UMKM Aceh: Menjemput Asa di Tengah Ketidakpastian

Dosen Universitas Bung Hatta, Muhibbullah Azfa Manik. [Foto: Ist]

Di tengah tekanan ekonomi nasional, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Aceh terus menunjukkan ketangguhan. Meski dihadapkan pada berbagai tantangan—terbatasnya akses permodalan, rendahnya literasi digital, dan infrastruktur logistik yang belum merata—semangat wirausaha masyarakat tetap menyala. Pemerintah daerah, lembaga keuangan, dan badan usaha milik daerah (BUMD) kini mulai bergandengan tangan untuk memperkuat sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat ini.

Menurut data Dinas Koperasi dan UKM Aceh, hingga akhir 2024, jumlah UMKM di provinsi tersebut mencapai 424.850 unit. Rinciannya, sebanyak 423.178 adalah usaha mikro, 1.470 usaha kecil, dan 202 usaha menengah.

banner 72x960

Salah satu terobosan datang dari PT Pembangunan Aceh (Perseroda), yang pada November 2024 menggelar ajang pemaparan proposal bisnis (business pitching) untuk tujuh pelaku UMKM lokal. Kegiatan ini menjadi ruang pertemuan antara pelaku usaha dan calon investor, serta memberi peluang konkret untuk mengembangkan skala usaha.

Dukungan juga mengalir dari sektor perbankan. Bank Syariah Indonesia (BSI) Regional Aceh mencatat penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp3,98 triliun sepanjang 2024, melebihi target awal Rp3,1 triliun. Dana tersebut disalurkan kepada 49.735 nasabah yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Aceh.

Upaya peningkatan daya saing UMKM juga dilakukan melalui program sertifikasi halal. Pemerintah Kota Banda Aceh menargetkan bahwa pada 2025, minimal 50 persen UMKM telah mengantongi sertifikat halal. Program ini dilaksanakan melalui kerja sama dengan Balai Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BSPJI), yang menyelenggarakan bimbingan teknis dan fasilitasi sertifikasi.

Pemerintah daerah juga aktif menggelar festival ekonomi kreatif. Di Aceh Tengah, Festival Ekonomi Kreatif 2024 berlangsung pada 13–15 September, menghadirkan bazar kuliner, pameran produk IKM, dan hiburan. Di Aceh Tamiang, Festival Seni dan Kuliner 2024 digelar sebagai bagian dari penguatan sektor pariwisata, budaya, dan ekonomi kreatif, sekaligus mendorong pertumbuhan UMKM di sektor kuliner.

Namun, jalan menuju kemapanan masih panjang. Tantangan klasik seperti sulitnya akses kredit dari lembaga keuangan formal, dominasi tengkulak dalam distribusi hasil pertanian, serta ketergantungan pada pasar lokal masih membayangi. Di beberapa kabupaten, banyak pelaku UMKM kesulitan memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB) akibat rendahnya literasi digital dan minimnya pendampingan teknis.

Meski demikian, harapan tidak pupus. Seperti aroma kopi Gayo yang tetap menggoda meski harga ekspor berfluktuasi, pelaku UMKM di Aceh terus menyerap setiap peluang demi bertahan dan tumbuh. Yang mereka butuhkan kini bukan sekadar bantuan sesaat, melainkan kebijakan yang berkelanjutan—ekosistem yang mendukung mereka naik kelas secara sistematis dan menyeluruh.

Oleh: Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Universitas Bung Hatta

Komentar Facebook