka yang sudah berniat untuk shalat di masjid, dengan berjamaah, walau jauh, akan dipersiapkan sedemikian rupa. Apalagi yang dekat. Tempat yang mungkin dengan jalan kaki bisa ditempuh dalam 2-3 menit saja. Memang warung yang saya ceritakan ini, tidak begitu jaug letaknya dari masjid.
Saya kira semua orang, sepertinya juga memiliki kesempatan yang sama. Tapi sebagian memilih tidak melakukan seperti orang ini. Pilihan untuk tidak melakukan, juga bisa saja ada alasannya.
Posisi meninggalkan barang dagangan, apalagi kue-kue itu titipan orang lain yang harus dibayar saat sore, bagi saya menjadi hal yang menarik. Jika kue itu dimakan orang lain, pemilik warung tetap harus membayar kepada yang menitipkan. Jika dibilang ada yang tinggal, tentu harus ada bukti.
Pengalaman inilah yang sudah saya ingat dalam beberapa kesempatan. Namun saya lupa. Setelah beberapa kali saya lalui. Kemarin sore, sesudah ashar, saya minum kopi di situ, jadi teringat untuk menulisnya.
Kemarin saya berkesempatan bertanya keadaan ini. Saya kira pemilik warung ini sangat tenang. Ia tidak merasa resah, apalagi sejumlah barang itu hanya untuk dimakan. Baginya tidak masalah jika ada yang ambil, untuk dimakan. Tapi selama ini, tidak ada kejadian ada yang mengambilnya.
Posisi warung ini persis di pinggir jalan raya. Jalan elak. Bukan jalan kampung. Di samping itu, warung ini juga dekat dengan lapangan yang setiap saat banyak orang berlalu lalang. Bisa saja kita menganggap ini hal yang sangat sederhana. Namun kerelaan ini, bagi saya sangat fundamental. Tidak semua orang mampu melakukannya. []