Warga Aceh Disekap dan Disiksa di Kamboja, Haji Uma Bertindak
THEACEHPOST.COM | Banda Aceh — Seorang warga Aceh kembali menjadi korban penyekapan dan penyiksaan di Kamboja. S (22), warga Desa Lamdingin, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, dilaporkan disekap dan disiksa oleh pihak perusahaan tempatnya bekerja karena tidak mampu membayar denda sebesar Rp35 juta.
Ibu kandung Safran, Nur Asri, saat dihubungi oleh Liaison Officer (LO) anggota DPD RI asal Aceh, H. Sudirman atau Haji Uma, mengatakan bahwa anak keduanya itu mengalami penyiksaan setelah gagal membayar denda kepada perusahaan. Ia menjelaskan, Safran berangkat ke Kamboja pada 2024 lalu atas ajakan seorang teman untuk bekerja di salah satu perusahaan di sana.
Setibanya di Kamboja, Safran diketahui bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang judi daring (online gambling). Karena kerap mengalami kekerasan dan penyiksaan, Safran berniat kembali ke Banda Aceh. Namun rencana itu diketahui oleh pihak perusahaan, sehingga ia disekap di sebuah kamar dan kembali mendapat kekerasan.
Menurut pengakuan Nur Asri, pihak perusahaan bersedia melepaskan Safran asalkan ia membayar denda sebesar Rp35 juta. Karena tak mampu membayar, perusahaan kemudian memindahkan Safran ke perusahaan lain.
“Kemarin anak saya menelepon, katanya kalau denda itu tidak segera dibayar, maka dia akan kembali dijual ke perusahaan lain. Saya tidak punya uang sebanyak itu. Kami keluarga tidak mampu,” ungkap Nur Asri, Rabu (21/5/2025).
Atas kondisi tersebut, Nur Asri menyampaikan permohonan kepada Haji Uma agar membantu memulangkan anaknya ke tanah air.
“Saya sudah minta tolong kepada Pak Haji Uma agar anak saya bisa segera pulang ke rumah. Saya sangat berharap bantuan beliau,” ujar Nur Asri.
Menanggapi permohonan itu, Haji Uma langsung bertindak cepat. Ia menyurati Menteri Luar Negeri melalui Direktur Perlindungan WNI, Judha Nugraha, dan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh, Kamboja.
“Begitu mendapat kabar dari ibu Safran, saya langsung menyurati Menteri Luar Negeri dan KBRI di Kamboja agar segera menangani kasus ini,” ujar Haji Uma.
Ia menjelaskan bahwa kasus tenaga kerja ilegal di negara-negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Filipina telah berulang kali terjadi, meski pihaknya sudah gencar melakukan sosialisasi mengenai risiko bekerja ke luar negeri tanpa kontrak resmi yang sah melalui dinas tenaga kerja.
“Sayangnya, masih banyak yang berangkat tanpa memperhatikan legalitas kerja dan tidak belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Banyak yang akhirnya menjadi korban kerja paksa, perdagangan orang, dan penyiksaan,” kata Haji Uma.
Ia juga mengimbau agar keluarga korban tidak mengirim uang tebusan dalam bentuk apa pun.
“Jangan pernah mengirimkan uang tebusan, karena itu hanya memperpanjang praktik pemerasan. Berdasarkan pengalaman, uang sudah habis, tetapi korban tidak pernah kembali,” tegasnya.