Tgk Umar Rafsanjani, Pendakwah Internasional dari Aceh
Oleh: Dr. Teuku Zulkhairi, Sekjend Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) dan Komisioner pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh
Percaya atau tidak, Tgk. H. Umar Rafsanjani, Lc, M.A., Pimpinan Dayah Mini Banda Aceh ini adalah seorang da’i internasional.
Pada pelaksanaan haji tahun 2023 lalu, di Tanah Suci ia ditunjuk sebagai translater Arabic yang membantu menerjemahkan bahasa Syaikh Abdul Latif Baltou, Pengelola Baitul Asyi di Makkah dan jamaah haji Aceh dalam proses penyaluran dana wakaf.
Tgk. H. Umar Rafsanjani ini mampu mengkomunikasikan secara baik penyampaian nasehat-nasehat Syaikh ke jama’ah dan penyampaian jama’ah kepada Syaikh sehingga berkali-kali ia dipuji oleh Syaikh yang terlihat sangat tawadhu’ tersebut.
Pimpinan Dayah Mini yang lebih akrab dipanggil Abi Umar ini orangnya memang agak keras ya. Tapi kata Dr. Hendra Syahputra yang menjadi peserta terbaik pertama program sertifikasi pembimbing manasik haji dan umrah 2024 ini, setelah Dr. Hendra mengenal Abi Umar lebih dekat ia segera memahami kebaikan hati Tgk Umar Rafsanjani yang merupakan peserta terbaik ketiga.
Dan hal itu disampaikan Dr. Hendra saat memberi sambutan tatkala dipersilahkan berbicara mewakili peserta di malam penutupan acara sertifikasi pembimbing ibadah haji dan umrah.
Kenapa Abi Umar pantas disebut sebagai “pendakwah Internasional” sebagaimana di judul?
Ya karena memang beliau ini adalah pendakwah mancanegara, lebih tepatnya ia sering berdakwah ke negeri jiran Malaysia. Ya disana ia sering diundang secara reguler untuk berdakwah di sana.
Kalau bulan ramadhan ia udah pasti diundang kesana sejak lama, untuk berdakwah dan menjadi imam juga. Selain itu, bulan-bulan di luar Ramadhan juga diundang.
Artinya beliau diterima disana. Kalau nggak diterima ya kan nggak mungkin akan diundang secara reguler untuk berdakwah sejak lama disana. Jadi.. beliau ini selain memimpin Dayah Mini yang terus membesar ini, ia juga mengatur waktu secara aktif untuk berdakwah disana.
Nah, kemarin sempat saya tanyakan bagaimana ceritanya beliau bisa berdakwah secara reguler di sana.
Jawaban beliau kepada saya, bahwa beliau ini rupanya memang sejak lama sudah memiliki tauliah atau sertifikat yang memberikan beliau keleluasan untuk berdakwah di sana.
Tauliah yang beliau miliki ini memberikan legalitas agar bisa melakulan aktivitas keagamaan seperti mengajarkan kitab suci Al-Qur’an, mengajarkan fardhu a’in atau untuk berceramah/berdakwah.
Dan memang, masing-masing dari 3 item itu harus ada tauliahnya yang dikeluarkan Oleh Jabatan Agama Islam Negeri/Provinsi tempat kita berdomisili di sana.
Kata beliau, jabatan Agama Islam di Malaysia ini kalau di kita itu adalah Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Ace,
Jadi prosesnya begini untuk mendapatkan tauliah tersebut.
Setelah melalui proses pemeriksaan identitas, berkas-berkas latar belakang pendidikan kita, dan lalu di interview oleh pihak khusus di kantor jabatan Agama Islam di Malaysia.
“Alhamdulillah saya lulus di tiga-tiga itemnya, tertulis di sertifikat dalam kurung (semua kategori),” kata Abi Umar kepada saya.
Artinya, Abi Umar dianggap Jabatan Agama Islam layak berdakwah di Malaysia baik mengajarkan Al-Qur’an, mengajari fardhu ‘ain ataupun dakwah dan ceramah umumnya lainnya. Jadi semuanya oke. Abi Umar memiliki syarat yang lebih dari cukup untuk berdakwah disana.
Jadi disitulah awal mula saya tertarik membuat tulisan ini.
Apalagi baru minggu lalu kami dari Ikatan Sarjana Alumni Dayah selesai mengadakan Simposium dan halal bihalal yang membicarakan tentang dakwah di Aceh dan mengundang banyak aktivis dakwah sebagai peserta serta diisi oleh sejumlah ulama Aceh, guru besar dan sebagainya.
Pada simposium itu yang kami angkat tema “Dakwah Aceh; Masa Lalu, Kini dan Masa Depan”, kami mendiskusikan bagaimana caranya meng-go nasionalkan dan internasional-kan pendakwah-pendakwah dari Aceh seperti zaman dulu.
Saat itu kita coba carikan solusi bagaimana caranya kita bisa mencapai tujuan itu karena fakta sejarah menunjukkan bahwa kita Aceh ini pernah menjadi mercusuar di Asia Tenggara dalam hal ekspansi dakwah Islam.
Jadi, saya baru terpikir bahwa sebenarnya kita sudah punya banyak pendakwah-pendakwah internasional. Mungkin hanya kurang brandingnya saja. Atau kurang mendapatkan sambutan dari masyarakat Aceh sendiri.
Hal ini karena dewasa ini masyarakat Aceh lebih gandrung dengan pendakwah-pendakwah luar Aceh ketimbang Pendakwah Aceh sendiri.
Nah, soal itu juga jadi bahan diskusi dalam simposium kemarin. Banyak kita bahas dan carikan solusi dan pemikiran.
Dalam konteks itu, selain soal bahasa yang menjadi kendala menurut ulasan Ustaz Masrul Aidi, saya juga sepakat bahwa kendala krusial lainnya adalah soal kurangnya penataan media Sosial dan penguatan publikasi dakwah di media sosial melalui video-video yang dibuat secara bagus.
Kata Muhammad Balia yang sejak lama terlibat dalam banyak event-event dakwah pemerintah Aceh dimana ia menjadi EO-nya, bahwa di antara hal yang sering menjadi perhatian bahkan menjadi persyaratan ketika seorang pendakwah mau diundang ke Aceh mengisi berbagai event dakwah adalah sebanyak mana pengikutnya di media sosial di berbagai platformnya dan sejauh mana ia eksis dengan video-video dakwahnya itu.
Tanpa itu, kecil kemungkinan pendakwah itu akan lulus untuk diundang. Kira-kira begitu yang saya tangkap dari ulasan Muhammad Balia, sang EO yang terkenal dengan sebutan EO Syariah di mana ia telah terlibat menjadi EO event peringatan tsunami di Aceh sejak tujuh lalu.
Jadi, dua hal itu yang agaknya merupakan kekurangan dari para pendakwah di Aceh sehingga jangankan kita berharap pendakwah di Aceh eksis di mancanegara, bahkan untuk diundang mengisi dakwah event peringatan tsunami saja akan sulit.
Dalam konteks ini, kata Muhammad Balia, di Aceh baru Tu Sop Jeunieb yang berhasil dalam perkara ini. Bagus media sosialnya dan lumayan banyak pendukung, dan banyak videonya di berbagai platform media sosial.
Selain Tu Sop Jeunieb, mungkin terbaru ada Tgk Ismail dari Aceh Selatan yang sedang viral secara alami.
Sementara itu, pendakwah-pendakwah di luar Aceh itu sudah sangat melangkah maju dalam perkara tersebut. Mereka memiliki manajemen khusus yang mengelola media sosialnya dan publikasi video-video dakwah dan ceramah mereka.
Di Aceh, agaknya hal ini belum jadi perhatian serius para pendakwah kita atau orang-orang di sekitar mereka (Rijal haulahum). Padahal syarat ini mutlak harus diikuti oleh para pendakwah jika ingin go Nasional dan go internasional. Agaknya begitu ya. Karena soal keilmuan, para pendakwah kita umumnya sudah tidak diragukan lagi.
Kembali ke soal Abi Umar Rafsanjani yang saya katakan sebagai pendakwah Internasional dari Aceh. Tauliah beliau itu kabarnya dikeluarkan oleh Jabatan/Majelis Agama Islam Negeri Pulau Pinang.
Dan pada aturaanya, tauliah itu memang hanya berlaku di Negeri/Provinsi Pulau Pinang/Penang dan tidak boleh beraktivitas di negeri-negeri lainnya.
Hanya saja, beliau ini sesekali juga bisa berdakwah di negeri lainnya lantaran Abi Umar sudah dikenali sehingga bisa kita berdakwah di Negeri-negeri Malaysia lain.
Jadi yang menjadi poin pentingnya adalah, aturannya begitu ketat dan tegasnya di Malaysia dalam menjaga paham dan aqidah agama masyarakat. Tidak akan sembarangan orang bisa masuk berdakwah disana. Apalagi jika suka menuduh bid’ah dan menyesatkan dengan gampangnya.
Dan Abi Umar Rafsanjani ini memenuhi syarat bisa berdakwah di sana, tauliah untuk beliau berdakwah di sana sudah diperolehnya sejak tahun 2012 lalu.
Luar biasa bukan? Alhamdulillah kita patut senang ada anak bangsa yang eksis berdakwah di luar negeri, baik Abi Umar Rafsanjani atau pendakwah-pendakwah Aceh lainnya.